Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

19. Terus aing kudu naon?

Luna menyorot keduanya penuh selidik sebelum menghela napas berdiri di samping Cavin. Agaknya gadis itu menjadi sangat simpatik kepada tokoh utama yang selalu diasingkan, setidaknya dia tidak akan terkena sial seperti orang lain. Cavin tersenyum kecil mendapati Luna di sampingnya.

"Yakin gak ngapa-ngapain? Kamu boleh ngenistain mereka, tapi jangan nodain mereka dong."

Evelia kembali menjulurkan dua jari peace, gadis itu serius. Ya, ampun. Luna benar-benar tidak percaya dengannya. "Aslian, Luna. Aku harus ngomong berapa kali ke kamu? Kita gak ngapa-ngapain. Iya, kan?" tanya Evelia melirik Calix yang ikut mengangguk menyetujui, "Iya, kita tidak melakukan apa pun."

"Ciumannya cuman di tangan aja," imbuh Evelia yakin, seharusnya ini cukup membuat Luna percaya. "Benar, hanya di punggung tangan. Tidak lebih," konfirmasi Calix, dia tidak mau membuat orang salah paham dia berhubungan lebih jauh dengan author buaya betina seperti Evelia.

Luna mendelik sebelum akhirnya memilih percaya saja. Melihat hal itu Evelia maupun Calix mendesah lega, kemudian Evelia menatap perubahan perilaku Luna-- yang berdekatan dengan Cavin, dia sedikit khawatir. "Lun, kamu gak papa?"

Luna mengerti ketika Evelia menatapnya, gadis dengan surai panjangnya hanya bisa tersenyum mengangguk untuk menenangkan. "Ya, inget gak teori orang tua dan anaknya yang bisa lebih dekat? Anak laki-laki biasanya lebih dekat dengan ibunya, juga anak perempuan yang lebih dekat dengan ayahnya. Seperti itu kira-kira hubungan kita sebagai author sama karakter yang diciptakan."

Kedua mata Evelia melebar, fakta ini baru dia ketahui sekarang, dia mulai mengerti dengan perilaku Luna. Jika begitu, apakah itu salah satu alasan dia dekat dengan Calix? Mungkin saja. Hari sudah sore, Evelia menepuk bahu Calix. "Aku pikir, kita harus pergi ke tempat yang lebih aman sebelumnya. Kalau ketahuan di sini, kita bisa ditangkap petugas keamanan."

Luna dan Cavin mengangguk setuju, mereka harus pergi ke tempat aman untuk beristirahat. Evelia berbisik pada Calix untuk meminta alam di sekitar mereka menunjukkan jalan ke tempat aman. Calix mengangguk, dia bergumam pelan dengan mata terpejam, sebelum akhirnya berdiri di depan memimpin jalan.

Luna memiringkan kepalanya, menyipitkan mata menyorot sang sahabat. "Cieee.., uhuk, uhuk. Harus banget ya bisik-bisik. Uhuk, uhuk."Luna terbatuk kecil, ekor mata gadis itu menggoda jahil. Evelia menaikkan sebelah alis dan merangkul lengan Calix yang tersentak kaget berusaha melepaskan genggaman. Seringai buayanya semakin terlihat. "Iri Kak? Iri?"

Luna memberikan jempol terbalik,  pura-pura muntah. Evelia dijahili tidak seru, malah kesenangan. "Lepas," keluh Calix melepaskan lengannya yang dihadiahi kedipan manis. Calix mencibir perbuatan Evelia tetapi sudut bibirnya yang berkedut tidak bisa dibohongi. Dia membuang wajah sementara Cavin menatap tertarik.

"Ngomong-ngomong, Calix. Kita akan pergi ke mana?" Sang empu yang ditanya memutar bola mata, menoleh ke belakang tidak ramah. Cavin menegak ludah, takut-takut salah. "Jangan panggil aku dengan namaku. Memangnya kita dekat?"

Cavin dengan ekspresi polos mengerjap, merasa terluka sekaligus tidak percaya. Kenapa dirinya seringkali jadi bahan nistaan semua orang?Padahal Luna dan Evelia dibiarkan untuk memanggil namanya, tapi kenapa dia tidak boleh? "Kau kejam. Bisa-bisanya kau seperti itu kepada adikmu sendiri. Padahal aku sudah menurut untuk tidak memanggil kakak. Juga, kau membiarkan Luna dan Evelia memanggil namamu. Hanya aku yang tidak diizinkan."

Calix memasang tampang sebal yang ditertawakan dua gadis itu. Mereka tahu kalau Cavin ini tipe orang bodoh yang menyebalkan dan tidak peka. "Panggilnya sayang aja." Evelia tertawa menaik turunkan alis. "Iya~ kan Cavin ini adik tersayang~ Kakak Calix~ Baikan dong~" Luna ikut mengompori terkikik ikut menggoda dua saudara.

Kedua pria itu saling lirik sebelum memasang wajah jijik yang kembali ditertawakan. Mereka terus berjalan hingga sampai di sebuah villa tua kosong tanpa penghuni. Ada pagar besar karatan, tanaman belukar juga berbagai penambah horor di sana. "Wow. Rumah angker. Serem banget~ Luna harus ditempelin Cavin terus kayanya sih."

"Aku gak takut ya!"

"Hm, yang bener? Kamu lebih takut hantu padahal daripada manusia."

Calix membuka pintu gerbang usang, terdengar suara berderit ketika pagar terbuka, mereka masuk menuju halaman dan membuka pintu. Semua barang-barang tersisa di tempat itu ditutupi kain putih. Namun, tidak begitu kotor seperti perkiraan. "Kayanya tempat ini ada yang mengurus di dalamnya. Kalian tahu tidak? Kemungkinan tempat ini milik siapa?" tanya Cavin celingak-celinguk melirik sekitar.

Evelia memikirkan jawaban dari pertanyaan Cavin kemudian menepuk tangan segera menjawab. "Ini villa rahasia Raja sama selingkuhannya! Nah, gegara selingkuhannya mati, tempat ini gak ada yang urus kecuali dalamnya yang dibersihkan sebulan sekali atas perintah rahasia!"

Evelia menjelaskan dengan semangat berhasil mengingat isi cerita. Tapi, mendapatkan ekspresi kesal dari dua pria di hadapannya gadis itu bungkam. Ah, bagaimana bisa dia lupa kalau kedua orang ini adalah pangeran? "Kalau kalian mau hujat si Raja. Hujat aja. Gak ada yang larang," canda Evelia untuk mencerahkan suasana.

Luna mengangguk, pun setuju pada pernyataan sang sahabat. "Yup, bener. Orang itu pantes banget sih dihujat." Kedua pangeran masih diam, saling lirik kemudian menatap hina ke potret raja juga selingkuhan yang terpajang di dinding. "Dasar brengsek. Kukira setia, ternyata senang mendua. Dasar sampah!" Tidak diduga pernyataan itu keluar dari bibir Cavin, sementara saudaranya mendecih jijik. "Kau lebih hina dari kotoran. Dasar menjijikkan."

Evelia dan Luna saling lirik kemudian terkikik, apakah tokoh mereka ikut tertular virus menistakan tokoh fiksi? Evelia melirik sekitar menemukan sofa ditutupi kain putih, dia membukanya. "Yuk, duduk dulu. Ada yang mau kita bahas." Semua atensi terarah pada Evelia, benar, mereka harus mendiskusikan rencana selanjutnya.

"Jadi kita mau bahas rencana untuk ke depannya. Ini tentang gimana caranya menghentikan kiamat. Inget gak apa yang aku bahas soal penyebab kiamat? Benar. Salah satunya karena penyihir yang membenci raja sekaligus yang mengutuk Cavin. Jadi, rencananya kita akan pergi menuju penyihir itu untuk meminta perdamaian."

Cavin mendengarkan penuturan Luna dengan serius, mereka duduk di sofa saling berhadapan. Benar, Cavin harus bertemu penyihir yang mengutuk dia menjadi sial. Padahal nenek moyangnya yang salah, tapi mengapa dia yang merasakan kutukan? "Lalu bagaimana cara membujuknya?" tanya Evelia serius, memang benar gadis itu sering bercanda, tapi jika di waktu tertentu dia juga bisa serius.

Luna melirik Evelia, netranya percaya diri sudah memikirkan berbagai rencana. "Itu sih urusan Evelia. Dia paling jago soal sandiwara." Evelia yang mendapatkan sinyal itu mengangguk dengan tawa renyah, benar, sandiwara itu keahliannya jadi dia yakin bisa melakukanya.

Sementara Calix di sisi lain merasa tidak nyaman. Maksudnya rencana ini bertumpu pada Evelia saja begitu? Tunggu? Kenapa dia harus khawatir pada manusia author itu? Oh, tidak, dia khawatir jelas karena mereka satu tim. Iya kan? "Apa yang akan kamu lakukan?" Akhirnya pertanyaan itu keluar, Calix merasa gelisah jika tidak menanyakannya.

Evelia terpaku, mendengar samar kekhawatiran dari pria itu. Evelia merasa bingung, mengapa Calix harus  khawatir. "Tentu saja. Apa pun. Kita perlu lakuin rencana ini buat perdamaian dunia. Buat dunia jadi aman. Iya, kan. Lun?"

Calix mendengarnya secara spontan  menggeleng kecil. Pria itu tidak setuju, dia jelas merasa cara yang dipakai Evelia bisa menyakiti Evelia sendiri. Calix bisa melihat jika Evelia bisa melakukan apa pun untuk Luna. "Aku tidak berpikir ini ide yang baik."

"Terus aing kudu naon?"

(Terus aku harus bagaimana?)

Evelia juga Calix bersitatap tegang, pandangan mereka bertemu tajam. Evelia tidak habis pikir dengan Calix, padahal pria ini juga yang menginginkan jaminan agar semua yang dimilikinya aman. Dan ini salah satu usaha Evelia menepati janji itu.

"Udah kubilang. Aku bakal tanggungjawab. Atas kamu, ibundamu, rakyatmu, dan juga Luna maupun Cavin-- barangkali karena dia disukai Luna. Aku siap melakukan apa pun agar kalian aman. Gak usah khawatirin aku. Aku bisa melakukan apa pun."

"Hey!" Luna berteriak kesal, tidak terima atas apa yang dikatakan sahabatnya, dia tidak benar-benar tertarik pada Cavin. Mungkin hanya sedikit tertarik saja, sedikit. Sedangkan di sisi lain Calix menatap serius gadis keras kepala ini yang dibalas sorot tegas yang tidak goyah. Seolah tidak ada yang bisa menghentikannya. "Baiklah. Lakukanlah apa yang kau mau."

Calix bangkit menaiki anak tangga, dia juga tidak perlu peduli pada orang yang tidak mau dipedulikan. Kenapa juga dia seperti ini? Apa karena Evelia pernah menunjukkan sisi lemahnya? Atau karena dia merasa terlindungi dan aman ketika melihat seringai jahil gadis itu? Meneruskan langkah dia pergi ke sudut lorong dan memasuki kamar.

Evelia sendiri bukanlah anak yang bodoh, dia peka apa yang dirasakan Calix. Berdecak kesal dia melirik Luna juga Cavin, dia terkekeh sebelum menatap main-main. Dilihat-lihat kedua orang ini makin menempel saja." "Kamu sama Cavin mau tidur bareng?"

Semburat merah muncul di pipi Cavin sementara Luna menggeleng keras, ada apa sih? Kok tiba-tiba Evelia membahas ini? "Kalau gitu, Cavin kamu tidur di lantai satu. Di ujung kanan sebelah sana. Kita semua bakal tidur di atas. Kita perlu jaga jarak untuk kebaikan bersama. Kamu mengerti, kan?" Luna mendesah lega, ternyata soal jarak, dia kira Evelia ingin menggodanya.

Cavin mengangguk izin pamit ke kamar, menyisakan dua gadis  yang kini terduduk berdua saling bersandar. Luna menoleh takut-takut, ekspresinya tidak baik, dia kepikiran dengan reaksi Calix. "Lia. Apa aku membebani kamu? Aku gak tahu harus gimana lagi buat kita bisa kembali. Aku minta maaf kalau selama ini ngerepotin kamu."

Evelia yang mendengarnya kembali tercenung, gadis itu tertawa lembut menyentil dahi Luna. Dia menarik Luna ke dalam dekapannya dan menepuk punggung sang sahabat. "Udah aku bilang. Aku bakal pastiin kita semua aman. Jangan khawatir, oke? Kamu duluan ya, ke kamar. Aku harus ngobrol sama Calix."

Luna mengangguk dengan menggandeng tangan Evelia ikut menaiki anak tangga. Pandangan Luna emosional tatkala kembali bersitatap dengan Evelia kembali bicara, "Lia. Apa kamu sama Calix ada hubungan?" Evelia menggeleng cepat, itu mustahil. "Tentu nggak."

Luna menggigit bibirnya, dia tidak bodoh dan cukup peka. Dia bisa melihat kilatan cinta atau semacamnya dari Calix maupun Evelia. Entah apa yang terjadi pada keduanya, tapi itu tidak membuat hubungan mereka mustahil. "Aku gak bakal larang. Tapi, aku harap kamu bakal tetep rasional buat keputusan besar di masa depan. Mau tinggal atau pergi. Kamu ngerti kan, maksudku?"

Evelia tersenyum jangan mengusap pucuk surai panjang milik Luna. Mungkin itulah yang dikhawatirkan Luna soal mereka yang memasuki novel, seperti cerita-cerita di luar sana yang memiliki dilema besar. Mau tinggal atau pergi ketika ada kesempatan. "Jangan khawatirin yang gak perlu. Kamu cukup nikmatin masa kini tanpa menyesal. Jangan sampai kamu melewatkan kesempatan-kesempatan baik karena takut akan masa depan. Nikmatin yang ada di depan mata kita, ya?"

Luna mengangguk, sebelum kembali memeluk tubuh sahabatnya erat yang dibalas tepukan lembut. Luna melepas pelukan itu dan menuju kamar di samping kamar Calix. Perkataan Evelia ada benarnya, dia tidak bisa berlarut dalam ketakutan tidak berdasar.

Evelia melambaikan tangan pada Luna lantas mengusap wajah kasar, ada satu orang lagi yang harus diurus. Evelia membuka pintu kamar Calix, terduduk di ujung jendela terdapat pria dengan surai pirang, netra emas serta kulit pucat menatap keluar. Pria itu berdiri masih melamun sebelum menyadari kehadiran Evelia.

"Tidak ada yang perlu kau katakan."

Evelia tersenyum lantas menutup pintu. Langkahnya ringan mendekati pria itu yang masih terduduk, jelas mengabaikan Evelia. Jari ramping sang gadis kini menarik ekspresi dingin Calix agar menatapnya. Pandangan Evelia melembut, nada suaranya tidak jahil atau main, lebih cenderung perhatian. Calix menggulirkan pandangannya ke arah lain.

Di dekat jendela sendiri, terdapat tempat duduk untuk memandang pemandangan. Evelia duduk di samping Calix. Tidak ada suara di antara keduanya, sebelum Evelia menarik tangan pria itu untuk menyentuh wajahnya. "Calix. Lihat aku."

Calix menghela napas, perasaan bingung juga asing terpampang jelas.
Ada alasan kenapa dia khawatir, dia yakin ini bukan hanya karena mereka satu tim, ada satu hal yang lebih dari itu, tapi dia ragu untuk mengatakannya pada Evelia. Padahal mereka baru berhubungan belum sampai sehari. Calix gelisah, perasaanya semakin kacau dan tidak terkendali.

"Bicara. Kamu harus bicara apa yang kamu khawatirin. Aku bakal berusaha ngertiin, kenapa kamu marah kaya tadi. Kamu khawatir sama aku?"

Calix menghela napas, mungkin itu salah satunya, dia merasakan Evelia menanggung beban berat di pundaknya, tentang siapa saja yang harus dilindungi, siapa saja yang mempercayainya juga bagaimana dia melaksanakan tugas sebagai orang yang bertanggung jawab atas segala hal. "Berbagilah beban itu bersamaku. Aku tidak ingin kau menanggung beban itu sendirian. Aku tidak ingin kau terluka."

Evelia terdiam kaku, tidak tahu jika Calix benar-benar khawatir seperti itu, sebagai author dia sudah merasa sok keren sendiri ingin membuat Calix tenang, tapi sekarang dia yang malah kelabakan. Tapi, Evelia tetaplah Evelia, dia menyipitkan mata, ada senyuman tulus di sana walau ditemani tawa candaan. Dia kembali menggenggam tangan Calix dan mengecup punggung tangan pemuda itu. Calix menarik napas panjang, kini sekitarnya kembali tenang, kekuatannya dinonaktifkan.

"Aku ngerti. Kamu khawatir, kan? Kamu gak mau aku terluka. Tapi, aku juga punya tanggung jawab. Karena itu. Kamu bisa bantu aku. Gimana?"

Calix menatap gadis itu mengangguk, itu cukup adil untuk mereka berdua. Evelia terkejut ketika kini dialah yang terperangkap, Calix mendekapnya, membuat wajahnya tenggelam di dada pemuda itu. Evelia jelas malu, entah kenapa melihat rasa tenang juga perhatian Calix itu membuat sisi buayanya jatuh berlutut.

Evelia tidak mau menyerah, tapi wajahnya mulai memerah, dia jelas kalah sekarang.

Bersambung...

13/04/2023

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro