Kepada Kematian
Hari ini ayam Bapak mati. Seekor ayam yang bahkan belum mengalami ulang tahun tujuh hari. Seeor ayam kecil berwarna kuning polos dengan ceker kecil yang tak terasa apa-apa jika menginjak kakiku. Seekor ayam kecil yang menjadi satu-satunya yang menetas dari lima butir telur yang dierami Ibunya.
Namanya kuthuk. Dalam bahasa jawa, kuthuk adalah anak ayam. Namun karena aku malas mencari nama lain—aku terbiasa menamai setiap hewan yang kami punya. Kucing kami yang berwarna kuning, jantan, gagah, galak, dan menjadi primadona bagi para betina namanya Kopi—maka kami memanggilnya kuthuk (Cara bacanya tidak sama dengan ketika kau menyebut kata kutukan. Tapi tambahkan sedikit rasa h di antara 't' dan 'u' seperti ketika kita mengucap..ah sudahlah. Ini bahasa internal suku jawa).
Ibu si ayam adalah seekor betina pesolek, berbadan bagus, genit, dan tidak telaten mengurus anak. Si Ibu juga tidak telaten prihatin untuk mengerami anaknya. Tidak seperti Ibuku yang selalu puasa ketika anak-anaknya menempuh ujian. Ketika satu anaknya lahir, Ibunya si kuthuk tidak sabar lagi untuk turun dari pertapaan dan menggodai pejantan. Jadilah si kuthuk simpai keramat yang menjadi satu-satunya penerus gen dari generasi peranakan yang kesekian.
Tapi hari ini generasinya tumpas. Si kuthuk tidak ikut pulang ketika Ibunya datang untuk makan sore sejak dua hari yang lalu. Hingga hari ini ia tidak kembali, kami memutuskan ia telah tewas dan mayatnya tidak ditemukan. Mungkin ia dimangsa garangan—hewan sejenis tupai yang memakan ayam-ayam kecil—mungkin juga ia terseret arus selokan saat tak berhasil menyeberanginya. Selamat tinggal Kuthuk. Semoga arwahnya diterima di sisi Tuhan.
Seminggu yang lalu, ayam jago bapak mati pagi-pagi. Matinya sepasang dengan kekasihnya. Jasad keduanya dikremasi lalu ditimbun bersama abu-abu sampah organik. Tubuh kaku mereka berdampingan jalin menjalin, mengingatkanku tentang legenda batu tua di sebuah gunung. Dulu ada geger ketika warga menemukan dua mayat muda-mudi yang dempet. Alias tidak bisa dipisah. Konon kata tetua, mereka bercinta di atas batu keramat, sehingga membuat penunggu batu terebut cemburu dan mengutuk keduanya menjadi mayat dempet. Mau tidak mau aku jadi berpikir, apa ayam jago Bapak dan pacarnya juga melakukan pelanggaran yang sama?
Musim hujan dan angin yang lembab membuat ayam-ayam bapak bergelimangan. Ayam bisa mati hanya karena kedinginan. Setiap hari ada saja ayam mati, entah itu masih khutuk atau sudah remaja. Berita kematiannya bersaingan dengan berita kematian yang kulihat di siaran berita televisi. Manusia, tentu saja. Kecelakaan, sakit, bunuh diri, bahkan berdiam diri di kursi goyang. Aku terperangah. Betapa mudahnya manusia mati? Apa bedanya dengan ayam yang bisa mati karena dingin? Manusia juga bisa mati bahkan ketika ia sedang tidur atau menonton tivi di kursi goyang.
Tidakkah mengerikan bahwa kita akan mati? Semua manusia akan mati? Suatu saat nanti? Orang bilang sesuatu yang tidak pasti itu mengerikan. Kematian itu pasti, namun tidak kalah mengerikan. Ataukah karena waktu dan sebabnya yang tidak pasti itu yang membuatnya mengerikan? Mungkin saja.
Aku penasaran, adakah manusia lain yang bertanya-tanya demikian. Sedekat apa kematian dengan dirinya. Kematian menghampiri sekitar-sekitarnya. Menghampiri ayam ceria yang bahkan belum tahu apa itu dosa, menghampiri tetangganya yang pekerja keras, menghampiri orang yang ditemuinya di jalan. Kematian berada di sekeliling kita, dan sudah pasti suatu saat giliran kita yang bertemu dengannya.
Aku penasaran. Apa yang ditunggu kebanyakan orang dalam hidupnya. Aku telah melampui beberapa pencapaian yang di isyaratkan tatanan sosial ini. Lahir, sekolah, kuliah, dan bekerja. Terkadang aku bertanya, apa yang sebenarnya kutunggu? Ketika kuliah aku selalu menghitung berapa lama lagi liburan akan datang, sehingga aku bisa pulang kampung dan bersama keluarga lagi. Lalu ketika liburan sudah tiba, aku kembali menghitung berapa lama lagi liburan berakhir sehingga aku harus kembali ke kota besar untuk belajar. Siklus itu berlangsung terus menerus sampai aku bosan.
Aku adalah makhluk penghitung yang payah, dan selalu sial sehingga pada akhirnya, aku menghitung dalam jangka terlalu besar. Berapa lama lagi aku akan lulus kuliah? Berapa lama lagi sampai aku harus turun ke dunia kerja yang sebenarnya? Berapa lama lagi aku harus memikirkan soal pernikahan, jika suatu saat nanti aku punya keinginan untuk menikah? Berapa lama lagi aku akan terus menghitung? Apa yang menjadi tujuan dari penghitunganku? Apa yang kutunggu? Apa yang kucari? Jika aku mencari kebahagiaan, lantas apa itu kebahagiaan? Dimana batas awal dan akhir kebahagiaan? Apa yang sudah pasti hadir di depanku?
Sedih ketika aku hanya melihat kematian. Sedih atau senang? Aku ragu.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro