Berterus Terang
Dion menatapku dengan matanya yang merah dan sorotan lelah. Ia melipat sebuah kertas, memasukkannya ke dalam amplop kembali, dan meletakan itu di atas nakas. Aku tidak bisa membaca isi kepalanya lewat gestur maupun ekspresi wajah yang ia berikan. Terlalu tenang.
Aku melipat kakiku dan mengambil sebuah bantal untuk kuletakkan di pangkuan. "So …. "
"What?"
"Apa isi suratnya?"
Ia tersenyum tipis. "Kepo ya?"
"Dion .... " Aku menepuk pelan perutnya yang terlapisi kaus biru dongker.
"Iya, Sayang," balasnya dengan suara lembut dan seringai tipis yang terukir di bibirnya. Ia menahan tanganku kananku. "Jangan pukul-pukul gitu dong. Kamu enggak ingat apa kalau perut aku masih sakit."
"Kamu sih .... " Aku berdecak. "Nameera bilang apa?"
"Kenapa kamu enggak baca sendiri?"
Aku menggelengkan kepala. "Ya udah, kalau kamu enggak mau kasih tahu."
Aku hanya ingin mendengar dari mulut Dion, bukan membaca suratnya.
Ia tertawa dan merengkuhku ke dalam pelukan hangatnya. "I bet you were jealous last night. It's okay, that means you love me." Sebuah kecupan ia daratkan di puncak kepalaku.
"Jadi, apa isinya?"
"Hmmm, dia cuma bilang kalau mau pergi ke Inggris. Ucapan selamat tinggal," jelasnya.
Jadi hanya begitu isi surat yang Nameera berikan pada Dion? Kenapa harus pakai surat, toh dia udah ngomong 'kan sama aku semalam?
"Kamu ... gimana rasanya Nameera pergi?" tanyaku dengan hati-hati.
"Biasa aja. Kenapa kamu nanyanya gitu?" tanyanya dengan bingung.
Aku mengangkat bahuku. "Oke. Anyway, kamu udah baca surat dari aku?" tanyaku sambil mendongak.
Ia terkekeh. "Belum. Bentar, aku ambil dulu."
Dion meraih surat dariku yang ada di bawah gelas dan membacanya dalam hati. Aku memperhatikan bagaimana mata hijaunya bergerak mengikuti setiap kata yang ia baca, sambil masih bersandar di dadanya. Sebuah senyuman lebar yang selalu membuat hatiku terasa hangat, hadir menghiasi wajah Dion.
"Happy birthday," bisikku.
"Thank you so much, Babe," balasannya sebelum mencium bibirku. "So, when are you going to give me my gift, huh?" bisiknya di telingaku.
"What do you want?" tanyaku sambil tertawa kecil karena geli akibat napasnya yang mengelitik telingaku.
"All of you .... "
Pupil matanya melebar, bibir sedikit terbuka, serta sentuhan lembut mendominasi di punggungku, yang membuatku lupa bagaimana cara bernapas. Dengan malu-malu, aku membalas tatapannya. "What do you mean?"
Kini kedua mata hijaunya berubah warna menjadi sedikit gelap, ia melihat ke arah bibirku, mengusapnya pelan dengan ibu jarinya. "I love you so much."
"I love you too." Aku tersenyum dan mengecupnya. Kecupan manis di awal, pelan-pelan berubah menjadi panas seiring dengan hasrat dalam diri kami yang semakin membuncah.
Dion mengangkat tubuhku, kini aku berada di atasnya. Ini memang bukan pertama kalinya, tetapi rasanya masih sama. Selalu membuatku gugup, gelisah akan permainan panasnya.
"Iya, nanti gue nyusul. Ini mau balik dulu buat ambil gambarnya, Stella Matic."
"Wait, lo enggak pulang semalam? Wah …. "
"Wah apa?"
"Kayaknya ada yang habis menikmati All Night Long Paradise, nih." Kata-kata itu keluar dari mulut sahabatku, diikuti gelak tawanya yang memekik telinga.
Aku menggigit bibir ketika mengingat kembali apa yang kulakukan bersama Dion beberapa jam yang lalu. Wajahku memanas seketika. "Ngaco lo!"
"Pakai malu-malu, lo, Babe," ucap Stella. "Kalau pagi emang sensasinya beda, sih."
"Stella, astaga. Udah, gue tutup teleponnya. Ini udah mau sampai. Nanti kita ketemuan langsung di sana aja, ya?"
Stella tertawa kembali. "Ya udah. Oke, Babe. Bye."
"Tadi saya sudah bayar lewat aplikasi ya, Pak," ucapku pada supir taksi daring yang kutumpangi ketika berhenti di depan lobi apartemenku.
"Iya, Mbak. Terima kasih."
Aku segera turun dan mengucapkan terima kasih pada supirnya, lalu berjalan menuju lantai unit tempat tinggalku. Ketika aku melepas heels yang kupakai setelah berhasil memasuki apartemenku, aku dikejutkan oleh suara dari arah ruang tamu.
"Baru pulang?"
Aku membalikkan badan sambil memegangi dada, tidak menyangka jika akan ada orang di dalam sini. "Mas .... "
Aduh, mati aku! Adrian pasti marah.
Adrian yang menggunakan celana pendek hitam dan kaus abu-abu polos, seperti ia bermalam di sini.
"Dari mana aja kamu?"
Aku berjalan ke arahnya dengan menenteng heels dan juga tas. Ketika aku mengambil tempat di depannya, aku merasa seperti anak kecil yang ketahuan memakan makanan manis padahal sudah diperingatkan untuk tidak menyentuhnya.
"Hmmm, dari rumah … teman."
"Teman? Stella enggak ada bilang sama aku kalau kamu semalam di rumah dia," ungkap Adrian. Ia menatapku tajam.
"Ya, teman aku 'kan bukan cuma Stella, Mas."
"Dion maksud kamu?" tanya Adrian. "Sadar enggak sih, apa yang kamu lakukan ini ada konsekuensinya?"
Aku memilih bungkam. Di kepalaku sama sekali tidak kutemukan kata-kata yang tepat untuk menanggapi pertanyaan Adrian. Apa yang kuhadapi saat ini sudah pernah terlintas di kepalaku. Aku tahu, cepat atau lambat Adrian pasti mengetahuinya. Namun, tetap saja aku tidak siap.
"Aku tahu, kamu bulan depan udah dua puluh empat tahun. Kamu udah dewasa, udah sukses, udah bisa menentukan jalan hidup kamu. Tapi ingat, Steph … sampai kapan pun, kamu itu tetap adik aku. Adik perempuan satu-satunya yang harus aku jaga. Aku enggak mau hal yang kita semua enggak harapkan terjadi, cuma gara-gara keegoisan kamu."
Nada bicara Adrian masih dalam konteks normal. Namun, itu malah membuat mataku memanas dan menitikkan air mata. Aku bahkan tidak sanggup menatap Adrian.
"Orang itu enggak bisa berubah dalam sekejap, Steph," lanjutnya. "Aku itu peduli sama kamu … aku sayang sama kamu."
Ya, Tuhan.
"T-tapi Dion udah berubah, Mas," paparku dengan suara parau.
"Dari mana kamu tahu? Bisa baca isi kepala dia?"
"Kenapa sih kamu benci banget sama Dion, Mas? Kenapa kamu enggak hargai keputusan aku? Dia udah berubah dan aku yakin itu."
Aku tertawa getir. "Jangan jadi bodoh cuma gara-gara ngikutin ego kamu."
"Bodoh? Kamu bilang aku bodoh?" tanyaku. "Aku cuma ngikutin kata hati, Mas. Selama tujuh tahun enggak pernah sekalipun aku lupain Dion. Enggak pernah. Jauh di dalam lubuk hati yang terdalam, aku selalu mengharapkan dia buat kembali lagi. Sekarang udah di sini, dia tetap pilih aku dan begitu juga sebaliknya. Tapi kenapa kamu malah jadi penghalang? Kamu enggak mau aku bahagia?"
Tangisanku sudah tidak tertahan lagi. Air mata mengalir begitu saja, seiring dengan rasa sakit di dada. Aku merasa begitu bahagia dengan kembalinya Dion di sisiku, tetapi penentangan dari Adrian begitu menyakitiku.
Adrian berdiri dan menjauh dari sofa. Ia berjalan menuju dapur untuk mengambilkan segelas air untukku. "Minum dulu," perintahnya.
Aku menepis gelas itu yang membuatnya berserakkan di lantai, menjadi serpihan kecil. "Aku enggak butuh," ucapku di sela-sela isakan.
Adrian terlihat tidak menyangka aku bisa melakukan itu. Ia menghela napas dan duduk di sebelahku. Aku memejamkan mata dan berusaha mengontrol emosiku yang tiba-tiba menjadi tidak stabil.
Breathe in and breathe out, Steph. Get a grip!
Setelah tangisanku mereda dan menyisakan isakan, aku berkata, "Aku minta maaf, Mas. Tapi kali ini aku tetap sama pilihanku." Lalu aku pergi meninggalkan Adrian dan menuju kamarku untuk berganti pakaian.
Hai, hari pertambahkan usiaku. Tambah tua, tapi kadang kelakuan masih kayak bocah wkwkwkwk 🙈
Anyway ... Cupcake ini aku gambar beberapa tahun yang lalu, pakai pensil terus aku warna pakai pensil warna Faber Castell. Anggap aja sebagai kue ulang tahun ya 😆
Oh, iya ... selagi aku nulis buat kelanjutan cerita ini, kalian bisa mampir ke ceritaku yang lain, judulnya HE'S THE ONE. Itu spin-off dari cerita ini. Selama membaca 😊♥️♥️♥️
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro