19. Asmara
****
Setelah melihat kejadian yang tak disangka-sangka kala siang itu, Bri kehilangan minat untuk meneruskan jalan-jalannya di Mall. Niat semula untuk menghibur diri kini pudar hanya karena melihat sosok Rheino jalan bareng sama Luna. Ternyata dunia ini kecil, bahkan ketika Bri berencana untuk melupakan kesedihannya sejenak, justru yang ia dapat sebaliknya. Luka yang harusnya mengering kembali robek dan berdarah parah.
"Jadi bagaimana? Apa kita pulang aja?" saran Ariel pada Bri yang sedari tadi memilih duduk di dalam mobil tanpa bicara apapun.
Wajah Ariel terlihat serius, ia dengan setia menunggu Bri tenang dan mulai bicara setelah hampir dua jam terdiam tak bersuara.
"Ya, tolong ya anterin aku pulang. Aku pengen segera tidur," jawab Bri dengan wajah lesu. Gadis itu menatap Ariel sekilas lalu memalingkan wajah ke luar jendela mobil.
"Kamu serius? Siang ini kamu belum apa-apa loh. Gimana kalo kita mampir dulu ke resto, kita makan. Setelah itu baru aku anter kamu pulang?!" saran Ariel dengan wajah mendadak khawatir.
Brighid menggelengkan kepala, ia masih setia menatap area parkir dengan tatapan hampa. Ariel menghela napas, bujukannya sama sekali tidak mempan untuk menyembuhkan luka Brighid.
Tak ingin banyak bicara, Ariel lantas memakai sabuk pengaman di jok mobil yang ia tempati. Melirik sejenak ke arah Bri, ia melihat gadis itu belum juga memakai sabuknya dengan benar. Tanpa babibu, Ariel lalu meraih sabuk pengaman milik Bri dan berusaha memakaikannya.
"Kalo kamu belum pake sabuk dengan bener, mana bisa kita segera pulang?!" cebik Ariel seraya berusaha membetulkan sabuk Bri.
Tatapan keduanya bertemu, sedikit dekat dan berakhir ketika Bri memilih kembali memalingkan wajah ke luar jendela mobil.
Ariel tersenyum tipis, ia menarik napas guna mengusir debaran jantungnya yang tiba-tiba datang dan menggoyahkan komsentrasinya.
"Baiklah, ayo kita pulang!" Ariel menghidupkan mesin mobil, bersiap meninggalkan area parkir dan kembali pulang ke kediaman Herman Santoso yang berjarak kurang lebih 50 km dari Mall.
Melirik sejenak ke arah Bri yang terus terdiam, Ariel berusaha untuk mencairkan suasana kaku diantara mereka.
"Mengenai tadi, sebaiknya kamu gak usah pikirin dalem-dalem. Kalian ini sekarang udah jadi saudara, jika kalian memang mencintai orangtua kalian ya udah, kalian harus ikhlasin hubungan kalian. Bagaimanapun kedua orangtua kalian berhak bahagia, mereka udah ngiklasin waktu mereka buat rawat kalian. Apa iya kalian mau sakitin hati mereka?! Enggak 'kan?!" Ariel berkata pelan seraya mengemudikan mobilnya yang melaju lancar di atas jalanan aspal.
Bri tak mengomentari ucapan Ariel. Gadis itu terus membisu, meski demikian ia tetap mencuri dengar setiap ucapan Ariel yang disampaikan kepadanya.
"Ikhlasin Rheino dan cari kebahagiaan kamu sendiri. Kamu bisa bahagia tanpa Rheino, aku yakin banget itu. Aku bilang gini bukan berarti aku lagi promoin diriku sendiri buat kamu, enggak kok. Sama sekali nggak. Aku bilang gini karena aku sayang sama kamu, sayang sama pribadi kamu. Meskipun kamu gak sama aku pun, aku tetep bakal bilang gitu sama kamu. Kamu tahu kan, waktu itu berjalan cepat jadi jangan dihabisin hanya untuk menyesali apa aja yang udah kita perbuat. Nyesel banget kalo kamu hanya terpaku di tempat tanpa berusaha untuk melangkah maju. Bri, sayangi diri kamu. Jangan biarin kesedihan nyiksa hati kamu dan akhirnya kamu jadi orang yang berbeda bagi sekitar kamu," nasehat Ariel lembut sesekali melirik ke arah Bri yang entah dia dengerin apa kagak ceramahannya kali ini.
Bri masih tak menjawab, terdengar helaan napas dari hidungnya yang mancung. "Makasih kamu udah support aku, Riel. Tapi aku belum bisa dengerin apapun kali ini. Bagaimanapun aku akan berusaha jadi diriku sendiri kok, kamu gak usah khawatir. Aku hanya terluka, aku pasti baik-baik aja."
Bri menundukkan kepala, jemarinya mencuri cara untuk menghapus air mata yang tiba-tiba menitik di pelupuk netranya yang indah.
"Ya, aku yakin seperti itu. Kamu hanya terluka dan kamu pasti baik-baik ajak. Keep fighting, Bri, kamu pasti bisa."
*****
Pukul dua siang mobil putih Ariel sudah tiba di kediaman Herman Santoso. Kedatangannya disambut hangat oleh Mama Lisha dan juga Papa Herman. Kedua orangtua tersebut tersenyum manis ketika melihat Bri turun dari dalam mobil bersamaan dengan Ariel.
"Nak Ariel, jalan-jalan kemana tadi? Maaf tadi Tante gak bisa nyambut kedatangan Nak Ariel karena harus masak sama si Luna," ucap Mama Lisha dengan wajah terlihat menyesal. Wanita paruh baya itu menghampiri Ariel, menepuk lengannya dengan begitu akrab.
Mendengar kata Luna kembali disebut, jiwa Bri yang terluka kembali terkoyak. Apa daya, gadis itu hanya menahan gumpalan kemarahan jauh di dasar hatinya dan pura-pura tersenyum pada keluarganya.
"Gak papa Tante, Saya tahu kok kalo Tante pasti sibuk apalagi hari ini kan hari minggu biasanya semua orang pasti ngumpul. Ohya Tante, kok rumah sepi?" tanya Ariel berusaha untuk basa-basi, pemuda itu mengedarkan pandang ke dalam rumah seolah mencari sesuatu.
Papa Herman tersenyum, ia mendekat ke arah Ariel lalu menepuk bahu pemuda tersebut. "Rheino sama Luna juga lagi keluar katanya ke Mall beli sesuatu gitu. Si Luna butuh apa ya tadi? Apa ya Ma, kok Papa lupa?!" Papa Herman berusaha berpikir, meminta bantuan istrinya untuk mengingatkan apa yang tengah ia pikirkan.
Mama Lisha tersenyum lalu menyahut, "Luna butuh keperluan buat kuliahnya di Singapura, makhlum dia baru semester pertama jadi masih suka takut belanja di sana padahal kan di sana barang-barang kayak gitu juga ada kan?!"
"Iya, bener-bener si Luna itu polos banget!" imbuh Papa Herman membuat Mama Lisha tergelak tertawa.
Bri terpaku, berusaha untuk tetap tenang walau kenyataannya ia tengah menggigit lidahnya sekencang mungkin. Sakit yang ia rasakan akibat pujian sang mama untuk anak gadis lainnya tidak sama dengan sakit yang ia derita kali ini. Kenapa? Kenapa ketika ia sedang membutuhkan seseorang untuk mengerti lukanya, justru mama yang ia percaya malah seakan mendorongnya untuk masuk ke dalam jurang sekalian. Kenapa?
Gelak tawa papa dan mama terputus ketika motor Rheino masuk ke pelataran rumah mereka. Luna yang berbinar bahagia dengan kedua tangan yang mengikat erat perut Rheino, cukup menimbulkan pemandangan pedih di kedua bola mata Bri. Ya Tuhan, bunuh saja aku!
"Tante, Om!" teriak Luna setelah turun dari motor Rheino. Gadis berambut pirang menghampiri Mama Lisha seraya menunjukkan boneka beruang besar dari dalam kantong plastik dengan riang.
"Luna ada apa?" Mama Lisha menanggapi dengan hangat. Bri menggigit lidahnya sekali lagi ketika melihat tanggapan mamanya pada gadis asing tersebut. Kenapa? Kenapa mamanya seperti itu?
"Tante liat! Ini boneka yang beliin Rheino. Imut kan, Tante?" tunjuk Luna pada boneka yang kini ia peluk-peluk dengan sayang.
"Wah, Rheino ... "
"Bukan Mah, aku gak beliin kok." Rheino menyanggah, ia berusaha mempertimbangkan perasaan Bri saat itu.
Luna tersenyum manis, ia menyenggol lengan Rheino sedikit keras namun manja. "Tapi kan kamu yang pilihin. Rheino, boneka ini mau aku bawa ke singapura. Kapan-kapan, kalo kamu dah lulus, kamu kuliah bareng aku di singapura ya? Temenin aku di sana."
"Tentu saja. Setelah lulus nanti, Om berencana akan masukin Rheino ke universitas di Singapura jadi kalian nanti bisa ketemu," sahut Papa Herman dengan serius.
"Beneran Om?" Luna kembali bertanya dengan wajah semringah.
"Iya. Beneran kan Rheino?" Kali ini Papa Herman melempar pertanyaan ke arah Rheino membuat pemuda itu kebingungan mau menjawab apa. Melirik sejenak ke arah Bri, ada perasaan menyesal yang tergambar di wajahnya. Perlahan Rheino menganggukkan kepala membuat Luna terlonjak kegirangan. Gadis itu sontak memeluk Rheino dengan erat, penuh kebahagiaan yang tumpah ruah.
Berbeda dengan Luna, Bri yang mendengar pengakuan tersebut sesaat langit-langit di hatinya menggelap. Ya Tuhan, pernyataan murahan apa lagi ini?! Kenapa begitu banyak kejutan yang kau berikan?
Bri tak kuasa, ia terhuyung mundur dan hal itu hanya disadari oleh Ariel. Pria itu terus memperhatikan ekspresi Brighid yang begitu kesakitan tanpa bisa berbuat apa-apa.
Anak tiri dari keluarga Herman Santoso itu mengeratkan kepalan tangannya kuat-kuat, ia ingin menangis. Sungguh.
Namun gelak tawa kedua orangtuanya menutupi kesedihan yang tengah ia rasakan. Mereka terus larut akan keceriaan Luna dan lupa ada Bri yang berusaha mati-matian menahan perasaan hancur yang tercipta dalam relung hatinya.
----
Asmara, ini tlah menyakitkanku.
Cinta menusuk jantungku dan merusak hidupku.🎶
Asmara, kurang apa ku padamu
Sampai kau tak kenal aku ... 🎶
******************************************
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro