Epilog
"Kau tidak lelah?" Fayyad mengernyit menatap Dareena yang masih teguh berdiri memegang pedang. Beberapa helai rambutnya mencuat dari jilbab yang dikenakan. Napas ngos-ngosan dari istrinya itu juga membuatnya menghentikan latihan berpedang mereka.
"Harusnya aku yang bertanya begitu. Bukankah pedang yang kau pakai justru terbuat dari material yang lebih berat daripada pedang yang kupegang ini?"
Benar. Sebelum pernikahan mereka dilangsungkan, Fayyad sudah lebih dulu menyerahkan pedangnya untuk Dareena sebagai mahar. Tentu saja gadis itu merasa terhormat. Pedang yang dipakai untuk menaklukan sebuah negeri, walau tak dimungkiri ia sedikit merasakan nyeri lantaran ingat bahwa darah Alfredo dan Javiero pernah diteteskan ke benda itu.
Dareena membuang segala kenangan buruk, ia sudah berdamai dengan apa yang pernah terjadi sebelumnya. Pedang Fayyad terasa lebih ringan dan mudah diayunkan sebab bentuknya yang agak melengkung, beda dengan pedangnya dulu yang lurus.
Berbeda dengan istrinya, Fayyad kini memegang pedang yang diwariskan sang ayah. Sama indahnya, sama tajamnya. Hanya saja terbuat dari material yang sedikit lebih berat.
Napas Fayyad masih teratur, berbanding terbalik dengan Dareena yang sudah terputus-putus napasnya. Gadis itu entah memiliki obsesi apa hingga setiap Fayyad memiliki waktu luang, ia akan minta ditemani bertarung, adu kekuatan, ketangkasan, walau ia selalu kalah. Seperti yang dikenal oleh orang banyak, walau sudah terdesak, Dareena bukanlah orang yang suka mengalah.
"Wajahmu pucat. Berhenti saja, ya?"
Dareena menggeleng. "Kalau lelah kau tinggal mengakuinya, Tuan Fayyad. Kau menyerah, dan aku menang," bantah Dareena.
Fayyad menghela napas pelan, lantas mengangguk. "Ya sudah. Kau menang."
Dareena berseru puas. Keduanya kini duduk bersandar pada dinding samping rumah. Dareena memejamkan mata menikmati semilir dersik. Langit agak kelabu hari ini, mungkin beberapa saat lagi akan turun hujan.
Fayyad menatap lekat-lekat pada Dareena yang tampak tenang sambil memejamkan mata. Lelaki itu merasa sedikit khawatir perihal wajah istrinya yang tampak sedikit pucat. Biasanya jika kelelahan, wajah itu akan memerah, bukan memutih.
"Kau baik-baik saja?"
Dareena membuka mata, mengerjap balas menatap. "Baik. Aku baik. Tidak usah cemas, aku akan langsung memberi tahu jika merasa tidak baik."
"Meski kau selalu bersemangat, kau kelihatan lebih lesu hari ini," protes Fayyad, membuang arah pandangannya pada langit abu.
Dareena tertawa pelan. "Aku tidak boleh berdusta padamu, ya? Ah, baiklah. Sejak kemarin malam aku merasa sedikit pusing dan gampang lelah. Itu saja."
"Kenapa tidak beristirahat—"
"Hai, aku mengganggu?" Baru saja Fayyad akan melontarkan kalimat kekhawatiran lagi, Diana tiba-tiba muncul.
"Tidak," jawab Fayyad singkat. Diana mengangguk, tersenyum dan berjalan mendekat. Di tangannya tergenggam amplop coklat. Tanpa berpikir panjang, Diana memilih duduk di antara Dareena dan Fayyad.
"Ada surat untuk Dareena."
"Dari Nelida?" Dareena menegakkan tubuh. Ketika Diana mengangguk, iris abu-abu itu berbinar.
Empat bulan yang lalu, dua hari sebelum pernikahannya, Dareena mengirimkan surat pada Nelida. Membahas tentang menjadi gadis yang sesungguhnya, bodoh, dan gila seperti yang pernah mereka berdua bicarakan. Menanyakan kabar dan perkembangan, lalu berakhir dengan salam rindu.
Diana menyerahkan amplop tersebut lantas mengambil posisi duduk di ujung kiri Dareena. Adik iparnya itu pernah diceritakan tentang Nelida dan mendadak menaruh empati pada perempuan berdarah Italia-Spanyol tersebut. Adik perempuan Fayyad itu kagum pada prinsip dan kemurahan hati Nelida.
"Baca yang keras, aku juga ingin mendengarnya," celetuk Diana.
Dareena mengangguk.
Halo, Dareena. Kabarku baik-baik saja di sini. Syukurlah ayah dan keluarga besarnya menerima anakku tanpa banyak menuntut. Perkembangannya baik, dia terus bergerak di perutku. Kata nenekku, kemungkinan besar berjenis kelamin laki-laki. Sungguh aku tidak sabar menanti kehadirannya!
Ah, maafkan aku karena tidak dapat menghadiri pernikahanmu. Ayahku menjadi sangat berlebihan dalam menjagaku. Jangankan pergi ke luar negeri. keluar rumah saja aku harus ditemani olehnya. Menyebalkan. Oh, iya. Jika di sana ada Diana---orang yang kau ceritakan padaku itu, sampaikan salamku, ya! Aku sangat ingin bertegur sapa dengannya.
Bagaimana rasanya menikah? Menyenangkan? Kuharap kalian selalu dalam lindungan dan kasih sayang Tuhan. Doakan aku agar mendapat lelaki sebaik Fayyad, ya! Oh, bersikaplah lemah lembut padanya, karena istri harus menyenangkan hati suami, bukan? Kurangi sarkasmemu, kau selalu tidak suka mengalah. Ah, walau begitu pun, kuyakin Fayyad tetap cinta.
Dareena mendengkus, jantungnya berdegup kencang sebab saat membaca tulisan itu, Fayyad masih ada di sebelah Diana, ikut mendengarkan. Lelaki itu juga memberi respons yang mirip, hanya saja tidak terang-terangan. Diana yang menyaksikan adegan itu hanya terkikik geli.
Usia kandunganku sudah lima bulan, kapan kau mau menyusul? Melihat nanti anak-anak kita bermain bersama pasti menyenangkan, bukan? Fayyad tidak mengabaikanmu sebab terlalu sibuk mengurusi wilayahnya, bukan? Aku jadi berpikir nanti anakmu akan secantik kau atau setampan ayahnya. Kata nenekku, jika ingin dominan mirip dengan salah satu dari kalian, saat membuatnya salah satu di antara kalian harus lebih dominan.
"A-aku pergi dulu. Eng ... jika masih pusing, istirahat saja. Assalamualaikum," pamit Fayyad lalu bergegas berdiri dan buru-buru berjalan. Wajah Dareena sudah semerah kepiting rebus.
"Wa'alaikumussalam." Diana yang menjawab, tak lupa mengerling ke arah Dareena sambil tersenyum jenaka.
Dareena menyembunyikan wajahnya di balik kertas tulisan Nelida. Merutuk Nelida yang bisa-bisanya menuliskan hal demikian. Jika ia sudah tahu dari awal isinya akan sevulgar itu, sudah pasti tidak dibacakannya di depan Fayyad.
"Fayyad malu," bisik Diana, semakin membuat bulu kuduk Dareena meremang.
"B-bukan salahku. I-itu .... Ah, dasar Nelida! Aku juga malu, astaga!" Dareena memeluk erat-erat Diana dan menyembunyikan wajahnya di ceruk leher adik iparnya tersebut. Diana terbahak, mengelus punggung Dareena yang masih mencak-mencak.
"Apa tidak mau dilanjutkan membaca suratnya?"
Dareena mengurai pelukan. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu melanjutkan membaca.
Aku belum tahu itu bisa dibuktikan atau tidak. Kalau kalian melakukannya dan terbukti berhasil, bilang padaku, ya!
"Dia mengerjaiku," rintih Dareena, kakinya menghentak-hentak. Sedangkan Diana tertawa terpingkal-pingkal. Untung saja Fayyad tidak di sini lagi.
Kuduga, pipimu sudah semerah tomat. Mungkin kau bisa menyuruh Fayyad untuk membaca surat ini juga. Ah, tidak, aku bercanda.
Aku tahu, Tuhan selalu punya jalan yang indah. Sepertimu, contohnya. Kau gadis yang sangat beruntung, Dareena. Teruslah menjadi wanita yang selalu membicarakan perihal kebenaran. Jangan lupa untuk rendah hati. Rinduku padamu sudah kutitipkan lewat doa. Semoga sampai padamu.
Salam,
Nelida.
Selesai.
Ah, Dareena juga merindukan sahabatnya itu. Dersik memainkan ujung khimar dua wanita yang memilih membisu sejenak. Memori pahit itu singgah ke ingatan Dareena. Tentang pengorbanan Nelida, kebaikannya, dan keyakinannya.
"Aku rindu padanya," bisik Dareena. Sekilas bayangan tentang keadaan mengenaskan mereka berdua dalam sel hinggap sebentar.
"Sampaikan lewat doa, agar rindu kalian bertemu dalam genggaman semesta," balas Diana sembari menyuguhkan senyuman hangatnya.
Benar kata Nelida, Tuhan memiliki rencana yang indah. Tidak dapat dibayangkan jika Dareena menyerah saat Alfredo terbunuh. Tidak dapat dibayangkan jika ia tidak dilindungi oleh Javiero. Tidak dapat dibayangkan jika saat itu tubuhnya tidak dibawa Eneas menjauh dari medan perang. Mungkin ia akan membawa serta dendam busuk dalam kematiannya.
Lebih dari itu, jika Lazaro tidak mengizinkannya pergi, maka segala hal yang ia dapatkan saat ini tidak akan dapat diceritakan pada orang-orang sebagai pelajaran. Ah, hidup memberinya terlalu banyak warna dan Dareena bersyukur akan hal itu.
"Jadi ... kapan kau akan menyusul? Atau mungkin mencoba mempraktikkan apa yang dikatakan Nelida?"
Dareena membelalak, jemarinya spontan meninju pelan lengan Diana.
"Itu memalukan! Praktikkan saja sana bersama Said," ceplos Dareena.
Diana mendekatkan bibirnya dengan telingan Dareena. "Ssst, aku akan menjadi ibu tujuh bulan lagi. Apa kau perlu kuajari caranya?"
"Astaga, Diana!"
🗡⚔🗡
Tamat!
Iya, kali ini beneran kok. Nda boong Yoru tuh.
First of all, makasih banyak untuk kalian yang sudah meluangkan waktu membaca Start From The Sword, bertemu dan berkenalan dengan Dareena dkk. Nyelesain cerita ini dengan segala riset dan tetek bengeknya itu sangat sangat sangat tidak mudah, dan kalian adalah anugerah terbesar untuk Yoru hingga cerita ini bisa diselesaikan hari ini.
Kedua, makasih untuk kalian yang senantiasa meninggalkan jejak, itu bener-bener jadi support untuk Yoru.
Ketiga, untuk yang berinteraksi sama Yoru di kolom komentar, bantu Yoru hunting typo sampe ngerusuh bareng gosipin Fayyad dan Dareena di komentar, ILY 3000! Yoru jadi semangat update karena kalian. Thankyou so much!
Yoru tau tulisan ini ga lepas dari kekurangan. Jadi, Yoru akan sangat terbuka untuk menerima kritik dari pembaca sekalian~
Terakhir, boleh dong, Yoru tau kesan dan pesan kalian setelah baca cerita ini? Silakan komen, ya! Jan takut, Yoru ga doyan makan manusyaa~
Rada sedih sih karena bakal pisah sama Dareena dan Fayyad, tapi gimana lagi? Kisahnya sudah berakhir sampai di sini.
Yoru wuf yu a lot lot lot! 💖
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro