Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Adrian Ramadani

Sudah direvisi.





Hari minggu ini, kali pertamanya aku tidak lari pagi di stadion yang ada di belakang gedung apartemen. Aku pun juga tidak ada keinginan bergabung bersama Adrian untuk berolahraga di ruangan gym yang berada di lantai 3.

Adrian benar-benar marah padaku karena tidak membalas pesan darinya dan lupa memberitahunya bahwa aku tidak pulang semalam. Awalnya ia bersikap sangat khawatir ketika aku meneleponnya di jalan saat Dion mengantarkanku pulang, tetapi saat aku tiba di rumah, kemarahan terlihat jelas di wajahnya.

Adrian mengatakan bahwa Stella bercerita jika aku sedang bersama Dion, saat Stella mengantarkan mobilku tadi pagi. Bodohnya aku tidak mempunyai pembelaan sedikitpun. Sekarang hampir lima jam sudah Adrian sama sekali tidak berbicara denganku dan aku sama tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Pertemuanku dengan Dion semalam adalah ketidaksengajaan, aku bahkan tidak mengingat sebagian kejadian semalam jika Dion tidak memberitahuku.

Suara melengking dari whistle kettle membuyarkan lamunanku. Segera kuangkat dan menuangkannya ke dalam secangkir kopi dan teh kamomil. Kemudian aku membawanya ke meja makan yang sudah penuh dengan menu sarapan, atau mungkin lebih tepatnya brunch, mengingat sekarang sudah jam 10:34.

Kepalaku masih terasa sakit, tapi tidak sesakit tadi pagi, hanya badanku saja yang masih terasa pegal. Setelah sampai rumah tadi pagi, Adrian langsung menghujaniku dengan berbagai pertanyaan.

Belum juga sempat sarapan sudah kena semprot saja.

Aku tidak tahu apakah Adrian sudah sarapan atau belum. Tapi tetap kubuatkan omelette dan juga salad yang dicampur dengan kacang-kacangan, karena dia sekarang sedang program untuk meningkatkan massa ototnya. Sehabis dari gym sekitar satu setengah jam yang lalu, Adrian langsung mengurung diri dikamarnya dan belum keluar sampai sekarang.

"Mas, aku udah masak. Makan yuk," panggilku dari luar kamar Adrian sambil mengetuk pintunya.

Tidak ada jawaban.

"Mas," panggilku lebih keras lagi. "Kamu tidur ya?"

Beberapa saat kemudian pintu terbuka dan Adrian keluar dengan koper yang ia seret. Ia memakai celana jin hitam, kaus hitam, dan jaket kulit hitam.

Ini segitu marahnya dia sampai-sampai mau pergi gini?

"Mau kemana, Mas?" tanyaku.

"Ada acara di NTT sama anak-anak fotografi," jawab Adrian datar sambil memakai jam tangannya. Dia masih menghindariku.

"Kok enggak bilang aku sebelumnya kalau mau pergi?" Alisku berkerut.

Dia langsung melihat ke arahku. "Gimana mau bilang kalau kamu aja enggak bisa dihubungi? Kamu juga enggak berusaha kasih tahu aku kan?"

"Aku kan udah minta maaf soal itu, Mas," ucapku dengan sedikit jengkel lalu aku berjalan menuju meja makan. Adrian menyusul dibelakangku.

Aku mengambil tempat duduk lalu menyesap teh kamomil yang masih hangat sambil menatap Adrian.

"Kamu itu paham enggak sih apa yang jadi masalah di sini?" Adrian duduk di depanku.

"Aku kan udah bilang kalau baterainya habis, jadi enggak bisa kasih tahu siapa-siapa," belaku.

"Yang jadi masalah itu karena kamu bohong. Bilangnya ada pesta di tempat temannya Stella, tapi kamu malah ketemu lagi sama cowok berengsek itu," jelas Adrian dengan suara yang sedikit meninggi. Sontak ini membuatku kaget.

Iya, memang benar aku berbohong agar bisa menghadiri pesta keluarga Mahardika semalam. Karena kalau tidak, Adrian pasti akan melarangku mati-matian. Tapi bodohnya aku tidak memberi tahu Stella soal hal ini, karena itu dengan santainya Stella menceritakan bahwa aku bersama Dion semalam.

"Iya, aku salah. Aku minta maaf udah bikin kamu khawatir, Mas. Tapi aku enggak ada niatan aneh-aneh, aku datang ke sana ya karena keluarga Mahardika mengundang aku," ucapku lalu sesekali menyesap tehku lagi.

"Kamu ingat enggak nangis-nangis gara-gara dia ninggalin kamu? Ingat engak kamu ditinggal di Jogja gitu aja tanpa penjelasan? Aku masih bisa terima dulu kamu larang aku buat hajar dia, tapi sekarang dengan gampangnya kamu narik dia lagi setelah sekian lama dia enggak ada kabar. Aku enggak bisa tinggal diam ya, Steph. Dia cuma mau manfaatin kamu lagi."

Aku masih terdiam di tempatku. Kupandangi piring yang berisi tiga buah pancake dengan madu yang mengalir di atasnya, lalu beralih ke salad dan omelette yang buat untuk Adrian. Menarik napas pelan dan aku memejamkan mata, sebegitu hinanyakah Dion di mata Adrian sehingga dia sangat membencinya?

"Kamu dulu udah janji kalau enggak bakalan ketemu lagi sama dia kan, tapi apa? Kamu malah nginap di rumahnya. Apa yang kamu pikirin sampai bisa tidur sama dia, huh?"

Kata-kata terakhir yang keluar dari mulut Adrian bagaikan sebuah tamparan yang menyakitkan. Bagaimana mungkin kakakku sendiri bisa berpikiran serendah itu kepadaku?

Mataku terasa panas. "Aku bukan cewek murahan ya, Mas. Kok kamu tega banget nuduh aku kayak gitu?"

Mulut Adrian sedikit terbuka seolah dia tidak tersadar sudah mengatakan itu semua.

"Steph .... " Adrian mencoba meraih tanganku yang berada di atas meja, tapi aku segera bangkit dari kursi dan dia pun melakukan hal yang sama.

"Tega kamu, Mas. Aku pikir kamu engak bakalan berpikiran sejauh itu," ucapku tertahan karena kerongkonganku tercekat. Air mataku sudah mengalir.

"Steph, aku enggak bermaksud-"

"Enggak bermaksud gimana? Jelas-jelas kamu nuduh aku tidur sama Dion. Demi apa pun, sumpah aku enggak kayak gitu, Mas. Aku akui kalau memang aku mabuk semalam, tapi aku yakin aku masih kendali buat enggak melakukan itu. Dion juga enggak mungkin tega cari-cari kesempatan." Aku membenamkan wajahku di kedua telapak tanganku dan menangis di sana.

Entah apa yang membuatku begitu emotional pagi ini, biasanya aku hanya akan menjawab dengan ketus atau pergi begitu saja jika sedang berargumen dengan Adrian. Bukan menangis seperti sekarang ini. Karena jujur, belum pernah sekalipun Adrian membuatku menangis.

Adrian menarikku ke dalam pelukannya. "Aku minta maaf, Steph. Aku khilaf. Enggak seharusnya aku ngomong kayak gitu. Aku cuma khawatir sama kamu. Aku minta maaf."

Aku membenamkan wajahku di dada Adrian. "Kamu seharusnya tahu aku bisa jaga diri," ucapku disela-sela tangisan.

Adrian mengelus-elus rambutku dan mempererat pelukannya. "Iya, Sayang. Aku minta maaf. Aku udah kelewatan nuduh kamu kayak gitu."

"Kenapa sih segitu bencinya sama Dion?" tanyaku. Kami masih berada di posisi yang sama.

Adrian menghela napas. "Aku enggak benci sama dia. Aku cuma enggak percaya sama dia."

"Kenapa?"

"Karena dia udah nyakitin kamu. Enggak seharusnya laki-laki memperlakukan perempuan yang dia sukai seperti itu. Kalau memang dia cinta sama kamu, dia enggak akan pergi gitu aja."

"Pasti ada alasannya," gumamku. "Ini kan udah lama, Mas. Semua orang pasti berubah."

"Apapun itu alasannya, seorang laki-laki harus punya keberanian untuk berkata jujur. Apapun alasannya dia harus bilang sama kamu, bukan menghindar." Adrian melepas pelukannya dan menghapus air mataku dengan jari-jarinya.

"Aku ngomong kayak gini karena aku sayang sama kamu, Steph. Aku perduli. Sudah seharusnya sebagai kakak, ini tugasku untuk melindungi kamu." Lalu ia mencium keningku dan memelukku kembali. Aku menangis lagi, bukan karena tersinggung atau sakit hati, tapi karena aku terharu dengan kata-katanya.

Adrian melepaskan pelukannya lalu menatapku dalam-dalam. "I love you. I really am sorry okay."

Aku mengangguk. "I love you too."

Kami berdua tetap pada posisi berpelukan sampai beberapa saat. Sampai akhirnya Adrian melepas pelukannya dan menghapus air mataku.

Adrian memang sosok kakak yang sangat baik. Dia selalu ada untukku kapan pun itu. Aku jadi teringat sekitar 2 tahun yang lalu ketika mama dan aku sedang bertengkar hebat. Mama memintaku untuk berkenalan dengan anak temannya dengan alasan aku terlalu lama sendiri.

Aku tahu mama hanya ingin aku berkenalan dengan orang itu bukan menjodohkan, tapi hatiku masih belum sanggup terbuka untuk orang lain. Tanpa berpikir panjang aku menolak ajakan mama, lalu kami bertengkar malam itu.

Papa sedang ada di luar kota kala itu, hanya kami bertiga yang ada di rumah. Adrian yang mendengar aku berteriak di kamarku dan membanting pintu, dia segera keluar dari kamarnya dan menghampiriku. Tanpa berbicara apa pun, dia hanya memeluk dan mengusap punggungku sementara aku menangis tersedu-sedu. Malam itu dia menemaniku sampai aku tertidur.

"Ya udah, yuk. Lanjut lagi makannya," ajak Adrian.

Aku mengangguk dan kembali duduk di kursi. "Kamu masih mau pergi, Mas?"

"Iyalah, ini acara udah dari sebulan kemarin direncanain. Sebenarnya aku lupa kalau hari ini harus ke NTT, cuma untungnya ada teman yang udah pesan tiket buat semuanya. Nanti tinggal diganti uangnya."

"Aku sendirian dong," keluhku.

Adrian tertawa. "Enggak usah cemberut gitu. Aku cuma empat hari kok. Kalau kamu kesepian, pulang dulu aja ke rumah papa sama mama."

"Ya nantilah, gampang. By the way, Karina ikut enggak?"

Karina adalah pacar Adrian. Mereka sudah menjalin hubungan selama 2 tahun yang bisa dibilang cukup serius. Kedua belah pihak keluarga sudah saling kenal, tapi entah apa yang membuat kakakku ini masih belum meminangnya.

"Enggaklah, ini kan acara khusus fotografer. Lagian mana mau dia ikut hunting foto sambil panas-panasan gitu," jelas Adrian setelah menyuapi dirinya dengan omelette buatanku.

"Oh .... "

Aneh.

"Aku berangkat 15 menit lagi ya," ucap Adrian.

"Mau aku antar?" tawarku.

"Enggak usah, makasih. Aku pakai taksi aja."

Aku menganggukkan kepala. "Oke."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro