Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bersatu

Chapter kali ini agak panjang ya ... No pun intended 😏😉
. . .

Baru saja aku ingin melesat ke kamar untuk mengambil robe atau apa pun itu, sebelum berhasil melangkah, bel kembali terdengar. Aku khawatir jika ia berdiri terlalu lama di luar, tetanggaku yang kepo akan menanyainya dan kemungkinan bisa saja sampai ke telinga kakakku. Rasanya ingin sekali aku menggerutui Dion untuk datang di waktu yang tidak tepat. Dengan kesal, aku segera membukakan pintu untuknya.

"Kamu kenapa malam-malam gini ke sini?" tanyaku tanpa basa-basi.

"Kenapa harus ada alasan buat ketemu kamu? Ini kenapa lagi cuma kepala doang yang keluar?" Dion mengerutkan keningnya. Tangan kanannya menunjuk ke arah kepalaku.

Aku berdeham untuk menyembunyikan kegugupanku. Memang benar aku tidak sepenuhnya membuka pintu dan hanya kepalaku saja yang keluar seperti sedang mengintip, dan ini terlihat sangat konyol.

"Gapapa."

Matanya bergerak menyelidikiku. "Boleh aku masuk?"

"Mm, oke .... "

Aku membuka pintunya sedikit lebih lebar agar Dion bisa melewatinya. Ia berjalan menuju ruang tamu dan baru kusadari jika ia menjinjing kantung kertas dengan sebuah kotak di dalamnya. Dengan canggung aku berjalan di belakangnya dan menyilangkan kedua lenganku di depan dada agar apa yang ada di balik oversized t-shirt ini tidak terlalu menonjol.

AC yang berada di ruang tamu ini hanya semakin memperburuk keadaan, karena secara alami milikku sudah mengeras di balik kaus krem ini. Ditambah lagi kini diriku sedang PMS, kalian perempuan pasti tahu rasa sakitnya dada ini ketika akan menstruasi. Rasanya aku ingin sekali bersembunyi dari Dion sekarang.

Dion menghadap ke arahku sambil mengulurkan tas kertas tersebut. "Aku bawain kamu martabak manis. Sesuai selera kamu, keju sama meses yang dikit aja, soalnya aku tahu kamu enggak suka kalau terlalu manis."

Aww, dia masih ingat kesukaanku.

"Makasih ya. Seharusnya kamu enggak usah repot-repot gini," ucapku sambil masih menyilangkan lenganku.

"Kamu kenapa sih? Enggak suka martabaknya? Mau aku beliin yang lain?" tanyanya ketika tanganku tidak menerima martabak darinya. Diletakkannya martabak tersebut di atas meja, di dekat pot putih berisi Aglonema Red Valentine, lalu ia berjalan ke arahku. Merenggangkan kedua lengannya seperti ingin memeluk, aku mundur selangkah menjauh darinya.

"Mm, aku ke kamar bentar ya .... " Segera saja aku berlari ke atas menuju kamarku. Mencari benda sialan itu di lemari, aku menemukan sport bra warna abu-abu lalu memakainya cepat dan segera kembali ke bawah untuk menemui Dion.

Aku berdeham saat menemukannya terduduk di sofa, tatapannya berhasil membuatku salah tingkah.

"Ada masalah?" tanyanya menyelidiki gerak-gerikku.

"Sama sekali enggak." Aku tersenyum kecil dan duduk di sampingnya. "Oh iya, kamu mau minum apa?"

"Nanti aja," jawabnya sambil menggeser duduknya dan merangkul pundakku.

"Oke." Tanganku membuka kardus martabak yang Dion bawa, mengambil satu potong dari sana dan memasukannya ke dalam mulutku. "Hmm, udah lama aku enggak makan kayak gini. Makasih ya."

Makanan tidak menyehatkan memang selalu terasa begitu nikmat. Sudah lebih dari 3 tahun ini aku berusaha membatasi asupan junk food dan fast food. Awalnya hanya untuk menurunkan berat badan agar menjadi ideal, tetapi lambat laun itu menjadi kebiasaan dan menjadikanku lebih sehat sekarang.

Sedari SMA, berat badanku tidak masuk kategori ideal, walaupun tidak terlalu banyak, tetapi sebagai perempuan yang mudah insecure dulunya, aku terlalu memikirkan hal itu yang mana salah besar. Dengan tinggi 173cm, menurut tulisan yang ada di SIM, dulu berat badanku sekitar 69kg, sekarang aku masih di sekitar angka 60kg.

At least now I have curves in the right places.

"Sama-sama, Sayang." Dion tersenyum simpul. "Adrian kemana?"

"Masih di rumah sakit," jawabku singkat. Dion memperhatikanku lagi. "Kenapa?" tanyaku sambil menjilat sisa cokelat yang ada di ibu jari dan telunjukku.

"Kamu gapapa?"

Aku menghela napas panjang dan beranjak dari sofa untuk menuju dapur, tak kusangka Dion mengekor di belakangku. Kunyalakan kran air dan membersihkan jari-jariku dari sisa cokelat, menutupnya ketika sudah selesai lalu mengambil dua lembar tisu untuk mengeringkan tanganku. Setelah itu, aku mengambil sebotol air putih dingin dan menuangkannya ke gelas, kuminum air itu hingga tak tersisa. Dari sudut mata, menangkap Dion yang berdiri menyender di kulkas. Aku perlahan menghadap ke arahnya.

Entah mengapa rasa ingin berada di pelukan hangatnya itu terbesit di otakku saat ini, padahal baru tadi pagi kami bertemu. Kenapa aku jadi seperti ini? Aku menelan ludah dengan sedikit gugup, keberadaannya di apartemenku sekarang ini sungguh terasa aneh. Bukan keanehan yang buruk, hanya saja aku tidak pernah menerima tamu laki-laki di apartemen ini sebelum Dion. Bahkan teman-teman Adrian pun hanya sekali berkunjung di sini, entahlah Adrian sepertinya tidak menyukai jika ada lelaki yang bertamu, kecuali papa.

Aku menaruh gelas kosong yang kupakai tadi di atas kitchen island lalu melingkarkan kedua lenganku di pinggang milik Dion, memeluk cinta pertamaku ini dengan erat. Aku memejamkan mata ketika ia membalas pelukanku. Bisa kucium aroma tubuhnya, wangi dari musk dan citrus, serta dirinya. Hoodie yang ia pakai juga sangat halus dan hangat, tercium juga lamat-lamat aroma lembut detergen. Ini sangat menenangkan.

"I missed you," bisikku di sisi lehernya.

"I missed you too, Angel Face." Dion mengecup bahu kananku dan terdiam di sana beberapa saat, dapat kurasakan hangat napasnya menyapu kulitku dari luar kaus yang kupakai.

"I'm sorry, but I don't really wanna talk about what happened to her tonight." Apa pun yang akan Dion tanyakan tentang Karina, aku yakin sebagian besar jawabannya sudah ada di dalam berita online maupun televisi. Sama sekali aku tidak ingin membahasnya malam ini karena itu benar-benar menguras emosi, membayangkan kembali wajah pucat Karina yang tertidur di rumah sakit itu sungguh sangat menyakitkan.

"I understand. It's okay," jawab Dion. Bisa kurasakan ibu jarinya mengusap-usap punggungku. "I'm sorry I brought that up."

"Thank you," ucapku lirih sambil mengecup leher. "Dion .... "

"Yeah?"

"If I'm asking you to stay here with me tonight, what would you say?"

Aku merasa ada yang berubah dari tarikan napasnya, bisa kudengar juga detak jantungnya yang berdetak cepat. Diriku sendiri bahkan tidak percaya bisa menanyakan hal seperti itu padanya. Kurasa Dion mengerti dengan apa yang kumaksud, dan itu membuatku sangat gugup. Namun, sebelum aku menarik pertanyaan itu kembali, Dion sudah menjawabnya.

"I would say yes." Suaranya terdengar lebih berat. Ia menjauhkan dirinya dariku hanya untuk bisa menatapku kembali. Kemudian, semuanya terjadi begitu cepat, hingga akhirnya kami berdua larut dalam kecupan panas dan belaian sensual dari tangan masing-masing.

Dion mengangkat tubuhku dan secara refleks aku melingkar kakiku di pinggangnya. Kupikir aku ini berat, tapi nyatanya Dion sanggup menahan tubuhku tanpa protes. Desahan keluar begitu saja dari mulutku saat tangannya meremas bokongku, kesempatan itu Dion gunakan untuk menautkan lidah kami yang membuatku meremas rambutnya.

"Where's your room?" tanyanya di depan bibirku.

"Upstairs," jawabku terengah sambil masih terpejam.

Ia mengangguk dan segera berjalan menuju lantai atas dengan diriku yang masih ia gendong. Pandanganku sedikit kabur dan pikiranku pun berlarian ke penjuru arah saat Dion merebahkanku di tempat tidur, tanpa jeda yang lama ia menautkan bibir kami kembali. Dion menjalarkan kecupannya dari bibir, pipi, telinga, rahang, leher, hingga bagian atas dadaku yang tidak tertutupi kaus. Itu semua meninggalkan jejak panas yang sungguh membuatku hilang akal.

Tangan hangatnya menyingkapkan kausku sebatas perut, bibirnya bergerak secara sensual di atas permukaan kulitku. Ini sedikit geli, tanpa kusadari aku tertawa begitu saja saat ia mencium area di sekitar pinggulku.

"Looks like I found your tickle spot," gumam Dion. Ia mendongak dengan seringai yang sangat seksi.

Aku tidak dapat merespon kata-kata, karena setelah itu ia sudah meloloskan hoodie dan kaus putih polosnya. Menampilkan otot tubuhnya yang sangat menggoda, sungguh pemandangan yang menakjubkan. Bukan pertama kalinya bagiku melihat ia tanpa baju, tetapi kali ini rasanya sungguh berbeda. Sesaat kemudian, kaus yang kupakai pun terlepas dariku, menyisakanku dengan sport bra dan celena pendek ini.

"Can I?" tanyanya sambil mengangkat alis untuk menunjuk ke arah braku. Aku tidak sanggup menjawab, lidahku kelu, hanya anggukan saja yang mampu kulakukan. Lalu ia melempas bra yang kupakai, kamarku tiba-tiba saja menjadi lebih dingin dari biasanya. Aku menarik napas dan mengembuskannya dengan sedikit gemetaran.

Saat diriku sudah setengah polos di hadapannya, sambil bertumpu pada kakinya, Dion yang berada di antara pahaku, memandangiku dengan takjub. Lautan hijau yang sudah menggelap itu seperti tidak bisa terlepas dari tubuhku. "You're such a Goddess."

Ia lalu mendekat kembali dan membungkus milikku dengan bibir panasnya sementara tangannya menstimulasi yang satunya. Meski sedikit sakit, tapi aku menikmatinya. Demi apa pun, ini lebih dari apa yang Stella ceritakan.

Oh, ya Tuhan!

Aku menarik tengkuknya dan mencium bibirnya kembali. Tangan Dion sudah menyentuh, bahkan membelai milikku dari luar pakaian. Aku meloloskan sebuah desahan akan hal itu sambil memeluk pundaknya. Telingaku terasa berdengung.

"Are you sure?" tanyanya sambil mendongak untuk menatapku. Gairah terpancar dari kedua matanya, bibirnya memerah karena ciuman panas kami dan itu membuat pipiku memanas.

Aku kembali mengangguk.

"Say it, Baby ... " perintahnya dengan lembut. Ibu jarinya menyapu bibir bawahku.

Aku menatap lurus mata lelaki di atasku ini, lelaki yang begitu aku cintai sejak lama, bahkan sejak sebelum aku mengenal apa itu cinta kepada lawan jenis. Dirinya sangat berarti, dan aku tidak akan pernah menyesali jika memberikan sebagian dari diriku padanya malam ini. Meskipun aku tahu masalah yang kami hadapi masih mengejar, akan tetapi aku yakin sebentar lagi akan berhenti dan kami akan bisa bernapas dengan lega.

"Yes, I'm sure." Aku menelan ludah. "I love you." Aku membelai pipinya yang membuat ia tersenyum. Mataku tiba-tiba saja memanas dan menitikkan air mata.

"I love you so much, Baby." Dion mengenggam tangan kananku, lalu memberikan sebuah kecupan di pergelangan dan telapak tanganku.

Sesaat kemudian, sisa pakaian yang melekat di tubuh kami pun terlepas ....

Seharusnya aku tadi tidak perlu berlari ke kamar untuk memakai bra, kalau akhirnya akan terlepas juga.

. . .

Writing a sex scene is kinda hard😏😆

Gimana nasib martabak manis yang terlupakan di meja?

Hey ... Ketahuan kan, yang gak tahan bukan cuma Dion, tapi Steph juga ... Ada yang nyangka gak sih kalau bakal kejadian gini?

Btw ternyata nulis ginian sensasinya beda ya. Agak takut sih awalnya tadi sampai panas dingin sendiri😂😂🙈🙈

Tiap ngetik perkalimat bawaannya deg-degan mulu, gak kayak baca punya orang lain🙈🙈

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro