42. Dekat
.
.
.
"Senyumlah, Nak. Rasa sakitmu akan berakhir, cahayamu akan datang. Tepatilah janjimu. Janji pada Tuhan untuk menjemput kebenaran. Jadilah anakku yang kuat tanpa harus egois, yang kaya tanpa harus merampas hak orang lain, yang bersih hatinya daripada sifat dendam, yang cantik wajahnya tanpa harus memendam kemarahan. Jadilah cahaya."
(Alfredo)
.
.
.
🗡🗡
Setidaknya, begitulah pikir Dareena. Sesaat setelah menutup mata, seorang prajurit membebaskannya dari tiang gantungan yang sudah dipenuhi kayu bakar di bagian bawahnya. Tubuh gadis itu terkulai lemah, sama sekali tidak memiliki sisa tenaga walau untuk sekadar membuka mata.
🗡🗡
"Bangunlah, Nak. Hadapi hidupmu lebih keras lagi. Saatnya kau menjadi cahaya."
"Bagaimana dengan Ayah? Jav, Eneas? Ibu?"
"Putriku, ketetapan Tuhan itu mutlak, Nak. Jangan hiraukan kami, karena urusanmu di dunia dan urusan kami di alam baka ini berbeda."
"Ayah ... aku lelah. Aku bingung, aku tidak mengerti."
Wajah teduh Alfredo memancatkan senyum kecil. "Ayah tahu kau sungguh perempuan yang tangguh. Kau akan mendapatkan jawabannya. Jadi, bertahanlah sedikit lagi, Nak "
"A-aku ... aku sungguh menyayangimu. Aku ... aku ingin ikut ke mana pun ayah pergi. Sungguh."
Dareena terisak.
Alfredo memangkas jarak, mendekat pada putrinya, lantas mendekap sang anak yang mulai menumpahkan segala yang dirasa. Dareena, meski tahu bahwa yang dialaminya sekarang hanyalah mimpi, balas memeluk sangat erat. Entah sudah berapa lama ia kehilangan rasa hangat yang didapat dari pelukan sang ayah.
Alfredo menepuk-nepuk pelan punggung Dareena yang menangis lepas sampai terdengar sulit bernapas.
"Ah, pasti terlalu banyak hal yang kauhadapi seorang diri belakangan ini. Kau adalah putriku yang paling kuat. Lihatlah, betapa hebatnya putriku yang jelita ini hingga mampu bertahan sampai saat ini. Kau boleh menangis bersamaku selama yang kau ingin, untuk terakhir kali."
Dareena terdiam.
"Apa maksudnya terakhir kali?" Dareena mengurai pelukan.
"Tugasku telah selesai, Nak. Aku tahu kelak aku tidak akan berakhir di surga, tapi setidaknya aku adalah ayahmu. Aku tidak ingin kau tersesat. Itulah mengapa aku sering mendatangimu dalam mimpi."
"Ayah .... Kalau begitu, aku ... ingin ikut. Sungguh. Bersama kalian pasti akan lebih baik. Aku lelah, Ayah. Aku lelah ditinggal seroang diri. Aku ingin ikut, ke mana pun tidak apa. Jangan meninggalkanku seperti ini. Bagaimana aku hidup tanpa kalian?" rengek Dareena, kali ini memang terdengar seperti anak kecil. Sisi lain dari dirinya yang selama tujuh tahun terakhir ditahan, kini keluar. Sebutir air mata kembali lolos, disusul rintik lainnya.
Dareena merasakan telapak tangan kasar milik Alfredo mengusap pipinya.
"Kau berhak bahagia dengan cahayamu, Nak. Ah, seandainya aku hidup berdampingan dengan lelaki bernama Fayyad dan keluarganya, aku tidak keberatan memeluk kepercayaan mereka. Itu adalah kebenaran. Aku yakin kau tahu itu."
Dareena mengagguk patah-patah.
Alfredo tersenyum hangat.
"Senyumlah, Nak. Rasa sakitmu akan berakhir, cahayamu akan datang. Tepatilah janjimu. Janji pada Tuhan untuk menjemput kebenaran. Jadilah anakku yang kuat tanpa harus egois, yang kaya tanpa harus merampas hak orang lain, yang bersih hatinya daripada sifat dendam, yang cantik wajahnya tanpa harus memendam kemarahan. Jadilah cahaya."
Dareena memeluk lagi, lebih erat dari yang sebelumnya, hingga perlahan wujud Alfredo menghilang dalam dekapannya. Pergi dan tidak lagi kembali, walau dalam mimpi sekalipun.
🗡🗡
Dareena mengerjap setelah disapa Alfredo dalam mimpinya. Ia memaksakan diri untuk duduk dari posisi berbaringnya, merasakan tulang belakang sedikit kaku-mungkin efek dari pemenjaraan hingga tidak pernah benar posisi tidurnya. Gadis itu mengedarkan pandangan, mengerjapkan mata ketika atensinya menerima cahaya yang masuk. Kamar sederhana dengan ornamen khas peninggalan Dinasti Abbasiyah ditangkap penglihatannya.
Aku berada di mana?
Begitulah pertanyaan yang dilontarkan batinnya. Pakaian kumuh yang tempo hari melekat di badannya kini telah terganti dengan setelan yang lebih bersih walau sangat sederhana.
Dareena memandang telapak tangannya, terasa begitu nyata saat ia mengira bahwa dirinya akan mati di tiang gantung dan dibakar.
Mungkin sudah saatnya ia menanggalkan segala ego dan gengsi. Alfredo benar, ia harus mulai mencari cahaya dan menepati janjinya pada diri sendiri dan Tuhan. Dareena mengapus setitik air di sudut matanya yang entah kapan keluar.
Kepalanya masih pusing, sesekali pandangannya menghitam. Namun, Dareena memaksakan diri untuk bangkit, berderap ke pintu, keluar dari kamar.
"Dareena!"
Dareena belum sempat bersiap ketika dirinya tiba-tiba ditubruk oleh seseroang, hingga kakinya oleng dan nyaris jatuh kalau tidak ditahan.
"Ya ampun, kau pingsan begitu lama sampai aku lelah menunggu! Aku sangat merindukanmu!"
Baru Dareena sadari, suara ceria itu berasal dari Nelida, orang yang tadi memeluknya.
"Kau selamat?"
Nelida mengangguk cepat. "Mereka belum sempat menghukumku saat tentara Perancis itu mencegah dan membubarkan inkuisisi."
Dareena butuh waktu beberapa detik untuk memproses ujaran Nelida.
"Tentara Perancis? Membubarkan inkuisisi, katamu? Apa yang terjadi?"
"Sebentar, mari ke ruang makan. Kau harus memberi nutrisi untuk dirimu sendiri. Kau juga pingsan lumayan lama, mustahil kau tidak lapar."
Ah, jika boleh jujur, Dareena sudah kelaparan sejak hari keempat dirinya dalam kurungan. Hanya saja, batinnya sudah cukup kenyang melihat kondisi sekeliling. Nelida menarik pergelangan tangan Dareena, membawanya pada ruang makan, membawanya duduk di hadapan meja berbentuk persegi.
Nelida mengisi piring Dareena dengan daging dan sayuran, lantas menyodorkannya. "Nah, ayo, makanlah. Aku akan menemanimu sambil bercerita."
Dareena mengangguk, mulai menyendok makanannya.
"Ternyata, tentara Perancis itu sudah memerintahkan Spanyol untuk menghentikan inkuisisi, tapi setelah diberi waktu beberapa tahun, malah tidak ada perubahan. Sehari atau dua hari-aku tidak mendengar terlalu jelas-sebelum Granada dikepung, Madrid telah lebih dulu diserang. Ya, mereka membunuh beberapa pembesar gereja dan terpaksa mengorbankan beberapa rakyat sebab tidak mau menyerah secara baik-baik."
"Lalu, siapa yang menyelamatkanku?"
"Salah satu dari mereka, tentu saja. Para tahanan di penjara bawah tanah juga diselamatkan semua. Jika tahu begini, lebih baik mereka melakukan invansi sejak awal saja," celetuk Nelida.
"Apa mereka semua terbunuh? Maksudku, uskup, pendeta, biarawati?"
"Mungkin. Tidak ada yang tahu, dan tidak ada yang mau peduli."
Ah, benar. Untuk apa Dareena peduli akan El Tio dan El Tia-nya?
Hening beberapa menit. Hanya denting sendok yang beradu terdengar. Dareena menandaskan piringnya, meneguk air mineral kemudian.
"Tuhan itu dekat, ya?"
Atensi Dareena teralih pada Nelida yang menerawang pada atap rumah.
"Saat aku pikir hidupku akan berakhir, Tuhan mengirimkan mereka untuk menjawab doaku."
Hal yang dicetuskan Nelida, dirasakan juga oleh Dareena. Setelah pergulatan lahir batin, Tuhan membuktikan dirinya ada, begitu dekat, lebih dari urat nadi. Saat ia sudah pasrah, berserah diri pada keadaan, bantuan datang. Saat ia mengira akan mati terhina, Tuhan memberinya kesempatan hidup. Tiba-tiba gadis itu mengingat sumpahnya.
"Nelida," panggil Dareena lirih.
"Ya?"
"Apa di sini ... masih ada penduduk Muslim?"
"Kalau soal itu, aku tidak tahu. Inkuisisi ini telah berjalan lebih dari lima abad, kurasa itu sudah cukup untuk membuat para Muslim yang masih tinggal di sini hilang."
Jawaban Nelida begitu masuk akal.
"Tapi jika kau ingin mencari, aku akan membantumu."
Dareena berpikir sebentar, tapi langsung menggeleng. Nelida mengernyit.
"Memangnya, kau ingin melakukan apa jika bertemu Muslim?"
"Hanya ingin ... mengakui kebenaran," jawab Dareena pendek.
"Kebenaran apa?"
"Ah, tidak. Tidak perlu dipikirkan."
"Kau membuatku ingin berpikir," kelakar Nelida. "Yah, tapi jika kau tidak ingin membahasnya, tidak apa-apa," sambungnya dengan memberi sebuah senyuman tulus. Dareena memandang Nelida lekat-lekat.
Mengapa Dareena buta selama ini? Tuhan memberinya kemudahan di setiap langkahnya.
Dalam peperangan, ada yang membantunya lolos dari maut.
Saat dirinya sakit dan tanpa daya, ada orang asing-bahkan musuh yang menjadi keluarganya, tidak pernah menghakimi, mengajarkan kebenaran, keikhlasan, ketulusan, prinsip, dan kesederhanaan.
Saat dirinya ditangkap, ia mengira dunianya telah gelap. Namun, Tuhan mengirimkan Nelida sebagai satu titik cahaya. Orang asing yang memberikan harapan, pengorbanan, dan kasih layaknya saudara.
Saat dirinya berpikir lembar kehidupannya sudah habis, Tuhan lagi-lagi mengirimkan kekuasaan-Nya.
Kehidupannya dengan mudah dibalik.
Dareena diberikan ujian yang cukup rumit, hingga rasanya ia lebih baik mengakhiri hidupnya sendiri dan tidak memercayai adanya Sang Pengatur alam semesta. Namun, Tuhan memang selalu dekat, mendengar doanya siang dan malam, mengasihi tanpa batas.
Suara ketukan pintu terdengar tiga kali. Nelida bangkit untuk membukakan pintu, menyuruh Dareena untuk tetap diam di tempatnya. Dua menit kemudian, Nelida kembali.
"Ada apa?"
"Orang yang menyelamatkanmu tadi datang untuk menanyakan keadaanmu." Nelida kembali duduk di kursinya.
Kening Dareena mengernyit, membuat ujung alisnya hampir menyatu. "Apa semua prajurit Perancis harus memastikan keadaan korban inkuisisi seperti kita?"
Nelida mengedikkan bahu. "Entahlah. Tapi jika benar begitu, mengapa prajurit yang menolongku tidak datang memastikan kondisiku setiap hari seperti ia yang memastikan keadaanmu? Ah, itu pasti karena kau begitu cantik, mungkin ia terpikat padamu," goda Nelida.
Dareena melengos. Mana mungkin demikian. Dirinya saat ditolong, sudah dipastikan memiliki kondisi fisik yang mengenaskan.
"Tapi sosok yang menolongmu memang begitu tampan dan begitu peduli terhadapmu, aku sampai iri. Kalian akan sangat serasi jika dipasangkan bersama," komentar Nelida sembari meraih piring dan gelas kosong Dareena untuk dipindahkan.
Dareena mengikuti langkah Nelida, membantunya mencuci piring.
"Untuk selanjutnya, apa yang akan kau lakukan?" tanya Dareena pada Nelida.
"Mungkin berdagang, atau pindah ke Roma, ikut ayahku. Ya, meskipun kondisi psikisku terlihat baik-baik saja, aku tetap trauma berada di sini."
Dareena mengangguk, tak heran dengan alasan Nelida.
"Kau sendiri? Apa yang akan kau lakukan nanti?"
Dareena diam sebentar.
"Entahlah."
🗡⚔🗡
Update lagi dong!
Chapter sebelumnya itu bukan ending, sih :) Sini, yang merasa ter-prank, ngumpul 😗
Tapi kalau kalian baca akhir chapter yang lalu dan balasan komentar dari Yoru secara cermat dan teliti, kalian akan menyadari kalau Yoru tyda berdusta :v
//mode pembelaan diri//
Aah, udahlah. Kepanjangan.
Ingatkan Yoru kalau kalian menemukan typo dan hole.
Yuk, udah mendekati akhir nih. Jangan sampai ketinggalan, ya! (^~^)
Terima kazii 💐
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro