Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Berdamai

Aku boleh minta tolong? Ada pertanyaan simple di bawah, jawab ya🙃

Stella dan Niko ternyata tidak hanya membeli roti, tapi juga kue cokelat dengan irisan kacang almond sebagai topping. Kue yang tinggal setengah dan juga dingin ini karena Stella simpan di dalam kulkas, ternyata sangat enak. Cokelat yang terasa sedikit pahit sangat cocok di lidahku. Aku lebih memilih memakan kue ini dari pada roti sobek dengan isian selai blueberry, terlalu manis untuk standarku. Kunikmati suapan terakhir sambil mengamati lampu gantung dengan kap yang anyaman bambu yang unik itu.

Pikiranku berlarian ke segala arah.

Suara langkah kaki mengalihkan perhatianku dari lampu itu. Stella berjalan menuju dapur, tempatku berada sekarang, dengan menggunakan kimono bermotif bunga.

"Kuenya gue makan semua," ucapku sebelum meminum susu yang masih hangat ini.

"Ya, lo makan aja. Kenapa belum tidur jam segini, Babe?" Stella terduduk di seberangku, ia menuangkan air putih ke dalam sebuah gelas yang ada di meja dan meminumnya setengah. "Udah kayak orang ngidam aja, makan kue tengah malam."

Ngidam?

Aku memutar mata sambil mendengkus. "Lo sendiri kenapa?"

"Ya kalau gue sih kebangun."

"Gue juga .... "

Stella melipat kedua lenganya di atas meja dan menatapku. "Lo berantem sama Dion? Gue tadi denger ribut-ribut."

Aku tidak menjawab, hanya mengangkat bahu sambil menghindari tatapannya.

"Gara-gara dia pulang telat? Terus dia udah kasih tahu kenapa?"

"Belum," jawabku. Aku menghela napas untuk kesekian kalinya selama duduk sendirian di dapur ini. "Apa gue terlalu clingy ya nanyain dia abis dari mana aja? Gue jadi gak enak udah marah-marah sama dia."

Setengah hatiku merasa jika aku ini terlalu berlebihan menanggapi Dion yang tidak memberiku kabar seharian. Namun, di sisi lain, ada kecurigaan yang tidak bisa kuabaikan.

"Ya enggak lah. Lagian apa susahnya sih tinggal bilang lagi di mana gitu? Atau kasih kabar kalau pulang telat. Biar lo juga gak khawatir, kita kan lagi di Bandung, bukan daerah sendiri. Terus sekarang dia enak-enakkan tidur gitu?"

"Gak tahu gue."

"Ya, udah. Kasih dia waktu dulu. Besok baru lo tanya lagi."

"Dion marah enggak ya, sama gue? Tadi dia gue tampar. Enggak sengaja sih." Aku mengusap air mukaku dengan kasar. Rasa penyesalanku semakin menjadi.

"Apa? Lo nampar Dion?" Tubuh Stella sudah hampir berada di meja sekarang, entah karena kaget atau dia hanya terlalu berlebihan saja. "Serius? Wow! Seharusnya tadi gue lihat."

"Kenapa harus?" Aku mengernyit.

"Itu momen langka ya, Neng. Seorang Stephanie Ruby Ramadani bisa berani nampar orang." Ia terkekeh sambil duduk kembali di kursinya yang mana membuatku memutar mata. "Eh, kalau enggak salah ini kedua kalinya ya lo nampar dia?"

Aku mengangguk pelan. "Iya. Gue pengen nangis rasanya sekarang, ya ampun." Aku memejamkan mata dan menidurkan kepalaku di meja. "Tapi gue tadi berasa kayak … istri yang lagi nunggu suaminya pulang dari … selingkuh."

Stella menggebrak meja yang refleks membuatku melirik ke arahnya, kaget dengan hentakkan yang tiba-tiba. "Hush, jangan mikir yang macam-macam. Gue yakin dia enggak kayak gitu. Udah, jangan nangis. Besok Niko mau ajak kita ke kebun teh punya keluarganya. Lo harus ikut ya. Biar lebih tenang pikirannya … kita liburan."

Aku semalam tidak tidur sekamar dengan Dion dan meminta izin Niko untuk menggunakan kamar yang lain. Niko pasti juga mendengar jika aku sedang bertengkar dengan Dion, karena ia langsung mengizinkanku.

Semalaman aku tidak bisa tidur karena memikirkan perdebatan kami. Aku hanya tertidur sekitar 3 jam. Ada kecurigaan di hatiku jika Dion menemui Nameera kemarin. Entahlah, ini hanya dugaanku saja, tetapi yang kurasakan, ini seperti ketika Dion meninggalkanku di Jogja dulu. Dia bungkam dan menolak menceritakan masalah apa yang sedang ia hadapi. Aku takut jika ia akan pergi lagi dariku.

Jam sudah menunjukan pukul 06:15 pagi, setelah mencuci muka, aku keluar kamar dan menuju kamar yang Dion tempati.  Aku mengikat rambutku sebelum dengan mendorong pintu dan masuk dengan hati-hati. Kulihat Dion masih tertidur pulas dengan selimut yang hampir menutupi seluruh badannya, hanya kepalanya yang terlihat. Senyuman kecil terbentuk begitu saja di bibirku ketika menyaksikan pemandangan itu.

Aku menggelengkan kepala. Ingat, Steph, kamu masih marah sama dia.

Aku segera mencari pakaian yang akan kupakai hari ini dan melesat menuju kamar mandi. Mataku terpejam sambil menikmati semprotan air hangat yang berasal dari shower head, ini terasa seperti pijatan yang membuat tubuh dan kepalaku sedikit rileks.

Aku mungkin harus lebih bersabar untuk menghadapi suasana hati Dion yang kadang-kadang bisa berubah begitu cepat tanpa kusadari. Kepalanya pasti banyak menampung masalah yang membuat ia bersikap seperti semalam. Apa pun yang ia pendam, seharusnya aku tidak boleh memaksanya untuk berbagi denganku sekarang. Mungkin dia hanya butuh waktu saja.

Saat merasa sudah cukup menikmati air hangat ini, aku mematikan shower, dan mengambil botol sampo yang kubawa dari Jakarta. Jantungku hampir saja berhenti ketika sebuah tangan tiba-tiba terulur dan mengambil alih botol yang kupegang. Aku memutar badanku dan menemukan Dion di belakangku ... tanpa sehelai benang pun.

Holy fuck!

Aku menelan ludah, mendongak, dan memicingkan mataku. "Ngapain kamu di sini?"

"Biar aku aja." Dia tersenyum kecil dan membuka tutup botol sampo itu, lalu menuangkannya ke telapak tangannya, sebelum menyampo rambutku dan memberi pijatan ringan.

Susah payah aku menahan suara yang tertahan di ujung lidahku karena saking menikmati pijatan tangan Dion di kepalaku.

"Turn around for me, please," bisiknya sambil menyentuh pundakku. Dengan pasrahnya aku menuruti perintahnya.

Ia kemudian mencuci bagian rambutku yang tergerai di punggungku. Mataku terpejam begitu saja saat bibirnya mengecup pundakku, kecupannya sangat lembut, bahkan hanya sedikit menyentuh kulitku. Namun, hangat napasnya berhasil membuatku meremang. Dion menyalakan shower ketika selesai menyampo rambutku, membuat air hangat kembali mengucur, membasahi tubuh kami.

Beberapa detik kemudian, entah siapa yang memulai terlebih dahulu, mulut kami sudah beradu. Sambil berjinjit, aku mengalungkan lenganku di lehernya, dan meremas rambutnya saat ciumannya semakin dalam. Tangannya pun sudah mulai menjelajahi tubuhku, membuat jantungku semakin berpacu. Pada saat tanganku mengusap sisi tubuhnya, tepat di sekitar tulang rusuk, Dion mengerang kesakitan.

Aku mundur selangkah untuk melihat apa yang terjadi, dan benar saja, di sana terdapat memar yang tidak besar tapi cukup terlihat menyakitkan bagiku.

"Ini kenapa?"

Ia menatapku lekat, enggan menjawab, tangannya menarik pinggangku untuk mendekat, dan pada saat itu aku baru sadar jika bibir bawahnya di bagian sebelah kiri terluka.

"Ini juga, kok bisa gini?" Telunjukku menyentuh bibirnya. "Apa tadi … kegigit aku?" Astaga pertanyaan macam apa itu?

Dion hanya terkekeh dan kembali menciumku. "It's nothing."

"Tapi-"

Mataku terpejam, ucapanku terpotong begitu saja dan digantikan dengan desahan ketika jemarinya membelai bagian tubuhku yang sedari tadi menginginkan atensinya. Suara desahan kami pun tersamarkan dengan semprotan deras air dari shower yang masih menyala.

Aku tahu Dion melakukan ini tidak hanya karena dia ingin, tetapi juga untuk mengalihkan perhatianku agar tidak bertanya lebih jauh.

I'm not complaining though.

Terakhir kali aku melihat secara langsung berhektar-hektar kebun teh, sekitar 11 tahun yang lalu saat SMP dalam rangka study tour tahunan. Padahal jika dipikir, dari Jakarta tidak sampai seharian perjalanan, tapi memang baru kali ini aku mengunjungi kebun teh lagi.

Senyum tidak henti-hentinya menghiasi wajahku ketika menyusuri kebun teh milik keluarga Sarkis ini. Kabut tipis, langit yang kelabu, dan sinar matahari yang menerjang awan dengan malu-malu di sisi tenggara, membuat pemandangan semakin syahdu.

Ini yang kurindukan dari Jawa Barat.

Kuhirup dalam-dalam udara segar pegunungan sambil mengabadikan momen dengan kamera Canon EOS M50 yang kudapat dua tahun yang lalu, hadiah ulang tahun dari Adrian. Aku tersenyum puas dengan hasil jepretan kameraku ini, terdapat puluhan wanita sedang memetik daun teh dengan keranjang besar yang mereka tenteng.

Masih melalui lensa kamera, aku melihat ke arah Dion yang sedang berbincang dengan Niko dan beberapa orang yang kuketahui sebagai pengelola kebun ini. Kuambil beberapa jepretan untuk mengabadikan momen tersebut. Ia terlihat sangat tampan, dengan balutan kaus putih yang bertuliskan Givenchy di dada, jaket jin berwarna biru muda, celana jin hitam, dan tidak ketinggalan, sepatu Vans old school-nya yang berwarna hitam dengan garis putih.

Rambutnya seperti biasanya, dibiarkan berantakkan begitu saja. Pipiku memanas, teringat kegiatanku dengan Dion tadi pagi di kamar mandi yang membuat jari-jariku tidak henti-hentinya meremas rambut cokelatnya itu. Belaian dan kecupannya pun masih terasa hingga sekarang di tubuhku. He's amazing.

Saat kami berpakaian setelah selesai mandi tadi, Dion bercerita tentang alasannya pulang telat semalam. Ia bertemu dengan Nameera. Perempuan yang dijodohkan dengannya itu meminta Dion untuk bertemu dengannya, walaupun ia tidak ingin menemui Nameera, tetapi perempuan itu mengatakan jika ia membawa surat perjanjian yang selama ini Dion cari.

Nameera meminta bertemu dengan Dion di hotel tempatnya menginap. Saat Dion sudah mendapatkan surat perjanjian perjodohan itu, tiga orang laki-laki tiba-tiba menghadang Dion di parkiran basement hotel. Mereka adalah tangan kanan orang tua Nameera yang menginginkan surat tersebut kembali.

Adegan kejar-kejaran dan perkelahian dengan tiga orang suruhan tersebut pun tidak bisa dihindari. Tanpa disengaja, Dion bertemu dengan Rio, teman semasa sekolah dasar yang memukulnya dengan balok kayu, yang mengakibatkan luka di bahunya dulu. Saat itu Dion sedang berlarian di jalanan padat kota Bandung, ia hampir saja tertabrak motor yang Rio kendarai, dan di sanalah akhirnya Dion bisa lolos dari kejaran ketiga orang tersebut karena bantuan Rio.

Bicara soal kenapa ia pulang dalam keadaan setengah mabuk semalam, itu karena ia dan Rio mendatangi sebuah bar. Dion mengatakan jika hal ia lakukan sebagai ucapan terima kasih karena temannya tersebut telah membantunya. Walaupun aku masih tidak habis pikir mengapa harus ke bar, kenapa tidak pergi ke restoran atau kafe saja. Demi apa pun, semalam Dion mengendarai mobil sendiri setelah minum. It was so reckless.

Tapi aku tetap bersyukur karena ia pulang dalam keadaan selamat, walaupun ternyata perut dan bibirnya menjadi korban. Namun, pengorbanan itu membuahkan hasil, karena surat perjanjian tersebut sudah berada di tangan Dion sekarang.

Akhirnya kami bisa bernapas dengan lega.

Dion itu ibarat Achilles heel-nya Steph dapat godaan dikit aja udah goyah😆

Oh iya, sejauh ini pendapat kalian soal Steph & Dion gimana? Soal hubungan mereka, atau mungkin soal cara penulisanku, atau penyampaian scene per scene nya kurang atau gimana?

Aku pingin tau😊

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro