Dekapan
Gambar di bawah aku buat sendiri sebagai ilustrasi di chapter ini. Belum terlalu bagus karena aku masih amatir :D
Chapter kali ini agak sedikit panjang. Terima kasih sudah mau membaca tulisan aku :)
"Aku udah mulai pilih-pilih siapa aja yang mau dimasukin ke list undangan loh, Yang. Sekitar sepuluh orang aku ambil dari teman kuliah aku dulu, teman magang empat orang, teman dari SMP aku udah nggak ada yang kontakan sih. Paling sisanya relasi kerja aja, sama teman dari alumni SMA kita dulu. Menurut kamu siapa aja yang mau diundang, Yang?"
Beberapa waktu belakangan ini, Dion lebih suka memanggilku dengan sebutan 'Yang'. Kerap kali aku menggodanya dengan candaan bahwa ia sudah semakin melokal sekarang. Jika sudah begitu, senyuman tipis yang menggelitik perutku dan cumbuan ringan menjadi balasan atas komentarku itu. Namun, kali ini aku tidak memberikan komentar apapun, rasanya untuk berbicara saja tak sampai. Kepalaku penuh dengan skenario buruk yang kemungkinan bisa terjadi dan membuat mimpi-mimpi yang sudah aku bangun lebih dari setahun hancur begitu saja.
"Kamu kan tahu aku dulu nggak punya banyak teman pas kita SMA. Teman aku ya cuma kamu, Randi, sama Stella aja yang dekat," balasku dengan lesu sambil mengeringkan tangan setelah mencuci piring-piring kotor dan gelas yang kami berdua gunakan untuk makan malam.
"Jadi nggak ada yang mau kamu undang?" tanya Dion kembali.
Aku berbalik badan dan berjalan menuju lemari pendingin untuk mengambil sekaleng minuman bersoda lalu duduk di salah satu bar stool. Mata kami bertemu, gelengan kepala dan mengangkat pundak kuberikan sebagai jawaban.
"Oke," gumam Dion yang duduk di sofa yang berada di seberang dapur. Ia kembali memandang layar ponselnya sekilas sebelum menatap ke arahku. "Terus yang mau kamu undang siapa? Kita udah harus mulai mikir dari sekarang loh, Yang."
"I don't know," jawabku singkat lalu menyesap minuman dingin dengan ekstrak lemon yang sedikit terlalu asam ini. Kenapa Adrian membeli minuman ini sih?
Dion meletakkan ponsel dan menutup laptopnya sebelum menatapku dengan penuh arti. "Kamu beda hari ini. Kenapa? Dari tadi siang pas aku chat nggak dibalas, aku telepon juga nggak kamu angkat. Tadi aku ke sini juga kamu murung. Aku bikin kamu marah?"
"Gapapa kok."
Dion berdecak. Ia mengusap air mukanya yang terlihat lelah itu. Sebuah helaan napas panjang keluar dari bibirnya. "Jangan bilang gapapa gitu. Kamu dari tadi aku tanya kenapa, jawabannya gitu terus. Aku ada salah sama kamu hari ini? Atau kemarin? Sayang, kita baru aja tunangan loh, masa langsung ada masalah sih, yang benar aja."
Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibirku. Kedua mataku hanya memperhatikan bagian belakang kaleng minuman yang kuletakan di atas meja dapur. Seolah deretan angka kandungan di dalam minuman itu terlihat menarik, padahal bisa saja itu membuatku menyesal karena menikmatinya. Hampir seperempat kandungannya adalah gula. Sial, aku harus kembali berolahraga mulai besok.
Tubuh dan pikiranku sedang tidak berada di level yang memadai untuk melakukan sesuatu. Hati ini dipatahkan begitu saja setelah dibuat melambung tinggi tempo hari. Kupejamkan mata sejenak ketika denyutan halus merambat di kepala. Jemariku melepas kacamata yang kupakai dan kemudian memijit pelipis kananku. Pandanganku mulai sedikit kabur ketika aku kembali membuka mata, dadaku sesak karena menahan gejolak amarah dan kesedihan yang datang secara tiba-tiba.
"Aku ke sini nyamperin kamu itu karena aku kangen sama kamu. Aku pengen ngobrol sama kamu, kita diskusi buat rencana pernikahan kita. Tapi kalau nggak mau ya sudah," lanjut Dion. Ia menutup kembali pulpen milikku yang ia gunakan untuk entahlah menulis apa di selembar kertas HVS. "Oke kalau gitu, soal undangan … nggak masalah kalau kamu nggak mau bahas sekarang. Aku sekarang cuma mau tahu, kamu itu kenapa?"
Seperti mendapat perintah, air mataku mengalir deras begitu saja setelah mendengar pertanyaan Dion. Kesedihan yang tertahan dari tadi siang akhirnya terluapkan juga. Namun, sebelum Dion melihatnya, aku dengan cepat berbalik dan berjalan menuju tempat sampah untuk membuang kaleng minuman itu. Aku menyalakan kran bak cuci piring untuk membersihkan tanganku yang tidak sengaja terciprat sisa minuman tadi.
Keep it together, Steph! Jangan sampai Dion lihat kamu nangis! Jangan buat dia kepikiran! Kamu bisa selesaikan masalah ini sendiri.
"Kalau aku buat salah tolong bilang dong, Yang. Jangan diam gini aja. Gimana aku bisa memperbaiki nanti kalau nggak tahu salahnya apa." Saat masih belum mendapatkan jawaban dariku, ia kembali berucap, "Kamu nggak biasanya loh kasih aku silent treatment gini. Ada apa?"
Aku meremas hem sweater putih yang kupakai dan berusaha untuk mengatur napas agar suara tangisku tidak terdengar oleh Dion. Tapi nyatanya, ucapannya itu malah membuatku berderai air mata. Saat aku berbalik badan, pandanganku yang sedikit kabur menangkap Dion menatapku dengan heran dan kekhwatiran.
"Dion …."
"Ya ampun, Sayang. Kenapa nangis?" tanyanya dengan keheranan yang jelas terpancar dari raut wajahnya. Aku hanya menggelengkan kepala, kata-kata yang ingin terucap, tercekat di kerongkongan.
"Aku ada salah sama kamu? Soal apa?" Ia masih saja mencari-cari jawaban dengan pertanyaan-pertanyaan yang membuatku semakin ingin menangis. "Kamu nggak suka kita bahas soal rencana pernikahan kita sekarang? Aku tahu kita sama-sama sibuk, tapi ya udah kamu kan tinggal bilang aja. Kenapa harus nangis? Aku itu cuma mau nyicil aja, Yang. Bentar lagi kita LDR, kalau nggak sekarang kapan lagi aku bisa berpartisipasi langsung buat ngatur semuanya."
Pandanganku semakin buram, detak jantungku rasanya dua kali lipat lebih cepat. Dadaku pun rasanya sesak setiap kali menghirup oksigen. Telapak tangan dan kakiku kebas saat keringat dingin perlahan membasahi. Kurasa benar apa yang dokter bilang dulu kepadaku, kepala ini sepertinya tidak bisa menampung terlalu banyak hal. Karena jika dipaksa, bisa saja terganggu kinerjanya dan mengakibatkan stres yang berlebih.
"Kamu ke sini deh," panggilan Dion dengan lembut saat aku masih bergeming di balik meja dapur. Ia menepuk-nepuk pahanya, mengisyaratkan agar aku duduk di sana. "Jangan berdiri di situ terus."
Dengan langkah yang goyah dan pandangan kabur, aku berjalan menuju dia duduk. Ia segera merengkuhku ke dalam pelukan dan mendudukkanku di pangkuannya. Saat itu juga, tangisku semakin pecah. Rasa lelah yang kutahan dari siang akhirnya meluap begitu saja. Aku berharap ini hanya mimpi buruk yang singgah sebentar dan akan hilang saat aku terbangun nanti. Namun, aku bisa merasakan tangan Dion yang menepuk-nepuk pelan dan mengusap punggungku, serta embusan hangat napasnya yang menerpa kulitku. Jadi, ini nyata bukan mimpi dan pahitnya lagi aku harus menghadapi ini semua.
"Kamu kenapa, hmm? Ada masalah apa?" tanyanya dengan lembut sambil terus mengelus-elus punggungku. Saat aku tidak menjawab, Dion mengeratkan pelukannya. "Ya udah, gapapa, nangis dulu lagi aja. Tapi nanti cerita ya sama aku apa yang buat kamu nangis gini. Kalau kamu nggak cerita, aku nggak bisa bantu kamu cari solusinya, Sayang. Aku nggak punya kekuatan super buat baca isi pikiran kamu. Oke?"
Aku hanya bisa mengangguk.
Sesaat setelah kami terdiam dan hanya suara sesenggukan milikku dan suara pendingin ruangan yang terdengar, Dion kembali bertanya, "Aku bikin kamu marah hari? Atau kamu ada masalah sama Adrian lagi, hmm?" Aku menggeleng.
"Bukan ya. Syukur deh kalau aku nggak bikin salah. Ini kita main detektif-detektifan apa gimana, hah?" Ia tertawa kecil. "Aku harus cari tahu satu persatu inti masalahnya apa. It's okay, I get it."
"Sama Adrian juga lagi baik-baik ya. Hmm, sama Stella?" tanyanya lagi. Aku menggeleng. "Enggak ya? Iya sih, kalian berdua kan jarang ribut dari dulu. Adem-adem aja."
Benar apa yang Dion katakan. Aku dan Stella meskipun sudah bersahabat sejak lama, kami berdua bisa dikatakan jarang sekali bertengkar. Mungkin hanya salah paham biasa, itu pun bisa kami selesaikan kurang dari dua puluh empat jam. Stella selalu ada untukku, begitu pun sebaliknya. Stella juga menjadi orang pertama yang memelukku tadi siang setelah mendengar kabar dari salah satu karyawan di Louroose.
"Kamu kalau lagi kaya gini mirip banget sama Sabrina deh," ucap Dion sambil terkekeh. "Dia kalau nggak dituruti sama Randi pas minta es krim atau mainan, pasti nangisnya ke aku. Ya cuma pas selama aku di sini sih, kan sebelumnya jarang ketemu. Tapi serius deh, persis kaya gini, peluk aku kenceng gitu sambil sesenggukan."
Dion sedikit merenggangkan pelukannya hanya untuk melihat wajahku sekejap, senyuman tipis tersungging di bibirnya. Kecupan manis ia berikan untuk di pelipis kiri, pipi sebelah kanan, dan pundak sebelum ia memelukku kembali. Ia juga memberikan pijitan ringan di punggungku dan itu sedikit berhasil meringankan ketegangan yang kurasakan. Aku tahu apa yang ia katakan itu hanya semata-mata untuk menghiburku saja. Lalu, ia mungkin berharap aku bisa menceritakan apa yang membuatku menjadi sensitif seperti ini.
"Sayangku, hari ini lagi capek ya? Kamu nggak lagi PMS kan, Yang? Seingat aku baru minggu lalu deh kamu selesai mens, nggak mungkin PMS lagi ya. Ingat kan kamu telepon aku siang-siang pas aku lagi meeting terus minta dibeliin roti bakar madu yang ada di depan MRS? Aku pikir kamu lagi bercanda, soalnya nggak pernah kamu minta aku buat beli sesuatu gitu," ujarnya sambil terkekeh. "Lucu aja sih. Soalnya pas aku tanya gimana kalau tutup, kamu langsung kaya ngegas gitu, nggak mau yang lain harus roti bakar itu. Udah kaya ngidam aja ya."
Ya, itu benar. Tiba-tiba saja saat aku menjelang menstruasi, terbayang rasa manis roti bakar madu dan yang paling enak menurutku hanya ada satu, yaitu tepat berada di seberang Mahardika Resort & Spa. Kios yang tidak terlalu besar, hanya ada dua kursi panjang tapi pembelinya selalu ramai. Setelah Dion datang membawa roti bakar madu tersebut, hanya dua potong kecil yang kumakan, delapan sisanya sudah tidak menarik lagi bagiku. Entahlah. Kubiarkan begitu saja dan akhirnya Dion yang menghabiskannya.
"Kamu ada masalah apa sih sebenarnya, Yang? Ada yang marahin di kantor? Eh, nggak mungkin ya, kamu kan bosnya di kantor. Tadi juga pas aku ke Louroose, kata pak satpamnya kalian lagi meeting ya. Aku nggak mau ganggu kamu sih tadi, makanya aku nggak ngomong kalau ke sana. Aku malah makan siang tadi sama pak satpam, dia orangnya baik banget ya, lucu juga, asik diajak ngobrol," tutur Dion panjang lebar.
Itu juga aku tahu, karena Pak Yanto yang ia bicarakan memberitahuku tadi. Tidak henti-hentinya beliau memuji Dion yang mau membelikan menu makan siang dan menikmatinya bersama padahal baru beberapa kali bertemu. Itu pun hanya sekedar bertegur sapa sebelumnya. Itu salah satu hal yang tidak pernah gagal membuatku kagum dengan tunanganku ini. Kerendahan hatinya, sikap kepeduliannya dengan siapa saja yang sudah ia kenal maupun dengan yang baru ia kenal.
Namun, di sisi lain aku bersyukur karena Dion tidak memberitahuku jika ia datang tadi siang, karena suasana kantor sedang tidak kondusif. Aku takut jika ia masuk dan melihat kejadian tadi, aku tidak akan bisa bertahan dan malah hancur di hadapan seluruh karyawanku.
"Ayo, Yang. Kamu kenapa? Bantu aku, kasih tahu aku kenapa. Nanti kalau udah cerita, aku bakalan bantuin kamu cari solusinya. Aku janji," bujuknya lagi. "Kita bentar lagi pisah loh, Yang. Mumpung aku masih ada di sini, kamu bisa cerita apa aja sama aku. Nanti kalau kita udah pisah, susah buat aku bisa bantu kamu."
Kenapa dia harus ungkit itu sih? Membayangkan harus berpisah dengannya itu membuatku semakin sedih.
Dion menatapku dengan kepanikan di matanya. Jemarinya mengusap air mata yang mengalir deras di pipiku. "Eh, kok makin nangis sih kamunya? Sssh, enggak bukan pisah yang putus terus aku ninggalin kamu lagi. Bukan itu. Sementara aja kan. Makanya selagi aku ada di sini, kamu bisa cerita sebebasnya, apapun itu. Ya?"
"Aku … aku bingung harus gimana," ucapku disela-sela tangisan. Akhirnya mulutku bisa mengeluarkan kata-kata.
"Pelan-pelan aja," suruh Dion dengan sedikit berbisik ketika ia menundukkan kepalanya untuk mengecup pundakku. Ia kembali mengelus-elus punggungku. "Tarik napas dulu, keluarin pelan-pelan. Tenangin pikiran kamu. Mau minum dulu nggak?"
Aku menggeleng sebelum mengikuti arahannya. Mengambil napas dalam-dalam dan menghembuskan, kulakukan itu beberapa kali sebelum kembali mencoba berbicara.
"Kamu tau gimana rasanya dikhianati orang yang udah kamu percaya? Sakit … sakit banget," ucapku dengan masih bingung harus mulai dari mana. Suaraku pun masih bergetar.
Kata-kataku barusan membuat Dion menghentikan gerakan tangannya yang mengusap punggungku. Aku masih tidak yakin apa harus menceritakan ini padanya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro