🎍Stay Here🎍
'Haah.. Haah.. Nggak! Nggak mungkin!'
Sambil berlari, Solar terus mengulang kalimat itu dalam batinnya. Mengusir bayangan yang sama sekali tak ingin terealisasikan.
🎍
Stay Here
BoBoiBoy fanfiction
Bahasa Indonesia
BoBoiBoy by Animonsta studios
Fanart belongs to the artist
Fanfict Story by
dyrannosaur » That's me!!
Gender switch » Solar
Happy Reading
🎍
Pagi tadi adalah awal hari yang bagus. Matahari bersinar cerah, burung berkicauan, dan udara yang sejuk dengan seluruh anggota keluarganya yang berada di rumah untuk menghabiskan waktu bersama. Sangat sempurna.
Tapi, ditengah kesempurnaan itu siaran langsung yang berada di salah satu chanel televisi merebut perhatian mereka dengan sekilas info yang tiba-tiba saja di tampilkan.
Dalam sekilas info itu disebutkan bahwa baru saja terjadi kecelakaan pesawat yang menyebabkan sebagian besar penumpang meninggal dunia.
Saat keluarganya sedang asyik membicarakan ulang berita tersebut, telepon rumah berdering. Sang Ibu mengangkatnya. Perlahan raut wajah sang Ibu berubah menjadi cemas, panik dan ketakutan.
Setelah telepon terputus, sang Ibu memberitahukan bahwa yang menelepon tadi adalah temannya, Ibu dari sahabat Solar. Mengatakan kalau anaknya menjadi korban kecelakaan pesawat tadi dan sekarang mereka sekeluarga ada di rumah sakit.
Tanpa membuang waktu lagi, keluarga Solar segera berangkat menuju rumah sakit. Mulai dari situlah, harinya kacau.
Pikirannya yang sudah tertuju pada sahabatnya itu membuatnya menjadi emosi di tengah kemacetan ini.
Tanpa pikir panjang, Solar keluar dari mobil dan berlari menuju rumah sakit dimana sahabatnya berada.
Dan disinilah dia, setelah berlari sekitar 750 meter, akhirnya dia sampai di rumah sakit tujuannya.
Dengan nafas yang tak beraturan, Solar memasuki rumah sakit dan langsung pergi ke ruangan dimana sahabatnya berada.
Isak tangis adalah hal yang pertama kali dia dengar di ruangan itu. Seluruh anggota keluarga sahabatnya itu bersedih. Dan dapat dilihat seseorang yang tertutupi selimut hingga kepala itu terbaring kaku di atas ranjang.
Solar terdiam. Tak percaya dia tak akan bisa menemui sahabatnya itu lagi.
Tanpa mengatakan apa pun, Solar langsung memeluk sahabatnya yang sudah tak bernyawa itu.
"Thorn! Jangan tinggalin Solar, Thorn! Thorn kan udah janji sama Solar!" jerit dan tangisan pilu Solar menggema di ruangan itu.
"Solar sayang... Nak.. Itu.." Ibu Thorn berusaha menenangkan Solar, namun Solar tak mendengarkannya.
"Tante.. Kenapa Tante nggak bilang kalau Thorn mau pulang hari ini?!" tanya Solar dengan nada tinggi. Emosi menguasainya. Tak peduli siapa lawan bicaranya, ia hanya ingin tau mengapa tak ada yang bilang padanya kalau sahabatnya ini akan pulang setelah lebih dari lima tahun meninggalkannya.
"Tante juga nggak tau kalo Thorn mau pulang hari ini sayang. Tapi, dengerin Tante–" benar-benar tak ada waktu untuk menjelaskan. Solar kembali menjerit, tangisnya benar-benar menyakitkan semua orang yang mendengarnya.
"Thorn jahat! Solar benci Thorn! Tapi, Solar juga sayang sama Thorn... Hiks." Solar meracau sambil terus menangis memeluk sahabatnya.
"Sunshine."
Panggilan serta suara khas milik sahabatnya itu seketika terngiang di kepala Solar.
"Thorn... Hiks... Jangan tinggalin Solar." ujar Solar sembari mempererat pelukannya.
"Sunshine."
"Kenapa Solar masih bisa denger suara kamu Thorn?!" Solar frustrasi. Apa sebegitu rindunya dia pada sampai-sampai suara sahabatnya itu masih bergema ditelinganya.
"Karena Thorn dibelakangnya Sunshine?" suara sahabatnya kembali menyaut, membuat Solar berhenti menangis. Dia meregangkan pelukkannya perlahan. Sambil mengelap air matanya Solar membalikkan badannya. Sedikit berharap kalau itu memang sahabatnya.
Mata hijau milik sahabatnya itu bersinar seperti biasanya. Senyum kekanakannya terukir jelas di wajah imut yang ia miliki. Itu pasti sahabatnya.
"Sunshine kenapa nangis?"
"Thorn."
"Ya?"
"Thorn!" pekik Solar yang langsung berdiri serta berlari ke arah sahabatnya itu. Tapi, sayangnya kepala Solar tiba-tiba terasa berat serta pusing dan kakinya menjadi sulit bergerak, mengakibatkan Solar jatuh sebelum berada di pelukkan sahabatnya.
"Solar!"
Keluarga Solar yang baru saja sampai segera menghampiri Solar yang pingsan di depan semua orang.
•🎍•
"Thorn."
"Waah.. Semuanya, Solar udah siuman."
Keluarga Solar dan Thorn langsung berdiri setelah mendengar ucapan Ibunya Thorn dan langsung mendekati Solar yang terbaring di ranjang rumah sakit.
"Sayang, kamu nggak papa?"
"Solar, syukurlah kamu udah siuman."
"Solar sayang, kamu bikin Tante khawatir."
Pertanyaan serta ucapan syukur terus dilontarkan tanpa henti membuat kepala Solar kembali pusing.
"Haduh, semua tenang. Liat kepala Solar jadi pusing lagi kan." ujar Ayahnya Thorn.
"Semuanya tenang ya, saya panggilin dokter dulu." lanjutnya sembari keluar dari ruang rawat Solar.
3 Menit berlalu, Ayahnya Thorn kembali dengan seorang dokter dibelakangnya.
"Saya periksa keadaannya dulu ya." ujar sang dokter.
Setelah beberapa menit pemeriksaan berlangsung, dokter berkata. "Keadaannya bagus, dia sudah baik-baik saja. Silahkan tanyakan sesuatu padanya, tapi, jangan terlalu banyak. Kalau begitu saya permisi."
Sang dokter langsung keluar setelah memeriksa Solar.
"Nak Solar, kamu nggak papa, kan?" tanya Ayahnya Thorn.
"Solar nggak papa, Om."
"Ada yang kamu rasain nggak?? Sakit kepala? Pusing? Mual?"
"Solar nggak papa, Mama."
Tiba-tiba Solar jadi ingat alasan kenapa dia datang ke rumah sakit.
"Oh iya, Thorn mana?" tanya Solar sambil menatap semua orang satu persatu.
"Thorn udah pergi–"
Jangan lagi. Jelas-jelas dia melihat sahabatnya tersenyum manis padanya. "Apa?! Nggak! Tadi Solar liat ada Thorn kok!"
"Tapi–"
"Solar tadi liat Thorn berdiri sambil senyum! Solar... Solar..." Solar benar-benar pusing. Apa tadi hanya bayangan sahabatnya saja? Apa dia terlalu merindukan Thorn sampai-sampai tak bisa menerima kenyataan.
Pintu ruang rawat Solar terbuka dan nampaklah orang yang Solar cari-cari. Semua melihat ke arahnya, membuatnya terheran-heran.
"Kenapa?" tanya Thorn dengan wajah tak bersalah.
"Thorn." tanpa pikir panjang Solar turun dari ranjangnya.
"Eh.. Sunshine jangan bangun dulu. Duduk aja, Thorn yang ke sana." ujar Thorn sembari mendekati Solar.
Solar langsung memeluk sahabatnya itu begitu Thorn sampai disampingnya. Entahlah, Solar masih tak paham ini hanya mimpi atau dia memang benar memeluk sahabatnya. Kalau ini mimpi, biarkan dia menikmatinya.
"Ini beneran Thorn, kan?" tapi, Solar tak ingin ini hanya mimpi. Ia harus memastikannya.
"Ha? Iya dong. Emang siapa lagi?"
Solar mencubit pipinya sendiri, lumayan kencang dan dia merasakan sakitnya. Berarti ini bukan mimpi.
"Haduh, Sunshine. Pipinya jangan dicubit dong... Nanti kalau nggak gemoi lagi gimana?"
"Jangan tinggalin Solar." Solar berkata seperti itu sambil memeluk Thorn.
"Sunshine."
"Kenapa Thorn nggak bilang mau pulang hari ini?!"
"Sunshine."
"Kenapa pesawatnya bisa jatuh? Thorn nggak papa, kan? Ada yang luka nggak? Kenapa Thorn nggak bilang mau pulang hari ini??" tanya Solar tanpa jeda dengan mata yang kembali berkaca-kaca. Menahan sebisanya agar air mata itu tak kembali mengalir. Dia takut! Sungguh! Solar tak bisa membayangkan kalau Thorn tidak baik-baik saja seperti saat ini.
"Sunshine."
"Apa?!"
Chuup!!
Thorn mencium Solar tepat dibibirnya dan tepat dihadapan orang tua mereka. Terdiam sejenak sebelum Solar menutup matanya. Dia merindukan Thorn, siapa yang tak terlena dengan sentuhan seperti ini dari orang yang tersayang.
Nafas mereka tak beraturan setelah puas melepas rindu.
"Huhh.. Panas ya~"
Solar membatu. Dia lupa saat ini dia sedang berada di rumah sakit dengan seluruh keluarganya dan juga keluarga Thorn.
Poof! Solar benar-benar malu. Seketika wajahnya memerah bahkan sampai lehernya. Rasanya Solar ingin loncat dari jendela ruangan ini saja.
"Thorn–"
"Dengerin Thorn dulu, oke?"
Solar mengangguk dengan wajah yang bersemu merah dalam pelukan Thorn.
"Maaf, harusnya Thorn bilang dulu ke kalian kalau Thorn pulang hari ini." ucap Thorn menyesal. Menatap satu persatu keluarganya dan juga keluarga Solar. Lalu, tanpa aba-aba Thorn memeluk Solar lebih erat.
"Thorn takut." ucapnya benar-benar terdengar ketakutan. Tubuh Thorn gemetar menahan tangis. Segera Solar mengelus punggung Thorn guna menenangkannya.
"Thorn takut nggak bisa ketemu kalian lagi!" Thorn mulai meracau dalam pelukan Solar.
"Hei, Thorn. Tenanglah. Tak apa." ujar Solar menenangkan, tapi hal itu justru membuat Thorn menangis.
"Thorn... Takut kalau saat itu... Thorn nggak bisa ketemu kalian lagi. Thorn takut nggak bisa ketemu Papa sama Mama lagi, Thorn takut nggak bisa ketemu Tante sama Om lagi... Thorn takut nggak bisa ketemu Solar lagi..." ujarnya yang makin lama suaranya makin mengecil.
"Hei, tenanglah. Sekarang Thorn nggak papa–"
"Tapi, Paman nggak! Paman nggak baik-baik aja! Dan itu salah Thorn."
"Itu kecelakaan Thorn. Jangan salahkan dirimu." ujar Ibunya.
"Thorn... Nggak terlalu ingat. Tapi, pas pesawatnya jatuh paman bilang 'Tenang aja, Thorn pasti selamat. Paman pasti lindungin Thorn.' dan nggak tau gimana... Thorn selamat. Tapi, paman nggak." Thorn membenamkan wajahnya dibahu Solar. Semua keluarga mendekat, mengelus punggung dan kepala Thorn dengan lembut supaya Thorn merasa tenang.
"Karena Thorn udah diselamatin Paman berarti Thorn harus balas kebaikan paman." ujar Ayah Thorn.
"Caranya?" tanya Thorn dengan air mata yang masih mengalir.
"Tetaplah disini! Jangan kemana-mana lagi!" Solar tau ini egois. Permintaannya benar-benar hanya menguntungkan dirinya sendiri. Tapi, biarlah. Saat ini Solar tak mau Thorn pergi lagi. Cukup baginya lima tahun berpisah dengan sahabat spesialnya itu.
Semua orang saling bertatapan satu sama lain, lalu senyuman mulai terukir diwajah mereka.
"Yap. Tetaplah disini. Bersama keluarga mu, dan bangunlah sebuah keluarga kecil." ujar Ibunya Thorn sambil melirik Solar. Solar yang mengerti maksudnya mulai merona.
"Tante!" Solar tak terima dirinya terus digoda seperti itu sejak mereka masih berada di sekolah menengah.
"Keluarga? Kan Thorn udah punya. Ada Papa, Mama, ada Om sama Tante juga terus sama Sunshine." ujar Thorn dengan polosnya. Membuat semua orang tertawa.
"Yah... Nggak papa deh kalau belum paham." ucap Ayah Solar yang sengaja membuat raut wajah kecewa.
"Intinya, Thorn jangan pergi kemana-mana lagi, ya?" ujar Solar menatap Thorn penuh harapan.
"Oke. Maaf ninggalin Sunshine selama ini." Thorn kembali memeluk sahabat terkasihnya. Melepas rindu yang seakan-akan tak bisa dihilangkan.
• 🎍 •
Seminggu setelahnya...
Keadaan baik-baik saja sekarang. Thorn sudah mengikhlaskan Pamannya pergi.
Malam ini, keluarga Solar berkumpul di rumah keluarga Thorn. Bagai sebuah rutinitas bagi mereka berkumpul disalah satu rumah saat weekend seperti ini.
Setelah makan malam, mereka bersantai di ruang keluarga. Menghabiskan waktu bersama dengan membicarakan sesuatu.
"Jadi.. Kita minta cucu berapa ya~" ujar Ayah Thorn memulai topik pembicaraan yang cukup menarik bagi orang tua mereka dan tidak bagi Solar.
"Mama sih dua juga nggak papa." ucap Ibunya Thorn sambil membuat pose berpikir.
"Tapi, lebih ramai lebih bagus." Ayah Solar mulai mengusulkan hal yang tidak-tidak.
"Iya, sayang benar banget. Gimana kalau satu tim futsal?" ujar Ibunya Solar bersemangat.
"Jangan futsal dong. Bikin setim sepak bola juga nggak papa." ucap Ayah Thorn menimpali.
"Ah! Kalian berhenti!" teriak Solar. Wajahnya benar-benar panas saat ini. Dan tanpa sengaja memikirkan hal yang macam-macam karena godaan orang tua mereka.
"Bikin apa?" tanya Thorn tak mengerti alur pembicaraan orang tua mereka.
"Thorn nggak mau punya anak?" tanya sang Ibu, sengaja memancing keributan.
"Mau lah!"
"Maunya sama siapa?" giliran Ayah Solar yang memanaskan suasana.
"Pasti Sunshine lah! Thorn nggak mau punya anak selain sama Sunshine!" jawab Thorn dengan penuh keyakinan.
Solar menyerah. Wajahnya pasti benar-benar merah saat ini. Dia hanya bisa menutup telinganya dalam pelukan Thorn. Di sisi lain, orang tua mereka sangat senang kala melihat wajah Solar merah merona seperti itu.
"Coba bilang ke Solarnya." tantang sang Ayah pada anaknya. Thorn mengangguk yakin, menjauhkan Solar dari pelukan nya, lalu...
"Sunshine! Ayo kita buat anak!"
Orang tua mereka menahan tawa sedangkan Solar benar-benar malu saat ini.
"Jangan gitu, Thorn. Tanya Solar dulu udah siap apa belum." pandu sang Ayah.
"Ouh... Oke. Sunshine. Kalau malam ini gimana? Kita buat anak!"
Solar ragu kalau Thorn tak mengerti ucapannya sendiri. Ayolah... Mereka sudah mempelajari hal itu di sekolah menengah atas dan itu sekitar empat tahun yang lalu. Walau begitu tak mungkin Thorn melupakannya, kan..
"Tapi, yah.. Mama mau nya Thorn sama Solar nikah dulu." ujar Ibunya Thorn. Tak setuju dengan ucapan bar-bar sang anak.
"Iya juga yaa... Nanti malah dikira yang bukan-bukan." ucap Ibu Solar menimpali.
"Oke, Thorn sini.." Ayah Thorn memanggil anaknya. Lalu sedikit menjauh bersama Ayah Solar juga. Sedangkan para Ibu beserta Solar hanya saling menatap keheranan.
Tak lama Thorn kembali. Menghampiri Solar, mengulurkan tangannya yang disambut oleh Solar lalu menarik Solar dalam pelukannya.
"Solar..."
'Oke, ini aneh. Thorn hanya akan memanggil namaku saat dia marah. Apa saat ini dia sedang marah?' batin Solar sambil menatap lekat sahabatnya itu.
"Solar. Thorn tau ini aneh. Tapi, dulu setiap ada orang lain yang deketin Solar rasanya Thorn nggak ikhlas. Thorn marah. Bahkan Thorn sengaja lakuin hal aneh biar Solar cuma perhatiin Thorn." ujar Thorn sambil menatap Solar tepat pada matanya. Solar tak percaya Thorn akan mengatakan hal seperti itu.
"Pas Thorn terpaksa pergi, setiap hari Thorn mikirin Solar. Thorn takut, pas Thorn balik kesini... Solar udah nggak bisa jadi milik Thorn lagi." Thorn melanjutkan ucapannya. Ah, Solar bahagia. Solar pikir hanya dia yang memikirkan hal itu.
"Thorn mau Solar jadi milik Thorn. Selamanya. Jadi, Solar... Menikahlah dengan Thorn." ucap Thorn begitu tulus dan tenang. Membuat Solar tak percaya yang ada di depannya ini adalah sahabatnya.
"Thorn... Aku tau ini waktu yang pas, tapi, jangan terbawa suasana. Mama sama Papa itu cuma manas-manasin kita, Thorn." akhirnya Solar berkata seperti itu. Ia tak mau nanti harapannya selama ini jatuh begitu saja hanya karena candaan orang tuanya.
"Jadi, selama ini Sunshine pikir ucapan Thorn itu cuma main-main." ujar Thorn, hatinya sakit kala Solar menganggap semua hal yang selama ini ia utarakan cuma main-main.
"Eh? Jadi, kamu serius?"
"Iya lah... Masa Thorn bercanda soal beginian."
"Oh..." Solar masih tak yakin. Tapi, dia juga tak meragukan ucapan Thorn tadi yang terdengar murni dari hati.
"Jadi, mau ya?" tanya Thorn sekali lagi.
"Iya.. Solar mau kok." jawab Solar dengan rona merah di pipinya.
"Huwaaa! Makasih, Sunshine!" Thorn langsung memeluk sahabatnya yang sebentar lagi akan menjadi pasangannya.
"Om! Thorn berhasil!"
"Iyap. Jangan lupa janjinya ditepati ya~" ujar Ayah Solar yang dibalas anggukan semangat dari Thorn.
"Janji?" ucap para wanita keheranan.
"Hm! Thorn janji kalau Solar mau nikah sama Thorn, nanti Thorn bakal kasih cucu setim sepak bola!" jelas Thorn penuh semangat.
"Apa?!" Solar tak percaya dia terjebak permainan yang dibuat oleh Ayahnya.
"Ih! Nggak mau! Solar nggak—hhmph!" Thorn lebih dulu membungkam ucapan Solar. Solar memberontak. Dia tak ingin ciuman ini. Ia ingin mengomeli Ayahnya.
"Masa Sunshine tega sih.. Thorn udah janji dan janji itu harus ditepati." ujar Thorn setelahnya yang jelas sekali berpura-pura sedih.
"Tapi, nggak mungkin sebelas..." ucap Solar pelan menahan malu.
"Kalau gitu... Ayo buat dari sekarang!"
"He?" Solar yang merasa tubuhnya melayang segera mengalungkan tangannya pada leher Thorn.
"Turunin, Thorn—hmph!"
Thorn membawa Solar menuju kamarnya.
Orang tua mereka hanya tersenyum. Mereka senang bisa melihat Thorn dan Solar bersama kembali.
"Yaaahh... Biar saja lah." ucap Ibunya Solar yang ditanggapi anggukan oleh yang lainnya.
🎍
Tamat
🎍__________🎍__________🎍
Nah, menurut kalian gimana ceritanya nih?? B aja kah? Sedihkah? Atau gimana?
Awalnya mau buat sad story aja, eh, pas akhir malah menjerumus ke romance :)
Yah, begitulah oneshot yang muncul sekilas dipikiranku... Yaps, cuma oneshot jadi nggak ada lanjutannya.
Jadi, karena ini cuma oneshot
Jangan lupa kasih vote, nggak ada ruginya kan?
Oke... See you in the next story ^^
Bye bye~
🔸dyrannosaur🔸
03012021
🎍__________🎍__________🎍
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro