Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

44. Hangat

.
.
.

"Aku telah jatuh cinta pada Allah-mu. Allah yang menurunkan bait-bait ayat yang membuatku terlena saat mendengarnya. Pada Allah yang benar-benar mendengar doaku. Pada Allah yang rahman, pada Allah yang qadir. Pada-Nya yang segala hal berada dalam pengawasan-Nya. Pada Allah yang mengatur segala pertemuan dan perpisahan ...."

(Dareena)

.
.
.

🗡🗡

Dareena lagi-lagi terbangun saat matahari belum muncul. Sunyi, hanya terdengar kicauan para burung. Bosan di dalam rumah, Dareena berpikir untuk keluar dan menikmati udara segar.

Gadis itu berdiri tegak menatap langit yang masih menyisakan bintang, menghirup udara dalam hingga memenuhi rongga paru-paru, lantas mengembuskannya perlahan. Sudah sejak kapan dirinya hidup dalam ingar-bingar perdebatan batin hingga lupa menikmati alam yang disediakan semesta untuk sejenak menjadi tempat pelepas penat.

Sebentar mengagumi ciptaan Tuhan, membiarkan dirinya terlena sebagai pusat perhatian para burung gereja yang ada di sekitarnya. Menenggelamkan diri dalam suasana tenang, membiarkan angin lembut sisa semalam memainkan anak rambutnya.

Ah, iya. Rambut. Sudah bertambah panjang seiring perjalanannya, menjadi saksi duka dan gegap gempita hidupnya. Sudah melebihi punggung, namun keindahannya tidak berkurang.

"Dareena!" Aksi menikmati fajar terhenti ketika Nelida memanggilnya dari balik teralis jendela yang terbuka.

"Ada apa? Kau butuh sesuatu?"

"Tidak, hanya memastikan bahwa yang sedang berdiri itu adalah kau. Kau jarang sekali mau keluar rumah jika tidak ada keperluan, apalagi sepagi ini. Sesekali nikmatilah karunia Tuhan, jangan disia-siakan."

Dareena tersenyum canggung.

"Aku akan ke belakang sebentar."

"Untuk apa?"

"Menyaring air. Kemarin saat kuperiksa, saringannya tersumbat. Sekalian mengangkut beberapa ember untuk persediaan di rumah."

"Ah, biar aku saja."

"Hei, tidak apa-apa, aku sudah biasa melakukannya," bantah Nelida.

"Aku saja. Kau tunggulah di dalam. Aku tidak akan lama. Kau tidak boleh lelah," kelakar Dareena yang langsung mengambil langkah sebelum Nelida protes lebih jauh.

Beberapa meter di belakang rumah Nelida memang terdapat sumur dan segala perlengkapan menimba air. Dareena memulai penyaringan dengan cekatan, ia mempelajarinya dari melihat Nelida melakukan hal yang sama. Kemudian dengan tangkas ia menimba air untuk dua ember.

Saat jalan pulang, matanya memicing menangkap sebuah benda tak asing bersarang di sebelah kiri pinggul seorang lelaki yang tengah berbicara pada Nelida di bingkai pintu. Ini masih pagi, siapa yang datang berkunjung? Jaraknya dengan rumah dengan menenteng beban di kedua tangan membuat Dareena tidak bisa memacu langkahnya lebih cepat.

Dareena buru-buru meletakkan dua ember itu di depan pintu, tanpa pamit langsung pergi. Meninggalkan Nelida yang tak sempat bertanya.

Dareena memacu langkahnya untuk semakin cepat berjalan. Melempar pandangan ke sana ke sini, sayangnya orang yang dicari tidak tertangkap atensinya. Dareena melengos, kehilangan jejak sungguh membuatnya kesal setengah mati.

Langit sudah mulai berwarna kekuningan. Pintu-pintu rumah sebagian sudah terbuka menampilkan beberapa lelaki tua yang berjalan santai menikmati fajar. Daripada kembali ke rumah Nelida, Dareena memutuskan untuk berjalan, ikut menikmati pagi.

Tidak tahu harus ke mana, sebab El Tia hanya pernah membawanya berjalan untuk melihat-lihat tak jauh dari kawasan gereja. Kurungan sempit berisi bangkai manusia di atas atap-atap rumah sudah diturunkan. Wajah-wajah semringah mulai tampak semakin berseri. Kegelapan telah usai.

Langkah Dareena membawanya berjalan tak tentu arah, tahu-tahu sudah tiba di sebuah danau. Cahaya mentari memantul di sana, membuat air yang dingin itu terlihat seperti dibungkus kehangatan. Namun, bukan hal itu yang menjadi fokus Dareena.

Beberapa meter dari tempatnya berdiri, seseorang juga tengah berdiri syahdu menghadap danau, dengan kuda hitam yang dibiarkan merumput tak jauh darinya. Benda yang begitu dihafal bentuk dan warnanya, tersemat di pinggang sebelah kiri lelaki tersebut. Dareena memicing, melihat lebih jelas. Sama seperti sosok yang mengunjungi rumah Nelida tadi pagi.

Gadis itu mengatur napas, perutnya terasa bergejolak entah karena apa. Ia berjalan dengan langkah kecil-kecil, berharap tidak mengganggu lamunan sosok itu. Semakin dekat, napas Dareena semakin tertahan.

Ketika lelaki tersebut membalikkan badan tiba-tiba, resmi sudah air mata Dareena terjun dari tempatnya.

Atensi tajam bak elang yang hendak memangsa itu tampak kaget, tapi kemudian berubah sendu.

"F-Fayyad ...."

Fayyad berdeham, memalingkan wajahnya ke arah danau. Sedangkan Dareena, betapa ia ingin melonjak kegirangan.

Betapa air matanya tak tanggung-tanggung meluncur.

Betapa hatinya sejuk melihat kenyataan bahwa orang yang selama ini diharapkan kehadirannya sudah ada di hadapan.

Betapa ingin rasanya merengkuh tubuh tegap milik seseorang yang entah sejak kapan menyita hatinya.

Tangis itu, menggantikan tangis-tangisnya di ujung harapan. Ribuan kupu-kupu tak kasat mata terasa mengelilingi perutnya secara berjamaah. Cepat-cepat disekanya sebelum Fayyad menyadari hal itu.

"Bagaimana keadaanmu?" tanya Fayyad sambil sedikit menggaruk pangkal hidungnya.

Suara itu, adalah suara yang pernah begitu dibenci lantaran mengucap lantang kalimat sakral ketika peperangan hingga membuat para prajurit kicep. Saat ini, suara itu pula yang paling hangat singgah di telinganya.

Bibir Dareena seakan terkunci. Ia benci dirinya sendiri yang terlihat bodoh kali ini, tapi apa yang bisa dikata? Bahkan seluruh sendinya terasa mendadak ngilu. Efek apa ini?

Kicau burung menjadi latar suara dari keheningan dua insan yang sama-sama bingung hendak berucap apa. Jarak antara mereka hanya tiga meter, tapi rindu itu sudah terbayar tuntas. Dareena butuh waktu untuk menormalkan perilakunya, menghela napas berkali-kali, juga menenggak saliva berulang-ulang. Setelah merasa cukup, gadis itu memangkas jarak, hingga tersisa satu meter ruang kosong di antara keduanya.

"Kenapa kau di sini?"

"Aku telah berjanji pada Diana untuk menjagamu, jika kau lupa."

Dareena melengos. Setelah sekian hari berpisah, kini gadis itu mengakui bahwa ia menginginkan jawaban lain dari Fayyad. Semisal pernyataan rindu, atau ungkapan kekhawatiran. Namun, Fayyad tetap tidak berubah.

"Menjagaku dari apa? Tanggung jawabmu sudah lepas sejak aku tiba di sini. Aku bisa menjaga diriku sendiri," balas Dareena, ikut-ikut melempar pandangan pada danau dengan riak tenang.

"Bagaimana bisa kau berkata seperti itu saat kulihat sedikit lagi kau akan mati dibakar oleh orang-orang itu?! Bahkan keadaanmu terlihat begitu kritis!"

Dareena terkesiap saat mendengar kalimat itu terlontar dengan intonasi tinggi yang mengandung emosi dari Fayyad. Rahangnya beradu, tangannya mengepal, namun sesaat kemudian setelah berhasil mengatur napas, kepalan jemarinya kembali mengendur. Ia memejamkan mata.

"Mengapa kau begitu marah? Aku bisa balas membentakmu---"

"Kau hampir celaka, Dareena. Kau nyaris mati. Kau pingsan nyaris seminggu pasca pembubaran inkuisisi. Kau tidak bisa menjaga dirimu sendiri, bagaimana aku tidak marah?" Kali ini nada suara Fayyad terdengar lebih tenang, walau laki-laki itu masih enggan memandang sang gadis.

Dareena menelan ludah susah payah.

"Bagaimana jika para tentara itu tidak datang tepat waktu? Bagaimana jika aku kesulitan menyelinap di antara mereka? Bagaimana jika kudaku tidak sempat menendang mereka yang memegang obor? Bagaimana jika aku terlambat menyelamatkanmu?"

Itu kalimat cemas terpanjang dari Fayyad. Dareena menunduk. Ternyata benar, memang Fayyad yang menyelamatkannya. Ketika barisan belakang dari kerumunan masih rusuh, lelaki itu lekas menyelinap untuk membantu gadis bersurai cokelat itu.

Fayyad yang setiap sehari sekali memastikan keadaannya di rumah Nelida.

Darah sang gadis berdesir hangat, membuat jantungnya terasa dipompa buru-buru.

"Jadi dari awal, kau tidak pergi dari Granada?"

"Aku sudah berada di kapal selama dua malam sebelum ...."

"Sebelum?"

"Sebelum aku bermimpi kau terjatuh ke jurang. P-perasaanku jadi tidak enak ... makanya aku kembali, menumpang kapal lain yang kebetulan berlayar menuju Selat Gibraltar." Fayyad membalikkan tubuh ketika selesai mengucapkan kalimat tersebut.

Dareena melipat bibirnya ke dalam, menahannya kuat-kuat agar tidak tersenyum berlebihan seperti manusia yang tengah kasmaran. Fayyad mendengar jeritan hatinya, untuk itu ia kembali.

"Tapi itu karena aku mengingat amanah Diana untuk melindungimu," sambung Fayyad, seketika membuat rasa senang Dareena seperti dihempas menuju pasak bumi. Namun, gadis itu berujar maklum dalam hati.

Entah bagaimana Tuhan menautkan kedua hati yang saling bertolak belakang itu, tiada yang tahu. Kuasa-Nya melebihi kekuatan neuron di otak manusia untuk merasionalkannya.

"Terima kasih."

Kali ini, Dareena mengucapkannya dengan sangat tulus. Bahkan tanpa disadari siapa pun, keduanya menitikkan air mata, disorot cahaya lembut mentari yang semakin meninggi. Dareena dengan kebahagiaannya, Fayyad dengan kelegaannya. Dua hati itu mengucap syukur pada pemilik yang membuatnya tertaut.

Cahaya. Gadis itu telah menemukannya. Bahkan sejak awal Allah telah menuntun untuk lebih dekat dengan surga. Segala hal yang terjadi, sudah ada yang mengatur dengan skenario paling indah.

Berawal dendam, sampai tumbuh kuat menjadi wanita tangguh. Mencecap berbagi pengkhianatan, kedangkalan berpikir, hukuman dari tangan-tangan kotor, sebenar-benar pengorbanan, keluarga, cinta, dan kasih sayang.

"Jika aku percaya pada Tuhan yang satu, dan Muhammad Sang Penghibur yang diutus setelah Yesus untuk menyampaikan kebenaran, apakah aku bisa menjadi seseorang yang memeluk Islam?"

Fayyad membalikkan badan cepat-cepat, atensinya menatap dalam netra abu-abu milik Dareena, mencari kebohongan di sana. Sadar dirinya terlihat aneh, cepat-cepat dipalingkan lagi wajahnya.

"Perkara agama tidak bisa dijadikan mainan."

"Aku tidak sedang bermain-main."

Matahari mulai menyengat kulit, dan Fayyad diam terpaku beberapa saat.

"Kau sudah memikirkannya betul-betul?"

"Ya."

"Aku belum bisa mempercayai ini, maksudku---"

"Bahkan Fir'aun yang menganggap dirinya tuhan saja mengakui Tuhannya Musa di akhir hayatnya, mengapa tidak denganku?"

Dareena menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan.

"Aku telah jatuh cinta pada Allah-mu. Allah yang menurunkan bait-bait ayat yang membuatku terlena saat mendengarnya. Pada Allah yang benar-benar mendengar doaku. Pada Allah yang Rahman, pada Allah yang Qadir. Pada-Nya yang segala hal berada dalam pengawasan-Nya. Pada Allah yang mengatur segala pertemuan dan perpisahan.

"Dan untuk mencintaimu dengan pantas, bukankah Islam harus menjadi syarat utamanya?"

Fayyad melongo. Setelah hatinya beku selama bertahun-tahun dari cinta, kini terasa hangat. Sebuah senyum yang sangat tipis tercetak di wajah dengan rahang tegas itu.

🗡⚔🗡

Shipper Fayyad-Dareena apakah sudah hadir? Kapal kalian mendarat dengan selamat, alhamdulillah.

Tetap pantau typo dan antek-anteknya, ya. Jangan biarkan mereka merusak momen-momen ini.

Terima kazi 💐💐

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro