40. Keadilan dan Kezaliman
Warning!
Pastikan sudah membaca bab sebelumnya saat mendarat di bab ini, ya!
Ngga seru, tau, loncat-loncat.
Sudah?
Oke, lanjut~
.
.
.
"Dulu ibuku pernah berkata, Tuhan mengambil sesuatu yang berharga untuk digantikan dengan sesuatu yang lebih baik. Tuhan tidak merenggut apa pun, karena sejatinya segala hal adalah milik-Nya. Tuhan memberi rasa kecewa, sebagai pecutan untuk manusia agar dapat melakukan segala hal baik yang dapat diusahakan ...."
(Nelida)
.
.
.
🗡🗡
Dareena menolak saat diberikan makanan oleh penjaga---padahal makanan itu hanya diberikan tiap tiga hari sekali. Bagaimana ia dapat makan dengan tenang sedangkan bau anyir bekas darah dan busuk dari bangkai berada antara jarak satu sampai dua meter di dekatnya? Nelida membujuk berulang kali, berkata bahwa walau akan berakhir buruk, tetap tidak boleh menyerah. Namun, Dareena masih beregang pada pendiriannya. Ia mual tak tertahankan.
Nelida cepat akrab, dirinya adalah pribadi yang ramah. Walau sesekali Dareena mendengar rintihan dan isak tangisnya di malam hari secara diam-diam, Nelida berubah menjadi sosok yang tegar di paginya. Sampai malam kembali larut dan ia mulai mondar-mandir ketakutan.
Sudah tiga minggu mendekam di sel, tubuh Dareena semakin ringkih. Bahkan tiga hari ia sempat sakit, napasnya terasa sesak dan dadanya seperti dihimpit batu. Demam, menggigil, membuat Nelida panik hingga merelakan air minumnya habis untuk diberikan pada Dareena. Untung saja daya tahan tubuhnya kuat, dengan cepat selnya beregenerasi dan menyembuhkan diri.
Situasi masih sama. Jeritan, teriakan frustrasi, korban yang semakin banyak berjatuhan, tikus-tikus seukuran genggaman tangan lelaki dewasa yang berlalu lalang, bau anyir dan apak, suhu udara lembab. Sedikit demi sedikit mental para korban dikikis, tak terkecuali Dareena.
"Ayolah, dimakan. Aku sungguh tidak mau kau jatuh sakit lagi," ucap Nelida lembut seperti biasa.
Dareena menggeleng, enggan. Netranya menatap jerih pada piring kotor berisi sepotong roti yang di beberapa bagiannya menghitam akibat jamur. Debu basah yang melekat di piring seperti kerak yang sulit dibersihkan tak luput dari atensinya. Untuk roti yang sudah berjamur, siapa yang berselera menyantapnya?
Atensi dengan iris abu-abu itu beralih pada dua mayat yang makin hari makin menimbulkan bau busuk.
"Jika nanti aku akan berakhir seperti mereka, kenapa aku harus tetap letih lelah berjuang?" tanya Dareena, matanya menatap kosong.
Nelida mendekat, mengusap punggung Dareena. "Tidak ada 'jika' dalam kamus Tuhan, Dareena. Semuanya sudah tertulis rapi, aku percaya hal itu."
Dareena memalingkan wajahnya dari dua mayat yang memenuhi isi kepala, beralih menatap netra Nelida yang berwarna biru terang---walau dalam sel remang-remang warnanya masih kentara.
"Tuhan Maha Pengasih, ya?"
"Iya, tentu saja."
"Lalu mengapa Tuhan merampas segalanya? Mengapa Tuhan mengizinkan adanya peperangan? Merenggut keluargaku. Mengapa aku ada di sini bahkan untuk sebuah kesalahan yang tidak kuketahui? Mengapa Tuhan memberiku banyak rasa kecewa? Dan satu lagi, mengapa kezaliman ini terus berlangsung, mengorbankan banyak nyawa demi sesuatu yang kata mereka merupakan keadilan Tuhan?"
Nelida menerawang pada atap yang lembab---jika sedang musim dingin, atapnya bisa saja mengucurkan air lelehan salju.
"Dulu ibuku pernah berkata, Tuhan mengambil sesuatu yang berharga untuk digantikan dengan sesuatu yang lebih baik. Tuhan tidak merenggut apa pun, karena sejatinya segala hal adalah milik-Nya. Tuhan memberi rasa kecewa, sebagai pecutan untuk manusia agar dapat melakukan segala hal baik yang dapat diusahakan. Dan untuk pertanyaanmu yang terakhir, aku tidak mengerti, Dareena. Sungguh, aku mempercayai bahwa Tuhan adalah Pemilik Segala Maha yang baik. Jadi, mungkin ini hanyalah ulah manusia yang berlebihan, mengatasnamakan Tuhan untuk memenuhi nafsu mereka."
Dareena menatap kakinya sendiri yang tidak beralas apa pun. Menatap gaunnya yang lembab dan kotor, lalu beralih pada baju Nelida yang sama lusuhnya.
"Kau hanya harus percaya, Dareena. Tidak perlu kau buktikan. Beberapa orang menjadi congkak karena menagih bukti atas hal-hal abstrak yang tidak tampak, pada zat agung sekalipun."
Ya, sejatinya, walau membenci setiap keadaan yang menerpa, Dareena nyatanya mendapat lebih banyak pelajaran. Ditempa kuat, dijatuhkan, pengkhianatan, rasa sakit, kehilangan. Entah apa lagi yang akan didapatkannya.
"Apa agamamu?" tanya Dareena tiba-tiba, membuat Nelida terlonjak kaget.
"Apa yang membuatmu bertanya tentang agamaku?"
"Kau mengagungkan Tuhan seperti Muslim mengagungkannya. Setidaknya, menurutku begitu," cetus Dareena lalu mengedikkan bahu. Nelida mencetak senyum.
"Aku Katolik, Dareena, sama seperti buyutku," jawab Nelida. "Tentang Tuhan, kita selalu harus mampu mengagungkan-Nya sebaik yang kita bisa, dengan segala prasangka indah yang kita punya. Bukankah begitu?"
Dareena mengangguk, setuju dengan ucapan Nelida. Hatinya sedikit tercubit oleh ucapan lepas gadis di sebelahnya. Entah Tuhannya atau Tuhan Fayyad, mungkin Dareena masih bisa menggantungkan harapan.
"Yah, walaupun terkadang aku mempelajarinya dari cerita-cerita nenek tentang Muslim. Aku membaca beberapa kisah tentang mereka," lanjut Nelida dengan netra yang mengilat, senang hati mengakui kekagumannya.
Sesaat, hening meliputi mereka. Dareena tidak tahu harus menanggapinya bagaimana.
"Padahal kau di sini, kenapa masih bisa bersikap tenang?"
Hal itu yang sejak beberapa hari ingin ditanyakan Dareena pada Nelida.
"Mungkin, karena aku belum akan dieksekusi. Masih ada pengadilan, penghakiman. Setidaknya, masih ada waktu," ujarnya lirih.
"Kapan kau akan diadili?"
Nelida menunduk dalam-dalam, sorot matanya menjadi lebih redup. Gadis itu tersenyum kaku, menolehkan kepalanya pada Dareena.
"Malam ini."
🗡🗡
Dareena menunggu dalam cemas, sudah terhitung dua jam Nelida belum kembali. Sebenarnya, bungsu Al-Khadhra itu menyadari bahwa pengadilan sama sekali tidak akan membantu dalam proses peradilan inkuisisi. Sebab yang terduga sudah tentu mendapat ultimatum bersalah dari pihak gereja.
Pintu sel berderit memekakkan telinga, tubuh Nelida yang sempoyongan didorong paksa hingga gadis itu terjerembab. Dalam remang cahaya yang minim, Dareena tahu bahwa wajah gadis itu pias. Isak halus lolos dari bibirnya.
Atensi Dareena menyisir penampilan Nelida dan benar saja, ada yang aneh. Sebelumnya, pakaian Nelida walau sederhana, tidak tampak terkoyak kecuali bagian bawah yang pernah dirobek untuk dijadikan kain pengompres dahi Dareena saat demam. Namun, kini di beberapa bagian malah terdapat sobekan besar.
Ini tentu belum saatnya Nelida dieksekusi, lantas apa yang terjadi? batin Dareena.
Beberapa menit Nelida menahan isaknya, namun tumpah ruah di hitungan sepuluh menit kelima. Gadis itu meraung, memeluk erat Dareena tanpa berucap apa pun.
"Hei, Nona, aku lupa memberi tahumu. Jadwal pengadilanmu besok malam. Bersiaplah."
Dareena bahkan tidak menyadari bahwa seseorang berbadan bongsor masih berdiri di sana.
🗡🗡
Seharian Nelida tidak berbicara, membuat Dareena merasa serba salah. Ia tidak berani bertanya, takut menyinggung. Ingin sedikit menghibur, tapi ia tidak tahu apa yang dialami temannya. Sampai dirinya dijemput seorang lelaki berbadan tegap untuk diadili, Nelida masih menolak bicara walau matanya sempat menatap cemas kepergian teman satu selnya.
Di sinilah Dareena sekarang. Duduk di kursi tunggal, berhadapan dengan tiga orang di balik meja hijau. Pamannya duduk di sebelah kiri, sebagai pihak yang menuntutnya. Sedangkan bibinya duduk di belakangnya.
"Aku dan pamanmu tidak dapat melakukan apa pun, Sobrina. Kami hanya bisa menunda waktu pengadilanmu. Maafkan kami," kata El Tia lesu, sejak tadi kepalanya menunduk. Dareena melengos.
"Apa aku ditangkap karena mengkritisi sistem inkuisisi bersamamu?"
Patah-patah El Tia mengangguk, membuat Dareena mendengkus kasar. Gadis itu sudah menduganya.
Seakan tidak memberi waktu lebih lama, tiga orang yang duduk di depan mengeluarkan keputusan mutlak bahwa Dareena bersalah atas dugaan mengeluarkan teori meresahkan yang bertolak belakang dengan kebijakan inkuisisi. Meski berulang kali Dareena berdalih bahwa ucapannya memang dapat dibuktikan tingkat validitasnya, namun orang-orang di ruangan itu seakan tuli.
"Jika aku berkata salah, maka balaslah dengan kebenaran. Diamnya kalian hanya akan lebih meyakinkanku bahwa kalian adalah sebenar-benarnya pecundang." Ucapan sarkas Dareena bahkan tidak ditanggapi, para tetua hanya saling bisik dan membiarkan Dareena mengoceh sendiri.
Dareena melirik El Tio, tetapi lelaki paruh baya yang sudah bungkuk dan bertongkat itu malah memalingkan wajah. El Tia hanya sesekali menunduk, lantas menggumamkan permintaan maaf. Bagi Dareena, itu sama tidak bergunanya. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa dua orang itu sama sekali tidak menunjukkan pembelaan.
"Keputusan kami sudah bulat, hukumanmu adalah pembakaran dan akan dilaksanakan seminggu lagi. Semoga Tuhan mengampuni segala dosamu."
Palu telah diketuk.
Dareena terdiam di tempatnya duduk, sama sekali tidak menyangka bahwa negara yang diyakininya dapat menjadi tempatnya pulang kini malah mengancam hidupnya, atas kebenaran yang ia coba sampaikan. Tak dapat dipercaya oleh sang gadis, perjalanannya bermuara pada kematian yang sangat tidak terhormat.
"Maka malam ini, kami menyerahkanmu pada Para Pelayan Tuhan untuk mengambil alih tubuhmu sebagai harga sebab telah menegakkan kebenaran, sebelum kau mati seminggu lagi."
Atensi abu-abu yang sudah suram itu membola tidak percaya. Apa maksudnya ia harus menyerahkan tubuh pada beberapa orang lelaki yang sedang berjalan mendekatinya? Bahkan mereka sedang berada di gereja, tempat suci.
"Tio! Apa ini?! Mengapa seperti ini?!" teriak Dareena saat seseorang mencengkeram pergelangan tangannya.
"Memang begitulah adanya, Sobrina. Maaf, aku tidak bisa melakukan apa-apa sejak kau ditangkap, itu sudah peraturan," balas El Tio sembari memalingkan wajah.
Dareena berang, wajahnya memerah sempurna. Ia tidak pernah tahu bahwa para korban wanita akan diserahkan kehormatannya pada penegak kebenaran sebelum menjalani eksekusi.
"Lepaskan! Menjauh!"
"Kami hanya akan mensucikanmu, Nona. Setidaknya sebelum merasakan neraka, kami akan memberikan keindahan surga padamu," bisik salah seorang yang paling pendek. Refleks, jemari Dareena mengayun menampar pipi lelaki tersebut.
"Bodoh! Kau bilang apa tadi?! Mensucikan?! Kalian menodai wanita dan merenggut kesucian mereka, lalu menyebut akan mensucikan mereka?! Apa Tuhan mengajarkan demikian?! Hina! Kalian---"
Plak!
Perih, sakit, ngilu. Darah segar mengalir dari hidung Dareena saat tamparan keras tiba-tiba melayang menghampiri pipi halusnya. Kepalanya seakan dipukul godam besi, membuatnya pusing luar biasa.
"Lepaskan keponakanku! Sudah, jangan menyentuhnya!"
Dareena mengalihkan pandangannya pada El Tia yang tiba-tiba berteriak lantas menarik lengannya menjauh dari enam orang pria yang mengerubunginya.
"Kalian lupa?! Gadis yang kemarin malam sudah menggantikan Dareena untuk kalian! Dia telah mengorbankan dirinya dan kalian masih akan melakukannya pada Sobrina-ku?!"
"Tungg-apa maksudmu?"
"Aku telah memintanya untuk menggantikan dirimu melayani mereka. Dan dia melakukannya untukmu, secara sukarela."
Saat itu juga, kaki Dareena seperti dipaku pada pijakan, tidak mampu bergerak sedikit pun. Jawaban El Tia meremukkan hatinya kuat-kuat.
Jadi itu sebabnya Nelida kembali dalam waktu yang begitu lama, dengan pakaian yang compang-camping. Itu alasannya mengapa sepanjang hari Nelida menangis tanpa henti, seperti hilang harapan ... karena mengorbankan dirinya untukku ..., batin Dareena pilu.
Tidak, Dareena tidak bisa menerima kezaliman ini. Ia tidak bisa menerima orang yang menderita karena menggantikan posisinya.
Ini sama seperti Javiero dan Eneas yang mati sebab melindungi dirinya.
Atau seperti Ivina yang meninggal sebab berdiri di hadapan Alfredo dan menghalangi pedang menembus jantung suaminya.
Ini seperti Diana yang rela sakit dan tidak tidur beberapa malam demi menjaganya.
Ini seperti Fayyad yang membiarkan dirinya tumbang demi menjalankan sesuatu yang disebutnya amanah, demi memenuhi keinginan Dareena untuk segera tiba di Granada.
Kali ini, Nelida. Orang yang bahkan baru saja mengenalnya, harus ikut berkorban untuk dirinya. Sudah dibayang-bayangi hukuman mati yang menyakitkan, masih harus menggantikan Dareena melayani nafsu para lelaki yang bersembunyi di balik kata-kata suci mereka.
Untuk apa?
Untuk apa mereka berkorban?
Hati Dareena perih layaknya diiris sembilu. Saat lukanya masih basah, lalu disiram air keras, lalu saat oroknya belum mengering, ia ditaburi garam sampai lukanya kering.
Gadis itu, untuk pertama kalinya merasakan frustrasi.
Segala yang terjadi di sini, dalam sekejap mengambil sorot mata ambisiusnya. Bibirnya yang biasa lancar menyerang dengan ucapan sarkas kini membisu, tergagap jika dibuka. Otaknya buntu, tidak ada yang dapat dipikirkannya lagi.
Keadilan hilang, kezaliman tumbuh subur.
Aku ... apa yang telah kulakukan sampai saat ini? Mengapa ... mengapa semakin sakit? Aku salah apa? Tuhan ... aku ingin pulang! jerit Dareena dalam hatinya.
🗡⚔🗡
Jangan lupa berikan komentar dan vote supaya mood Yoru mendapat nutrisi!
Maksa! 😈
Jangan malu-malu! 😈
Yoru ga doyan melahap manusya! 😈
Koreksi Yoru kalau kalian nemu typo, yaw~
Terima kazii 💐💐
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro