Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

45. Pulang

.
.
.

".... Aku bertanya-tanya bagaimana rupa malaikat, dan Tuhan mengenalkanmu padaku. Semoga Tuhan selalu menjagamu dan mempertemukanmu dengan orang-orang baik."

(Dareena)
.
.
.

🗡🗡

Dareena mengayunkan langkahnya dengan ringan, seakan beban yang selama ini bersarang di bahunya telah pergi. Sambil berjalan, kadang dua sudut bibirnya tertarik menjadi senyuman. Tak dipedulikan pandangan aneh orang-orang pada sang gadis yang cengar-cengir berjalan seorang diri. Dareena sendiri juga bingung dengan sosoknya yang sekarang.

Setelah membimbing Dareena mengucap dua kalimat syahadat, Fayyad jadi lebih pendiam. Dareena menduga demikian setelah dirinya menyatakan rasa cinta secara tak langsung pada lelaki itu. Namun, sang gadis malah tidak merasa menyesal. Sangat bertolak belakang dengan sifat gengsi bawaan lahir.

Bukan hanya itu yang membuatnya kerap kali tak bisa menahan senyum, melainkan ucapan terakhir Fayyad yang sederhana tapi mampu melambungkannya tinggi-tinggi.

Mungkin benar, dirinya sudah gila.

"Apa menikmati pagi membuatmu begitu bahagia sampai harus senyum-senyum sendiri?" tegur Nelida yang sedang menyapu rumah. Dareena langsung mengulum bibir, mengubah ekspresinya menjadi datar kembali.

"Kau duduk saja, biarkan aku yang mengerjakannya." Dareena mengambil alih gagang sapu dari tangan Nelida, walau dibalas sikutan oleh tuan rumah.

"Mana bisa begitu. Aku tidak bisa duduk diam saja, badanku akan terasa pegal seperti saat di dalam sel bawah tanah." Nelida bersungut-sungut. Dirinya memang tengah mengandung, tapi ia sama sekali tidak keberatan melakukan pekerjaan rumah.

Dareena mengalah. Karena tidak tahu harus apa, ia memutuskan untuk menonton kegiatan menyapu Nelida hingga tuntas. Pakaian sudah selesai dicuci dan dijemur, sarapan telah selesai, dan rumah sudah bersih. Jiwa wanita tulen Nelida memang patut diacungi jempol karena dapat melakukan semua itu dalam waktu singkat.

Nelida menggandeng tangan Dareena untuk berlalu menuju dapur lantas duduk berhadapan untuk menyantap sarapan. Alih-alih seperti Nelida yang terlihat lahap, Dareena malah tidak sedikit pun berselera makan.

"Nelida, aku sudah menemukan Tuhan."

"Di mana?"

"Di islam."

Nelida menggapai-gapai gelas lalu menenggaknya buru-buru demi menghilangkan ganjalan makanan yang tidak sengaja ditelan sebelum selesai dikunyah. Niat hati bercanda dengan pertanyaannya, Dareena malah membalas dengan perkataan di luar dugaan.

Dareena bangkit, mengusap punggung Nelida yang berguncang hebat karena terbatuk akibat tersedak.

"Kau sungguh-sungguh?"

"Kau tahu aku tidak senang bercanda," jawab Dareena datar.

"Kapan?"

"Tadi."

"Siapa yang membimbingmu?"

Dareena menarik napas dalam-dalam, namun gagal. Senyumnya malah terbit sebelum ia menghela napas. Dareena cepat-cepat menormalkan detak jantung, kembali ke wajahnya yang bak boneka porselen. Datar. Nelida mengerling sekaligus menaikturunkan alis, menggoda sang gadis.

"Siapa, hm? Ayo jawab, jangan senyum-senyum begitu. Mencurigakan."

Dareena mengerucutkan bibirnya, mendengkus melihat Nelida yang gencar menggoda. Apa wanita itu tidak tahu, tanpa digoda sekalipun, hatinya sudah lompat-lompat dan berteriak riang?

"Fayyad."

Jawaban tersebut sukses membuat netra kebiruan Nelida membelalak.

"Dia ada di sini? Heh, mengapa kau tidak cerita? Yang mana orangnya?"

"D-dia ... yang menolongku saat aku nyaris dibakar, menyamar menjadi tentara Perancis. Dia ... dia yang setiap hari datang ke sini untuk bertanya keadaanku."

Dahi Nelida berkedut, matanya memicing lalu beberapa saat kemudian raut wajahnya berubah antusias. Melihat Dareena yang tertunduk sembari memainkan jemarinya, Nelida tersenyum jenaka. Ia tidak mengira akan mendapatkan pemandangan seperti ini dari sosok Dareena yang sisi kewanitaannya jauh tersembunyi di pasak bumi.

Didesak oleh jiwa penasaran Nelida, akhirnya Dareena bercerita tentang pengalaman pagi tadi. Reaspons Nelida tidak jauh-jauh dari rasa kagum, sesekali mengedipkan mata mencoba membuat Dareena mesem-mesem. Sampai pada satu kalimat Fayyad yang terakhir, Nelida berseru heboh, lalu belingsatan sendiri di kursinya. Melihat reaksi temannya, sang gadis malah semakin menunduk, menyembunyikan wajahnya dalam-dalam.

"Ada yang bodoh di sini."

"Eh? Siapa?"

"Kau." Nelida tergelak setelah melihat reaksi Dareena yang melongo.

"Gila," cibir Dareena.

"Itu juga kau."

"Apa?"

"Iya, itu kau. Bodoh juga gila." Nelida masih betah dengan senyuman jenaka, menggoda Dareena yang entah sejak kapan pipinya bersemu merah jambu. "Tapi itu normal. Bolehkah aku mengucapkan selamat?"

Alis Dareena bertaut. "Selamat atas apa?"

"Kau sudah menjadi gadis yang sesungguhnya." Setelah mengucapkan itu, Nelida kembali tertawa.

"Gadis sesungguhnya? Apakah gadis yang sesungguhnya itu bodoh dan gila?"

"Kadang-kadang begitu. Kau normal."

Dareena menyentil dahi Nelida. Memang dipikirnya Dareena tidak bisa menyukai seseorang?

"Dan aku ingin mengatakan sesuatu."

"Apa itu?"

"Besok ... aku akan pulang."

Suasana yang penuh gelak kini terganti menjadi hening tanpa suara. Bulir bening menggenang di pelupuk mata Nelida, jika ia mengerjap, maka mengalir sudah.

"Secepat itu? Tidak bisakah kau tinggal sebentar lagi? Dua hari lagi? Fayyad boleh tinggal di sini, ada satu kamar kosong. Atau bisa tinggal di rumah salah satu kenalan ayahku, kakek itu hidup sendirian. Atau---"

Dareena menggeleng. "Cepat atau lambat, kita tetap akan berpisah, Nelida," potong Dareena sebelum Nelida kembali membuat hatinya goyah.

Tidak dapat dimungkiri, gadis itu juga tidak ingin cepat-cepat meninggalkan seseorang yang bahkan tak ragu mengorbankan diri walau tidak memiliki ikatan apa pun. Namun, Dareena juga cukup tahu diri untuk tidak meminta Fayyad tinggal lebih lama setelah mengetahui bahwa selama lelaki itu ia hanya tidur beratap langit. Ya, penduduk terlalu cemas walau sekadar untuk menerima tamu.

"Terima kasih sudah mengajarkanku banyak hal. Kau sungguh wanita yang luar biasa. Aku bertanya-tanya bagaimana rupa malaikat, dan Tuhan mengenalkanmu padaku. Semoga Tuhan selalu menjagamu dan mempertemukanmu dengan orang-orang baik."

Nelida memeluk erat Dareena. Begitu erat hingga rasanya gadis itu sedikit kesulitan menggapai oksigen, tapi terlalu berat baginya untuk melepaskan dekapan hangat itu. Nelida sesenggukan di sana, membuat air mata Dareena mau tidak mau menetes juga.

"Jaga dirimu baik-baik. Ah, aku sungguh tidak ingin mengkhawatirkanmu karena kau bahkan lebih kuat dariku. Tapi, tetap jaga dirimu, jangan sampai---"

"Jangan khawatir, Nelida. Aku sudah menemukan tempat pulang."

🗡🗡

Di sinilah Dareena sekarang. Di depan pintu rumah sederhana yang mengajarinya banyak cara untuk melenyapkan dendam dan memupuk keikhlasan. Fayyad lebih dulu masuk tanpa sedikit pun melirik Dareena, membuat gadis itu mendengkus kesal.

Tentang Fayyad, sejak kalimat sakral terakhir yang dikatakannya, lelaki itu seperti menghindari setiap pertemuan dengan Dareena. Bahkan ketika masih berada di atas kapal, lelaki itu rela mengambil jalan memutar agar tidak berpapasan dengan sang gadis. Jika tidak sengaja bertemu, lelaki itu irit bicara. Jika ditanya, ia cenderung menjawab singkat seakan ia harus membayar setiap kata yang dikeluarkan dari mulutnya.

Hal itu tentu saja membuat Dareena kesal setengah mati dan akhirnya memutuskan untuk bersikap serupa.

Dareena menapakkan kaki menginjak ubin. Betapa ia merindukan tiap momen yang pernah terjadi di sini, termasuk ketika dirinya masih keras kepala hendak membalas dendam. Dareena menarik napas dalam-dalam, menghirup aroma parfum khas Fayyad yang mendominasi seisi rumah.

"Selamat datang!"

Sambutan pertama itu datang dari Diana yang menubruknya tiba-tiba.

"Aku sungguh merindukanmu! Pikiranku tidak enak karena Fayyad tidak kunjung pulang. Ternyata kali ini dia pulang sekaligus membawamu. Kau baik-baik saja? Kau terlihat lebih kurus dua kali lipat," ujar Diana panjang lebar setelah mengamati tubuh Dareena dari atas hingga bawah dan mengulangi tindakan tersebut sampai tiga kali.

"Aku baik, Diana. Terima kasih sudah mencemaskanku," balas Dareena tenang. Diana melongo.

"Kau mengatakan apa tadi?"

"Terima kasih sudah mencemaskanku."

"Kau masih sehat? Apa saat di perjalanan pulang kau mabuk laut?"

Dareena terkekeh lantas menggeleng. Apa dulu dirinya sedingin itu hingga saat mengucapkan ungkapan terima kasih pun bisa membuat Diana terkejut?

"Kau tidak menjaganya dengan baik, ya, Kak?" Tatapan Diana beralih pada Fayyad yang baru saja duduk dan berbincang bersama Said.

"Aku menjaganya dengan baik."

"Sepertinya tidak begitu," bantah Diana.

"Dia menjagaku dengan sangat, sangat, sangat baik, Diana. Tidak perlu cemas seperti itu."

Lagi-lagi, Diana melongo.

"Ah, aku tidak mengerti apa yang terjadi padamu, tapi kuucapkan selamat datang. Kau bisa menjadikan rumah ini tempatmu pulang."

Dareena mengangguk, memasang senyum terindahnya. Gadis itu melepas alas kakinya, melangkah ke dalam rumah yang dirindukan.

"Assalamualaikum."

Kali ini, Said yang berada tak jauh dari mereka pun terdiam mendengar salam dari Dareena.

"Eh?"

"Salam itu wajib dijawab, bukan?"

🗡⚔🗡

Pas mau pisah sama Alfredo, ngga rela.
Pas mau pisah sama Javiero, ngga rela.
Pas mau pisah sama Eneas, ngga rela.
Pas mau pisah sama Diana, ngga rela. Pas mau pisah sama Fayyad, ngga rela.
Pas mau pisah sama Nelida juga ngga rela.

Kelakuan siapa?
Ya akulah ಥ⌣ಥ
Atau kelakuan kita? Eheqq

Bantu koreksi typo, ya! Kritik dan saran? Terobos ajala ya.

Jejaknya dong, biar terdeteksi sama Yoru 😗

Siap untuk bab-bab terakhir?







Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro