Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Argumen

Pakai headset, earphones atau headphones buat dengerin lagunya 🙃

. . .

Pikiranku sedang sangat tidak menentu saat ini. Baru beberapa saat yang lalu aku merasa bahagia karena bisa menghabiskan waktu bersama Dion dan Sabrina, namun sekarang aku merasa sangat kecewa dengannya dan juga sahabatku. Iya benar, aku tidak marah, hanya kecewa saja. Mungkin minuman yang ada di tanganku juga berperan dalam mengubah emosiku saat ini. Entahlah. Aku kembali menyesap minuman ini, sambil menatap ke arah lukisan abstrak yang ada di kamar Dion. Sang pemilik kamar sedang mencari sesuatu di dalam brankasnya, lalu ia kembali terduduk di sampingku dengan membawa sebuah buku besar.

Aku menunjuk jariku ke arah benda yang Dion bawa. "Itu apa?"

Dion terdiam seperti sedang menyiapkan dirinya untuk lebih terbuka denganku. Ia menyerahkan buku itu kepadaku, aku menaruh gelasku di meja sebelum membaca isi dari buku yang ia berikan, yang mana langsung membuatku terheran-heran.

"Sertifikat rumah, buat apa?" tanyaku dengan bingung saat membaca bagian depan buku itu.

Ini aku enggak salah lihat kan? Mana mungkin aku mabuk hanya dengan dua gelas anggur. Itu pun tidak sampai setengah gelas aku menuangkannya tadi.

"Iya. Itu sertifikat rumah," jawab Dion. Ia menyenderkan punggungnya di headboard dan menatapku.

"Buat apa kamu kasih ini ke aku? Sertifikat rumah siapa lagi ini?" Aku membuka lebih lanjut buku itu, lalu menemukan namanya di sana. Ardion Jay Mahardika. Aku melihat ke arah Dion dengan heran. "Rumah kamu? Rumah yang ini?"

Ia mengangguk lalu menjilat bibirnya. "Aku dapat rumah ini tahun 2013, dari salah satu agen properti yang menurutku udah terpercaya. Dengan harga yang menurutku masuk akal buat bangunan seluas ini. Dulu rumah ini cuma satu lantai, halamannya luas, terus akses kemana aja juga dekat dari sini. Jadi kenapa enggak, aku beli aja."

"Aku enggak paham kamu ngomong apa," kataku. Alisku bertaut mendengar pernyataannya.

Apa maksudnya ini?

"Rumah ini dulu di jual 2,5 M. Aku beli bulan Februari 2013... atas nama Luiz Serrano."

Seketika memori enam tahun yang lalu tiba-tiba kembali hadir di pikiranku. Tepat di mana pertama kalinya aku mendapatkan komisi yang lumayan besar dari tempatku bekerja, Ayana Property Agency. Seorang laki-laki berumur sekitar 40 tahunan yang dengan baik hati menghubungiku siang itu dan langsung meminta untuk di temani melihat rumahnya. Tanpa pikir panjang, beliau langsung mengatakan jika cocok dengan rumah yang aku tawarkan itu. Selang beberapa hari, rumah itu berpindah ke tangannya dan aku mendapatkan komisi sekitar 60 jutaan.

"Enggak mungkin," ucapku dengan menutup mulut karena kaget. "Dion, kamu jangan bercanda. Enggak mungkin..."

Pantas saja aku seperti mengenal rumah ini.

"Luiz Serrano itu adiknya mamaku. Aku minta tolong om Luiz buat beli rumah ini atas namanya, terus empat tahun yang lalu aku mengajukan balik nama. Aku beli rumah ini dengan uang pinjaman dari papa. Aku bayar utangnya dari gajiku selama kerja di London," lanjutnya.

Luiz Serrano adalah adik tante Annalise? Bagaimana bisa aku tidak tahu itu? Oh iya, mungkin karena dirimu tidak tahu nama belakang tante Annalise sebelum menikah dengan om Rudy, Steph.

Aku menatap Dion dengan tidak percaya. "Kenapa? Kenapa kamu beli rumah ini? Kamu kasihan sama aku?"

Dion rela hutang sama papanya demi beli rumah yang aku jualin? Astaga!

Raut mukanya tiba-tiba menjadi panik. "Aku beli karena suka sama rumahnya. Jangan berpikiran yang aneh-aneh."

"Cuma itu?"

Ia mengangguk sambil menatap lurus ke arahku. "Rumah ini aku renovasi jadi tiga lantai. Biar besok kalau aku udah nikah, terus punya anak, mereka bisa hidup nyaman di sini karena banyak ruangan buat mereka main. Di lantai tiga juga ada home theater, biar nanti mereka ada hiburan." Mata hijaunya berbinar saat mengatakan itu.

Aku menjilat bibirku. "Beruntung banget yang jadi istri sama anak kamu nanti."

Mata milik Dion menatap bibirku untuk beberapa saat sebelum menatap mataku lagi. "Aku pernah punya keinginan buat nikahin kamu dulu. Bahkan sejak pertama kali aku lihat kamu pas ujian sekolah. Aku enggak tahu kenapa, cuma keinginan itu terbesit gitu aja."

Apa keinginan itu masih ada sekarang? Ingin sekali kutanyakan itu, namun egoku terlalu kuat dan mengalahkan keinginanku mendengar jawabannya. "Kamu ngomong apa sih?"

Aku mengalihkan pandanganku ke arah lain. Mendengar Dion mengatakan itu membuatku jantungku berdetak lebih cepat, bahkan hawa dingin seperti menyeruak ke dalam diriku. Bukan, bukan karena pendingin ruangan kamarnya.

"Segitu cintanya aku sama kamu, Steph. Aku diam bukan berarti aku enggak pernah mikirin kamu. Aku pergi ke London bukan berarti aku ninggalin kamu sepenuhnya. Aku enggak balas surat-surat kamu, bukan berarti aku enggak cinta sama kamu." Dion memegang kedua tanganku yang ada di pangkuanku.

Saat aku tidak merespon perkataannya, Dion kembali berbicara, "kamu harus tahu itu."

"Tapi itu semua enggak merubah kenyataan kalau kamu jodohin sama orang lain," kataku sambil masih membuang muka darinya.

Kenapa dia enggak sadar-sadar juga sih? Bayangan Nameera itu selalu ada kalau perjodohan itu belum batal.

"Kok jadi balik ke situ lagi?" Ia menghela napas. "Aku udah bilang kan, aku sama Nameera aja enggak setuju sama perjodohannya. Walaupun papanya masih aja bujuk orang tua aku buat segera meresmikan hubungan aku sama Nameera, tapi tanpa persetujuan aku, itu enggak bakal terjadi."

Itu membuatku menatapnya dengan tajam. "Posisi aku sekarang ini jadi kayak selingkuhan kamu, Dion. Apa kalian berdua udah tunangan?"

"Kamu kok ngomongnya gitu sih?" Raut mukanya menyiratkan ketidaksukaan.

"Iya apa enggak?" gertakku dengan nada yang tinggi.

Sepasang mata hijau itu menggelap. "Aku enggak suka kamu naikin suara kayak gitu ya. Yang harus kamu tahu sekarang itu cuma satu, apapun yang akan terjadi, aku akan tetap pilih kamu. Aku akan cari cara apapun buat gagalin perjodohannya biar kita bisa sama-sama lagi. Biar papanya Nameera keluar dari perusahaan. Kamu jangan mikir yang aneh-aneh dong."

"Ya aku ngerasanya gitu," jawabku jujur sambil menghapus air mata yang tiba-tiba mengalir begitu saja di pipiku. Entah apa yang membuatku berani berkata seperti sekarang ini. Mungkin karena efek anggurnya sudah menjalar ke seluruh sistem tubuhku, membuat perasaanku semakin lemah. "Aku di sini sama kamu sekarang, tapi aku enggak tahu gimana kelanjutannya."

"Why can't you have faith in us?" tanyanya dengan nada ketidakpercayaan.

Aku menatapnya dengan pandangan kabur. "Jangan salahin aku, tapi jujur aku masih sakit hati sama kamu. Tujuh tahun Dion. Selama itu aku jalani hidup dengan bayang-bayang kamu. Aku pengen banget nyusul kamu ke London, tapi aku enggak tahu kamu bakalan terima aku apa enggak. Ketakutan itu yang selama ini ada di pikiranku, dan tiba-tiba kamu datang lagi dengan adanya Nameera. Terus tadi, ternyata kamu minta Stella buat mata-matai aku. Aku ngerasa di permainankan."

Dion memejamkan matanya untuk beberapa saat seperti sedang berpikir dan saat ia membukanya kembali, sorot matanya menjadi teduh lagi. "Aku minta maaf udah buat kamu ngerasa kayak gitu. Aku sama sekali enggak bermaksud buat nyakitin kamu atau bikin kamu kecewa. Kamu doain aja biar masalah ini cepat selesai, ya."

Dion merengkuhku ke dalam dekapannya. Kami berdua tenggelam dalam diam, air mataku kembali menetes dan saat tiba-tiba perasaan bersalah menyelimuti hatiku. Tidak seharusnya aku membebani dia dengan ketakutanku akan kehilangan dirinya untuk kedua kalinya. Seharusnya aku bisa mengontrol emosi dan hatiku pada saat-saat seperti ini. Seharusnya aku bersyukur ia kembali dengan masih menyimpan rasa untukku. Aku tidak bisa membayangkan perasaan Dion yang di jodohkan dengan seseorang yang tidak ia kehendaki, ditambah lagi perusahaan yang ia pegang sedang mengalami masalah.

"Maaf udah enggak percaya sama kamu," ucapku lirih sambil mengusap pipiku yang basah. "Aku minta maaf juga udah teriak kayak tadi."

"Iya aku maafin kamu." Aku merasakan bibirnya mengecup pelipis kiriku dan di ikuti oleh dekapannya yang ia eratkan.

"Ngomong-ngomong, soal surat kamu. Apa masih ada lanjutannya?" tanyaku sambil masih bersandar di dadanya.

Dion terkekeh. "Masih ingat aja. Ada lanjutannya. Tapi aku rasa, malam ini bukan waktu yang tepat buat bacain semuanya."

Aku mendongak mendengar ucapannya. "Kenapa?"

Dia melihatku dengan senyuman menawannya. Dion menyelipkan anak rambut ke belakang telingaku lalu mencium pipiku sekilas. "Mm, karena kamu belum siap dengarnya."

"Kenapa?" rengekku.

Dion terkekeh kembali. "Kok maksa banget sih," ledeknya.

"Ya kamu bikin aku penasaran."

"Did I ever tell you, you look sexy when you pout like that?" tanyanya dengan nada suara yang rendah dan terdengar mengoda.

Aku membasahi bibirku karena terlalu grogi berhadapan dengan laki-laki ini. "Do I?"

"Oh God, Babe. You really need to stop teasing me like that," keluhnya sambil memejamkan mata. "Every time you doing that, I feel something inside of me."

Damn it. Aku mengamatinya dengan mulut sedikit terbuka. Bulu mata yang panjang, hidung yang bangir, bibir yang pandai mengeluarkan kata-kata romantis dan rahang yang kokoh itu berhasil menyita perhatianku. Bagaimana bisa aku mendapatkan kesempatan untuk bisa mengenal dan duduk di kasur milik seseorang setampan dia saat ini?

"I wasn't teasing you," kataku lirih.

Dion membuka matanya dan menyeringai kepadaku. "You weren't? That's so bad. I wish you were."

Aku memukul dadanya pelan yang membuat ia tertawa.

. . .

Rollercoaster emosinya berasa ga sih?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro