Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

I. Aku dan Kamu

Pagi ini mentari menyapa dengan hangatnya. Sinarnya begitu terang, tak tertutup awan. Pohon yang rindang di halaman rumah menjulang tinggi hingga mampu menyapa bawah kaca jendela. Angin berembus mesra menyiulkan bisikan cinta pagi.

Tirai berwarna maroon ditarik perlahan. Jendela dibuka membiarkan angin cinta memberi asupan ketenangan. Senyuman terukir bahagia di kedua sudut bibir. Hari yang cerah untuk masa yang indah. Masa yang dipikirnya tidak akan muncul dalam kehidupannya.

Matanya menerawang langit biru, bersyukur dengan syahdu. Matanya berpaling mengitari setiap dinding kamar. Banyak pigura terpajang di sana, berisikan potret mereka berdua. Tawa menghiasi pigura, melengkapi segala rasa yang tercipta. Bibirnya semakin mengembang melihat pigura di samping tempat tidur yang menampakkan potret dua insan yang sedang berada di tepi pantai dengan wajah yang masih polos dan lugu. Betapa lucunya masa itu—masa di mana ia tidak mengungkapkan apa pun, tidak berani untuk bertindak, memilih diam, dan hampir kehilangan.

"Oh my God, silau banget! Tutup dong tirainya!" Terdengar suara dari balik selimut putih.

Kakinya melangkah mendekat, dan duduk di tepi ranjang.

"Sayang, kamu mau tidur sampai jam berapa? Ini udah pagi, lho. Mending kamu bangun, mandi," ucapnya lembut.

"Aku masih ngantuk." Suara itu tetap terbenam dalam selimut.

Dengan pelan tangannya menarik selimut. Menampakkan wajah lucu seorang perempuan dengan rambutnya yang kusut. Matanya masih dipejam paksa, dan bibir yang mengerucut, enggan beranjak dari tidurnya.

"Bang Heri...!" pekiknya, kesal dengan tingkah lelaki yang mengganggu tidurnya.

"Dhea, kamu harus bangun. Atau aku harus cium kamu dulu baru kamu mau bangun?" godanya.

"Iiiih, apaan, sih." Secara tidak langsung pipi Dhea merona.

Heri dan Dhea telah menikah tiga minggu yang lalu, setelah melewati rintangan yang menghalangi jalan kisah mereka yang penuh liku.

Heri mengacak-acak rambut istrinya gemas. Ia begitu mencintai perempuan ini. Hanya Dhea satu-satunya yang mampu membangkitkan berjuta gejolak asmara dalam dadanya.

Dengan lembut ia mengecup kening istrinya.

"Bang Heri ... malu ...." Dhea menarik kembali selimutnya dengan pipi merona.

"Kenapa kamu harus malu? Aku ini suami kamu, lho."

"Mending Abang sekarang tutup balik jendelanya. Aku mau sambung tidur lagi. Jangan coba-coba goda aku," ucapnya di balik selimut.

"Kamu tergoda olehku?" Heri menyentuh manja istrinya.

"Hentikan!" pekiknya.

Dhea memutuskan membuka selimut dan duduk serta merapikan rambutnya. Ia menatap jengkel pada lelaki di depannya yang masih tersenyum, sangat menggoda.

"Apa sangat menyenangkan menggodaku?"

"Tentu. Karena kamu akan menjadi sangat malu. Pipimu akan merona. Sangat menggemaskan," jawab Heri sambil menyubit pipi istrinya.

"Gimana kalau aku marah karena Abang selalu menggodaku?"

"Kamu nggak akan marah. Aku tahu kamu. Yang ada kamu akan semakin cinta dengan aku."

"PD banget, sih. Lain kali aku akan marah kalau Abang goda aku lagi."

"Kenapa harus marah? Karena aku membuatmu tersipu malu ya?" godanya kembali.

"Bang Her–"

Bibir Heri mendarat di pipi kanan Dhea, menghentikan pekikan istrinya. Sungguh, kini pipi Dhea lebih merona dari yang sebelumnya.

"Tuh, kamu nggak marah. Kamu malah diam saking senangnya aku cium."

Heri tertawa melihat Dhea yang terdiam karena dicium.

Memang, meski mereka telah menikah selama tiga minggu, tapi tidak membuat keduanya berbuat sesukanya. Dhea menjadi lebih pemalu karena kata-kata cinta dari Heri, dan juga tindakan-tindakan manis yang diberikannya. Dhea seakan masih belum percaya bahwa akhirnya ia bisa bersanding dengan lelaki pujaan yang telah bersemayam selama delapan tahun di dalam lubuk hatinya.

Rasa malu kian hari kian bertambah, karena ia harus melihat wajah lelaki itu sejak bangun tidur hingga akan terlelap kembali. Ia tidak terbiasa dengan kehidupan seperti ini. Biasanya dia hanya menunggu kedatangan lelaki itu kembali untuk hidupnya. Menunggu tanpa kepastian, tanpa kabar akan keberadaan. Namun kini, tanpa perlu dinanti lelaki itu sendiri yang menjemputnya sepulang kerja dan melakukan banyak aktivitas bersama. Selama tiga minggu, ini semua terasa seperti mimpi. Mimpi yang selama ini sangat diharapkannya. Ia sangat bersyukur karena semua telah terjadi dengan indahnya, dengan semestinya.

-------------------------

Rumah berwarna putih dengan campuran gold ini memang tidak megah dan besar. Hanya berukuran minimalis tipe 70 yang bersediakan 4 kamar, 1 ruang tamu, 1 ruang keluarga, serta sebuah mini bar yang terletak dekat dengan dapur. Halaman depannya tidak begitu luas, hanya sekitar 4 meter menuju pagar. Mereka menghiasinya dengan beberapa pot bunga.

Sementara itu, di bagian belakang rumah terdapat halaman yang memiliki luas kira-kira 10 meter persegi. Mereka membangun sebuah kolam renang kecil dengan dikelilingi oleh tatanan taman yang asri dan segar. Tempat ini menjadi favorit mereka untuk bersantai setiap harinya, baik itu di sore maupun pagi hari, terutama untuk menikmati makanan. Mereka jarang menggunakan meja makan di dalam rumah untuk menyantap makanan, karena terasa sepi jika hanya berdua.

Seperti saat ini, Dhea sedang menyajikan sarapan di halaman belakang rumah. Tidak mewah yang disajikannya, hanya sepotong roti bakar untuk masing-masing dan segelas susu hangat. Meski mereka bukan lagi anak remaja yang duduk di bangku sekolah, tapi meminum susu seakan menjadi hal yang lazim dilakukan di pagi hari karena sudah terbiasa sedari dulunya.

Tiba-tiba ia dikejutkan oleh tangan kekar yang melingkar di sekeliling pinggangnya. Ya, itu adalah tangan suaminya. Dagunya ditaruh pelan di atas pundak sang istri. Begitu manja. Jujur saja, ia masih sedikit risi dengan hal ini. Namun, itu sudah menjadi sapaan yang biasa dilakukan suaminya setiap pagi.

"Apa aku lagi-lagi mengagetkanmu?"

"Udah tau masih nanya," cetusnya santai, masih dengan tangan yang mengisi gelas kosong.

Heri tertawa lucu.

"Sampai kapan kamu akan risi? Apa bahkan sampai aku menjadi seorang kakek tua?"

Dhea membalikkan badannya, menatap mata suaminya dalam.

"Apa kamu akan tua secepat itu? Tolong, jangan. Aku masih ingin mencintai seorang lelaki muda yang tampan dan punya sejuta pesona."

"Apa aku begitu memesona?"

"Tentu. Pesonamu telah memikatku, membuatku tenggelam, dan enggan untuk melepaskan."

Hal itu benar adanya. Heri memiliki postur tubuh yang tinggi, berkulitkan putih bersih. Wajahnya dilengkapi dengan hidung kecil, mata yang berseri, dan bonus bibir mungil yang tersenyum setiap hari. Siapa yang tidak akan jatuh cinta melihat ketampanannya? Dhea merasa ia adalah perempuan paling beruntung karena bisa mencintai dan memiliki lelaki itu seorang diri. Kini, dia adalah pemilik dari lelaki paling tampan dan paling memesona dalam hidupnya.

"Kalau ada perempuan lain yang tiba-tiba terjebak pesonaku, gimana?"

Dengan cekat, Dhea menarik dasi putih yang dikenakan suaminya, membuat wajah mereka semakin dekat. Tatapannya tajam, tak berkedip.

"Akan kubuat dia kehilangan matanya karena telah mencuri suamiku," ucapnya mantap.

Bukannya ketakutan, Heri malah tersenyum lucu melihat tingkah istrinya. Dhea terlihat sangat menggemaskan. Ia tahu, istrinya tidak akan pernah melakukan hal itu. Dhea memang senang berbicara asal, tapi dia tidak akan bertindak secara asal.

"Kamu sangat mencintaiku, 'kan?"

"Tentu. Abang suamiku," Dhea mulai menata roti di piring yang telah selesai dibakar di toaster.

"Kalau begitu berikan aku kecupan pagimu," rayunya.

Dhea kembali membiarkan matanya melihat sang suami. Mendekati wajahnya, membiarkan jarak hanya sebatas 2 sentimeter. Dhea tidak bertindak apa pun. Dia hanya menatap, tersenyum, dan kemudian memasukkan roti bakar dalam mulut suaminya.

"Makanlah sebelum rotinya dingin," ucapnya santai dan memilih duduk untuk meminum susunya. Sedari tadi ia sudah sangat lapar, dan suaminya malah asyik menggodanya.

Heri menghela napas dan duduk di hadapan Dhea menikmati sarapannya. Ia sama sekali tidak mengeluh. Ia sudah tahu bahwa memang ini yang akan dilakukan istrinya. Mana berani Dhea mengecupnya, jika bukan dirinya yang harus memulai. Dhea berani mengucap kata cinta, tapi tidak dalam tindakan cinta.

"Apa yang kamu rasakan selama pernikahan kita?" tanya Heri.

"Tentu saja aku bahagia. Kenapa menanyakan hal itu? Apa jangan-jangan Abang mulai bosan?"

"Begitulah. Aku ingin menikmati sensasi lain dari pernikahan kita. Aku bosan dengan hanya makan di halaman belakang rumah dan ke kantor setiap paginya."

"Itu udah jadi rutinitas kita. Mau gimana lagi," jawab Dhea santai sambil menggigit roti.

"Apa kamu nggak memikirkan hal apa pun?"

"Apa lagi yang harus kupikirkan? Aku udah mendapatkan pekerjaan tetap. Aku mendapatkan seorang suami yang memang aku cintai sedari dulu. Semua itu udah cukup untukku. Aku nggak mau tamak dalam hidup."

"Bukan itu maksudku, Dhe ...." Heri mulai geram.

"Lalu apa?" Dhea tidak mengerti ke mana arah pembicaraan Heri.

"Setahuku banyak perempuan mengeluh karena lelakinya tidak peka. Kini aku mengerti bagaimana perasaan perempuan-perempuan itu," keluhnya pada diri sendiri.

"Abang ngomong apaan, sih?"

"Ayo kita berangkat kerja." Heri tidak ingin melanjutkan pembicaraan yang Dhea sendiri tidak mengerti arah tujuan pembicaraannya. Heri harus memikirkan cara lain untuk membuat istrinya mengerti maksud dari perbincangan pagi ini.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro