Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

46. Sesuatu yang Tak Terkatakan

.
.
.
"Dia mengatakan yang sebenarnya, Dareena, walau di waktu yang sama ia berusaha menyembunyikan satu kebenaran yang lain,"

(Diana)
.
.
.

🗡🗡

Salam itu akhirnya membuat Dareena harus menjelaskan bahwa dirinya sudah beralih kepercayaan, membuat Diana menangis tersedu sedan hingga tidak mau melepaskan dekapan. Dareena hanya tersenyum simpul. Sebenarnya ia begitu lelah dan langsung istirahat, tapi sifat penasaran Diana tidak dapat dibendung. Wanita berhati lembut itu terus saja mengikutinya dan bertanya hal serupa.

Setelah puas meneteskan air mata---yang justru membuat Dareena bingung sebahagia apa kabar yang disampaikannya hingga Diana tidak berhenti menangis, Diana kembali ke kamarnya. Ini sudah larut.

Dareena kembali lagi ke kamar ini. Kamar yang sebelumnya juga ditempati olehnya ketika sakit.

Gadis dengan bola mata keabuan itu mengitari ruangan. Meneliti buku-buku yang berderet di rak, lalu mengambil sebuah mushaf lantas dipeluknya erat-erat. Sejak Diana pertama kali membacakan Al-Qur'an untuknya, Dareena merasa tentram dan ragu di saat yang bersamaan. Namun, agaknya sekarang ragu itu telah beralih menjadi keyakinan.

Setelah puas bernostalgia, Dareena memejamkan mata dan terbuai dalam mimpi.

🗡🗡

"Diana," panggil Dareena saat ia sedang membantu Diana memasak kari.

"Ya?"

"Fayyad kenapa?"

"Memangnya Fayyad kenapa?"

Ah, benar juga. Fayyad pasti tidak menceritakan apa pun pada sang adik perihal dirinya yang menyatakan perasaan hari itu hingga membuat Fayyad berubah lebih dingin.

Bukan hanya itu, sudah empat hari ini Fayyad tidak pulang, juga tidak tidur di rumah. Pikiran Dareena sedikit terganggu, apa menghindar harus sampai sebegitunya? Apa Fayyad tidak nyaman jika ia berada di sini? Apa Fayyad membencinya? Tapi, jika mungkin ... mengapa ia sempat mengucapkan suatu kalimat yang berhasil membuatnya berasumsi bahwa lelaki itu merasakan hal yang sama?

"Kau baik-baik saja? Sedang memikirkan apa, jika aku boleh tahu?"

Dareena diam sebentar. Dirinya ragu harus menceritakan kegelisahannya pada Diana atau tidak. Gadis itu menatap netra Diana dalam-dalam, ingin memastikan bahwa dirinya mungkin kali ini dapat berbagi padanya. Ya, tidak ada salahnya, bukan? Diana adalah orang yang paling dekat dengan Fayyad, mungkin ia mengerti banyak hal.

"A-ah, ti-tidak apa-apa jika tidak mau memberi tahu. Ah, iya. Maaf karena sudah bertanya," sela Diana cepat, merasa bersalah karena menyadari tatapan Dareena yang menurutnya mengintimidasi, seperti biasanya.

Dareena mengukir senyuman. "Apa kau selalu merasa takut padaku?" Dareena mengaduk kuah kari yang sudah mulai mendidih. Gadis itu tidak diizinkan melakukan apa pun kecuali mengaduk saja. Saat memotong daging, telunjuknya teriris pisau, saat memotong kentang, potongannya terlalu besar. Tidak ada yang pas.

"A-aku ... ah, tidak. Kau tidak menakutkan. Aku hanya ... em ... aku takut kau tidak nyaman berada di dekatku. Jadi, maafkan aku jika terlalu banyak bertanya."

Dareena mendengkus. Sebenarnya ia paham betul bahwa Diana masih sangat menaruh hormat mengingat statusnya sebagai mantan putri dari kerajaan Al-Khadhra. Gadis itu juga mengerti bahwa Diana sedikit jerih karena wataknya yang keras dan cenderung tidak berperasaan. Bagusnya, Diana tahu cara menghargai perasaan orang lain hingga tidak mengatakan yang sejujurnya. Padahal dari sikapnya begitu kentara.

"Nanti malam kau ada waktu?"

"Tentu saja. Kenapa?"

"Aku ingin berbicara. Bercerita, apa pun. Menebus segala perbuatan burukku padamu."

🗡🗡

Diana masuk ke kamar sesaat setelah menyelesaikan tilawahnya. Dengan wajah yang sedikit muram, ia menyodorkan sesuatu pada Dareena.

"Sebelumnya, aku benar-benar minta maaf. Rosariomu rusak beberapa hari sejak kau pergi, tidak sengaja kutarik saat masih digantung .... Akan kubelikan yang baru, kau mau model yang seperti---"

"Tidak usah, aku tidak membutuhkannya lagi," potong Dareena cepat.

"Benar-benar tidak apa?"

"Ya. Aku juga meminta maaf, mushaf kesayanganmu hilang," balas Dareena.

"Tidak apa, masih ada yang lain. Isinya tetap sama, kok, tapi rosario ini ... benar-benar tidak apa?"

"Ya, tidak apa-apa. Duduklah. Aku hendak bercerita."

Diana duduk di sebelah Dareena, mendengar kisah pilu sang gadis selama berada di tanah yang tak tersentuh cahaya. Adik dari Fayyad itu mendengar sepenuh hati. Sesekali meringis membayangkan para korban wanita yang diceritakan Dareena.

"Tunggu dulu. Pedangmu bagaimana?" Diana menginterupsi. Dirinya juga baru menyadari bahwa sejak kembali, Dareena tidak menenteng pedang.

"Entahlah sudah berada di mana. Mungkin sudah dibuang sejak aku masuk sel. Mereka tidak akan mengizinkan siapa pun memegang pedang di sana."

Diana mengangguk-angguk.

"Padahal pedang itu identitasmu. Apa kau tidak ingin mendapatkannya lagi?"

Dareena menggeleng. Ia menerawang langit-langit. "Dari pedang itu, aku belajar bahwa ambisi buruk akan tetap membawa pada keburukan. Diawali dengan pedang itu, aku merasa terlalu banyak rasa sakit, walau Tuhan memberiku waktu untuk sembuh dan lebih memahami hakikat kebenaran. Berawal dari pedang, aku mengenal kegelapan dan dibawa pada cahaya.

"Kurasa, aku harus mengikhlaskannya saat ini. Bukankah itu lebih baik? Aku bisa mendapatkannya kapan saja jika aku ingin dan Lazaro memberi kesempatan."

Diana menatap takjub pada Dareena. Tak dapat dielakkan kekagumannya pada sosok yang dulu dikenalnya sebagai gadis keras. Ia telah melewati banyak hal yang lebih keras. Diana kagum sebab Dareena tidak ibarat batu yang dipertemukan dengan batu dan berakhir pecah berantakan.

Kekerasan Dareena luluh lantak, bak sebuah batu yang selalu ditetesi air. Gadis itu mengeluh, namun ia juga belajar. Gadis itu mencela, tapi ia tidak menolak menerima kebenaran. Ia berpendirian teguh, tapi selalu waras.

Ya, Allah menundukkan Dareena dengan cara memecut punggungnya. Membabat habis kesombongan dengan memperlihatkan keagungan-Nya. Mematahkan ambisinya dengan menampakkan kebenaran. Waktu mendidiknya dengan begitu baik.

Dareena melanjutkan ceritanya.

Tatapan Diana semakin berbinar ketika Dareena menceritakan dirinya yang menemukan keagungan Tuhan di ujung rasa frustrasinya. Diana sampai merasa begitu tersentuh kala Dareena menceritakan tentang kedatangan tentara Perancis saat ia nyaris dieksekusi.

Sampai pada alunan cerita berpindah lokasi. Dareena mengakkan punggung, menarik napas dalam-dalam. Seperti kata Nelida, ia tetaplah seorang gadis, yang bisa merasakan hangatnya virus cinta, dan berhadapan dengan Diana untuk menceritakan hal itu terasa lebih memalukan. Namun, ia merasa harus menyampaikan.

Benar saja, Diana benar-benar membeku. Diam dan tak bergerak ketika mendengar pernyataan bahwa Dareena mencintai sang kakak.

"Bagi kalian, tentu seorang wanita sama sekali tidak terhormat jika lebih dulu menyatakan perasaan, bukan?"

Diana tersenyum lembut, lantas menggeleng. "Tidak, Dareena. Laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang sama. Kau tidak salah. Lagipula, aku salut dengan keberanianmu."

"Itu dia masalahnya. Sejak kukatakan itu, Fayyad mulai menjauh. Selalu saja menghindar. Bahkan belakangan ini saja ia enggan pulang. Pasti karena ada diriku, bukan? Apa dia merasa risih?"

Diana menahan senyum, sejujurnya, perutnya terasa seperti digelitik melihat tingkah Dareena yang sedang kasmaran. Ditambah lagi, Diana mengetahui sesuatu yang tidak diketahui oleh orang lain termasuk Dareena.

"Dia membenciku, ya?"

"Tentu tidak."

"Kenapa kau tahu?"

"Darahku dan darahnya terhubung, Dareena, aku tahu apa yang dirasakannya, meski dia enggan berbagi cerita. Lagipula, jika dia membencimu, pasti ia tidak akan pergi untuk menolongmu."

"Itu karena dia mengingat amanahmu yang menyuruhnya untuk menjagaku. Dia yang bilang begitu."

Diana menggigit bibir bawahnya, menahan tawa mati-matian. Garis wajah yang dulunya tampak keras kini menjadi sangat lunak, bahkan terlihat seperti remaja yang baru mengenal rasa cinta. Wajahnya tertekuk, bibirnya mengerucut, tangannya bersedekap. Dareena mengeluarkan sisi kekanakannya, dan itu adalah sebuah hal yang begitu langka.

"Dia mengatakan yang sebenarnya, Dareena, walau di waktu yang sama ia berusaha menyembunyikan satu kebenaran yang lain," bisik Diana lirih. Oh, lihatlah, bahkan Diana juga merasakan sensasi hangat yang mengalir di darahnya.

Dareena mencerna baik-baik perkataan Diana. Dalam hati melengos, kenapa orang lebih suka berbicara dengan mengulur kata dan waktu? Bertele-tele tanpa mengatakan hal yang jelas dan lugas. Jika begitu, Dareena akan sulit menyimpulkan.

"Kebenaran lain yang disembunyikannya apa?" Akhirnya gadis itu menyerah, tidak mau berlama-lama larut dalam asumsi yang tidak nyata.

"Dia peduli padamu, tentu saja. Dan mungkin ... menyukaimu?"

Dareena menggeleng kuat-kuat.

"Dia tidak berkata begitu. Dia malah menghindariku. Padahal aku sempat merasa dicintai olehnya sebelum dia menghindariku. Jika akhirnya ia malah pergi, untuk apa berkata-kata seperti itu?"

"Sebelum dia menghindarimu, memangnya dia berkata apa?" Diana menaikkan sebelah alis, Dareena mengatur napas.

"S-setelah aku bersyahadat ... dia berkata, 'Lantas, untuk membalasmu, pada siapa aku harus meminta restu?'"

Diana tergelak sambil memegangi perut, sedangkan Dareena wajahnya sudah memerah bak kepiting rebus.

"Lalu kau jawab apa?"

"Guru berpedangku, Lazaro."

"Dan benar, setelah tiba dari mengantarmu ke sini, Fayyad langsung bertolak ke Al-Khadhra. Kupikir hanya untuk memantau sistem pemerintahan di sana, tapi kata Said, kondisi Al-Khadhra malah lebih baik dari sebelumnya dalam segala aspek."

"Jadi ... maksudnya ...."

"Iya, dia akan berusaha meminta restu dari orang yang kausebut sebagai guru berpedangmu itu."

Dareena merasakan tubuhnya seperti berada di awang-awang. Kakinya seakan tak menapak, jantungnya seperti hendak menembus rusuk. Bolehkah ia merasa tersanjung dan bahagia?

"Lalu, kurasa aku tahu mengapa ia menghindarimu."

"Kenapa?"

"Ia menjaga pandangannya, Dareena. Bahkan sejak awal, ia sudah begitu disiplin menjaga pandangannya darimu, bukan? Ia menjaga perasaannya dan kehormatanmu. Lebih dari itu ... rambutmu, bukankah mulai harus ditutup? Fayyad tidak akan mau melihat apa yang seharusnya tidak dilihatnya."

Ah, benar juga.

"Tapi jika kau belum siap, tidak apa. Aku tidak akan memaksamu."

"Hukumnya wajib?"

"Iya."

"Kalau begitu tidak perlu menunggu. Aku siap. Ajari aku cara memakainya."

Diana mengangguk, tentu saja.

"Dan ... salat. Ajari aku cara rukuk, sujud, khusyuk, dan menyapa Tuhanku dengan tenang."

🗡⚔🗡

Hahaiii udah mau deket ending oii 🙈🙈
Bantu pantau typo, ya! 😘
Makasii

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro