V. !!!
Dhea berjalan dengan santai di lobi Hotel. Ia baru saja pulang dari membeli roti di supermarket terdekat. Entah mengapa pagi ini ia ingin sarapan roti, bukan nasi atau lainnya. Ia sangat merindukan masa-masa di Indonesia. Tidak terasa sudah seminggu mereka berada di negeri jiran. Sudah banyak tempat yang mereka kunjungi. Seperti berpotret di street art painting, yang mana di sana bertebaran mural hasil tangan kreatif dari seniman Ernest Zacharevic. Selain berfoto ria di street art painting, mereka juga mengunjungi Entopia dan menikmati indahnya pantai di Batu Ferringhi.
Mereka benar-benar menikmati masa pacaran dengan keindahan panorama alam. Pacaran setelah menikah itu sangat indah. Mereka berdua membuktikannya. Ingin sekali mengajak mereka yang masih pacaran untuk segera menikah, dan mereka akan merasakan kesan yang beda daripada sebelum menikah.
Perjalanan mereka selama di Malaysia dipandu oleh Sheeva. Sheeva menjadi pemandu yang baik untuk mereka karena memiliki wawasan yang luas, dan cara berbicaranya benar-benar tertata. Walau Heri pernah tinggal di negara ini selama tujuh tahun, tidak membuatnya mengetahui banyak tempat wisata. Ia pribadi yang tidak terlalu suka jalan-jalan. Ia lebih suka menghabiskan waktu untuk belajar dan bermain musik. Itu lebih menghiburnya. Beruntung ia mengenal Sheeva yang memang hidupnya penuh dengan menghabiskan waktu bersama teman di luaran. Hal itu membantunya untuk saat ini.
Dikarenakan perilaku yang tunjukkan Sheeva tidak seperti isi pikiran Dhea, Dhea mencoba menerima perempuan itu sebagai temannya, meski ada sedikit rasa tidak nyaman yang tidak bisa ditepisnya. Dhea menganggap mungkin dirinya salah menilai Sheeva di awal perkenalan mereka, dan Dhea memberanikan diri meminta maaf tentang hal itu.
Setelah membuka pintu kamar, langkah Dhea tepat berhenti saat matanya melihat apa yang ada di depannya. Kantong plastik berisikan roti terjatuh begitu saja dari genggamannya. Matanya membesar dan penuh marah. Apa yang dilihatnya benar-benar membakar emosinya.
Perempuan itu, yang baru saja dapat diterima sebagai teman karena berpikir bahwa penilaiannya pada awal temu adalah salah, tertidur pulas di atas kasur di samping suaminya. Dhea memang tadi keluar lebih pagi seorang diri karena ingin lari pagi dan menghirup udara segar. Ia tidak mengajak Heri karena melihat wajah Heri yang terlalu lelah. Sebagai istri yang baik, ia tidak ingin membangunkan suami yang sedang terlelap. Ia hanya meninggalkan pesan pada secarik kertas yang ditempelkan di atas nakas—khawatir lelakinya terbangun dan mendapati dirinya tidak ada di samping.
Akan tetapi, mengapa ini yang malah terjadi? Kapan perempuan itu masuk ke kamar mereka? Dan lihatlah, tangan Heri memeluk pinggang perempuan itu—Sheeva. Mereka masih tertidur dengan baiknya. Jangan luputkan pandangan dari tangan Sheeva yang terletak lembut di atas pipi kiri Heri.
"Apa yang kalian lakukan?!!" pekiknya. Sungguh tidak tahan hatinya jika harus diam menyaksikan kejadian yang menyesakkan dadanya.
Heri yang masih mengantuk terbangun pelan, mengucek matanya, dan terkejut saat menyadari bahwa yang tidur di sampingnya bukanlah Dhea, melainkan Sheeva.
"Sheeva, kenapa kamu di sini?" tanya Heri gelagapan.
"Apa yang kamu lakukan pada suamiku?!! Bagaimana bisa kamu masuk?!" Dhea begitu mencak. Suaranya mulai serak, karena tidak terbiasa berterriak. Dhea dengan sekuat tenaga menahan agar air matanya tidak membasahi pipi. Ia tidak ingin menjadi pribadi yang lemah di saat seperti ini.
Dhea berjalan menuju ranjang dan menarik selimut yang menutupi mereka berdua. Betapa kagetnya Dhea saat melihat Sheeva hanya mengenakan lingerie berwarna hitam transparan. Heri segera menutup matanya, dan Sheeva segera menarik kembali selimut menutupi tubuhnya.
"Keluar kamu dari kamarku sekarang!!! Cepat!!!"
"Dhe ..."
"Aku nggak mau mendengar suaramu. Pergi dari kamar ini! Persetan dengan pakaianmu! Itu urusanmu."
Dhea menyeret Sheeva dengar kerasnya. Memaksanya untuk keluar dari kamar mereka. Tidak memberi kesempatan sedikit pun untuk Sheeva berbicara. Dhea tidak berpikir dengan tatapan orang-orang yang melihatnya menyeret Sheeva yang mengenakan pakaian tidak patut itu. Beberapa orang berbisik-bisik melihat Sheeva yang masih berusaha menutupi tubuhnya dengan kedua tangan.
Dhea membanting pintu kencang. Kini matanya menatap tajam pada Heri yang masih terduduk di ranjang. Heri menunjukkan ekspresi tidak bersalah, bahwa ia tidak tahu apa pun.
"Tega kamu!! Baru beberapa malam yang lalu kamu mengatakan padaku bahwa kamu nggak akan ninggalin aku karena perempuan lain. Tapi, pagi ini kamu kasih aku kejutan tidur dengan perempuan lain. Mana bukti omonganmu? Belum seminggu. Mana?!"
Dhea benar-benar dikuasai emosi. Ia meluapkan seluruh amarahnya ke hadapan Heri. Bahkan, panggilannya pun berubah menjadi begitu formal.
"Dhe, dengerin aku," Heri memelas.
"Stop! Kamu nggak perlu bicara apa pun. Aku udah lihat semuanya. Kamu nggak perlu jelasin lagi. Aku akan pulang ke Indonesia hari ini. Sekarang juga! Kamu? Terserah! Kalau kamu mau tinggal selamanya di tempat ini juga boleh. Mungkin kamu mau tinggal bersama jalang itu!"
Dhea berbicara sambil mengemasi barang-barangnya. Dirinya sudah disulut emosi. Air matanya mulai menetes dan kian deras. Ia tidak terima dikhianati dengan cara seperti ini. Jika memang ingin ada perempuan lain, mengapa harus dengan cara ini? Tidak adakah cara yang lebih baik?
"Dhe!!"
"Kenapa? Kamu marah aku sebut dia jalang? Sebutan apa lagi yang pantas untuk perempuan yang bermain dengan suami orang?!"
"Kamu tetap harus menjaga omongan kamu. Kamu nggak boleh berkata sekasar itu. Dan aku, aku nggak melakukannya. Aku benar-benar nggak tahu kalau itu dia. Aku pikir aku masih tidur bersamamu pagi ini."
"Aku??? Kamu nggak bisa bedain istrimu dengan perempuan lain? Kamu nggak ingat bagaimana aroma tubuhku? Hah?! Oh, atau dia juga ternyata istrimu? Makanya kamu ajak aku datang ke sini, dengan dalih ingin bulan madu, padahal ingin mempertemukanku dengan istrimu yang lain? Shit!" Dhea menyeka air matanya setelah mengutarakan kemungkinan terssebut.
"Dhea! Jaga omonganmu. Aku menikah hanya sekali, dan itu hanya dengan kamu. Nggak pantas kamu menuduh aku seperti itu. Aku bukan lelaki seperti yang kamu tuduh. Aku nggak melakukan apa pun dengan Sheeva. Jika kamu mau pulang, aku akan ikut denganmu."
"Jangan mengikutiku, atau aku akan menghilang."
Heri paham, kali ini Dhea serius dengan ancamannya. Bukan sekedar kata seperti hari itu. Heri tidak ingin kehilangan Dhea, tapi dia juga tidak ingin Dhea salah paham seperti ini. Heri akan memilih penerbangan yang berbeda, sehingga Dhea dapat memiliki waktu sendiri dan menenangkan hati.
Heri akan berbicara pada Dhea sesampainya di Indonesia. Setidaknya, emosi Dhea nanti tidak akan sepanas ini. Berbicara dengan emosi tidak akan menghasilkan apa-apa, dan Heri sangat menghindari hal itu.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro