38. Di Balik Inkuisisi
⚠ Warning! ⚠
Pastikan kalian sudah membaca bab-bab sebelumnya secara berurut, baru lanjut membaca bab ini, ya! Antar bab saling berkaitan, jadi jangan sampai bengong pas sampai di sini.
.
.
.
"Pengusiran orang Yahudi dan para Moor telah memengaruhi keseimbangan politik dan ekonomi hingga persentase keuntungan pasar menurun drastis. Orang-orang jadi ketakutan membuka bisnis. Orang-orang tidak berani berargumen, menyatakan pendapat, dan bebas berekspresi hingga nilai kebudayaan juga runtuh. El Tia pikir ini semua karena apa?"
(Dareena)
.
.
.
🗡🗡
"Apa ini tidak terlalu kejam? Mengapa kalian tidak memberikan sedikit saja konsesi pada orang-orang Moor? Atau setidaknya, pada pelaku bid'ah? Apa kebencian sebab ketidaksamaan ideologi kalian jadikan keyakinan mutlak untuk mendapat bantuan Ilahi?" Dareena bertanya lugas. Atensinya sedikit memicing, ia tengah serius.
Kening yang sudah dihiasi kedutan itu kini menegang. El Tia tampak membuang wajah. "Aku tidak mengerti maksudmu."
Dareena sedikit menyeringai. Dari reaksi bibinya, ia seakan diberitahu oleh gejala semesta bahwa apa yang diutarakannya barusan adalah sebuah kebenaran. Memang faktanya, ketika merasa salah, kebanyakan orang memilih untuk lari dan berusaha mencari pembenaran.
"Kalian menghancurkan kebebasan berpikir melalui inkuisisi ini. Sibuk membakar orang untuk berpikir, untuk menyelidiki, dan untuk mengungkapkan pendapat yang jujur."
"Hati-hati dengan ucapanmu, Sobrina."
"Ah, maaf. Aku tahu benar aku tak diizinkan membungkam kalian."
Meski samar, Dareena sempat mendengar El Tia menggeram.
Atensi sang gadis mengitari ruangan. Di sini, hanya ada dua jenis alat penyiksaan-dan Dareena tidak berminat lagi untuk menyaksikan yang lainnya. Kalau bisa, ia hanya mau mendengarkan saja jenis eksekusi tanpa menyaksikan langsung. Perutnya sudah bergejolak hebat.
"Apa masih ada lagi yang belum kulihat?"
El Tia mengernyit. "Kau benar-benar ingin melihat semuanya? Wajahmu sudah pucat, Sobrina," ujar El Tia skeptis.
Dareena menggeleng. "Ceritakan saja."
"Ah, baiklah. Ingin berkeliling? Akan kuceritakan sisanya sambil kau melihat-lihat kota ini."
Dareena mengangguk.
Sepanjang perjalanan, El Tia bercerita banyak. Tentang jenis-jenis hukuman yang belum dilihat oleh keponakannya. Ada alat yang merobek payudara, atau alat besi yang dimasukkan dari kewanitaan sampai membuatnya rusak dan tercerai berai, hingga korbannya mati dalam kesakitan yang luar biasa.
Di tengah perjalanan, Dareena mendongak karena indra penciumannya menangkap bau busuk yang ternyata berasal dari bangkai manusia dalam kurungan kecil yang disangkut sejajar posisi atap rumah. Ya, kurungan besi itu berukuran dua kali lebih kecil dari tubuh korban, dengan kata lain, siapa pun yang dimasukkan ke sana dengan cara paksa akan menemui ajalnya tak lama kemudian lantas dibiarkan membusuk dan menjadi makanan gagak.
El Tia juga menceritakan bahwa banyak korban atas tuduhan melakukan praktik ilmu hitam, penyihir. Mereka akan diikat lantas diceburkan ke dalam air hingga mengakui perbuatannya. Jika tidak mengaku, maka dibiarkan tenggelam.
Rahang Dareena mengetat. Ia pernah mendengar cerita sejenis ini dari sudut benua Amerika. Wanita-wanita yang dianggap sebagai penyihir akan ditangkap dan dibunuh, atau dieksekusi dengan cara serupa-ditenggelamkan. Jika korban mengapung dan tidak tenggelam, artinya mereka memang benar penyihir. Sebaliknya, jika tiada respons dan akhirnya tenggelam, maka mereka terbukti tidak bersalah.
Lalu, bagaimana bisa mereka dengan tenang dapat menghukum seseorang yang tidak terbukti melakukan penyimpangan? Bahkan kalaupun para korban mati, tidak ada raut penyesalan di wajah para algojo.
Dulu, Dareena pernah sangat kagum saat Ivina menceritakan perihal kebijakan gereja menumpas para pelaku bid'ah. Tidak ada neko-neko. Namun, bukan seperti ini yang dibayangkan sang gadis.
Dulu, ia pernah berseru riang, tertawa jahat atas penderitaan kaum muslim dan yahudi yang dijatuhi siksaan pedih, namun saat ini, Dareena menggigil melihatnya. Ke mana rasa kemanusiaan mereka?
Sepanjang jalan, orang-orang menyapa ramah dirinya dan sang bibi. Beberapa bahkan menawarkan untuk mampir ke kediamannya. Dareena hanya menanggapi dengan anggukan dan ekspresi datar.
Para rakyat menurutnya menunjukkan keramahan yang sedikit berlebihan. Apa karena mereka takut disangka sebagai penyihir lantas ditangkap oleh dewan inkuisisi? Ah, mungkin begitu. Orang-orang yang pendiam dan tertutup serta terisolasi dari lingkungan sosial cenderung dianggap sebagai pengguna ilmu hitam.
Itu hanya spekulasi Dareena, ia tidak ingin bertanya pada El Tia.
Kini, fokus sang gadis adalah pada lingkungan. Mendadak dirinya menjadi pengamat sosial.
"Mengapa tidak ada industri di sini?" Akhirnya Dareena bertanya setelah keningnya pegal mengedut.
El Tia menghela napas. Kakinya berhenti berjalan. "Itu karena kemerosotan ekonomi Sobrina. Hanya itu."
"Ah benarkah? Bukankah itu semua karena para warga malas membangun keadaan ekonomi? Yang mereka lakukan hanya tidur siang dan berjaga-jaga agar tidak tertangkap dewan inkuisisi?"
"Hah?" Wajah El Tia yang tampak terheran-heran membuat Dareena jengah. Oh, ayolah. Masalah yang begitu ringan ini bahkan tidak diketahui oleh biarawati tinggi seperti bibinya? Sudah berapa lama wanita paruh baya itu terisolir dengan kegiatan gereja?
"Masyarakat harus tetap membangun sentral ekonomi, El Tia. Dengan sifat mereka-kalian-yang seperti ini, bukan mustahil negara dilingkupi kegelapan. Ekonomi serta kebudayaan mulai merosot, sedangkan Perancis masih akan melakukan invasi."
El Tia menelan saliva gusar, agaknya ia mulai mengerti arah pembicaraan Dareena.
Gadis itu sendiri melengos. Bahkan jika tidak belajar mendalami sistem ekonomi dan perpajakan, ia bisa memahami sebab kemerosotan ekonomi di wilayah ini. Jangan lupakan, gadis yang mahir berpedang itu pernah menjabat sebagai Menteri Keuangan di Al-Khadhra. Tentu saja, melihat kondisi ini, mulutnya gatal ingin berkomentar.
Dareena memutuskan untuk mengalihkan perhatian warga yang mulai bisik-bisik saat dirinya mencetuskan analisis tentang inkuisisi. Gadis itu mengisyaratkan El Tia dengan ujung matanya untuk kembali melanjutkan perjalanan.
"Pengusiran orang Yahudi dan para Moor telah memengaruhi keseimbangan politik dan ekonomi hingga persentase keuntungan pasar menurun drastis. Orang-orang jadi ketakutan membuka bisnis. Orang-orang tidak berani berargumen, menyatakan pendapat, dan bebas berekspresi hingga nilai kebudayaan juga runtuh. El Tia pikir ini semua karena apa?"
El Tia berusaha mengubah mimik wajahnya senormal mungkin walau ia terkejut-mungkin juga terkesan karena Dareena bisa dengan cepat membaca situasi yang bahkan tidak disadari oleh sang bibi sejak berapa tahun hidupnya.
"Kau mungkin sudah terlalu lelah, Sobrina. Mari pulang saja." Meski samar, Dareena dapat menangkap ekspresi panik bibinya.
"Aku belum selesai berbicara, El Tia. Ini-"
Belum menyelesaikan kalimatnya, lengan Dareena sudah ditarik oleh El Tia-terkesan sedikit memaksa. Dareena sadar betul bagaimana air wajah bibinya berubah drastis. Langkah yang awalnya pelan, kini panjang-panjang.
"Kembalilah ke kamarmu, Sobrina. Tio-mu mengingatkanku untuk senantiasa menjagamu."
Alis yang terpahat sempurna itu bertaut. "Menjagaku dari apa?"
El Tia tidak lagi menjawab.
🗡🗡
Dareena menatap ke luar dari bingkai jendela, api terlihat membara di sana. Mungkin, ada seseorang yang sedang dibakar sebab telah melanggar kesepakatan gereja, entah menyatakan pendapat, murtad, menyampaikan ilmu baru yang tidak dapat ditolerir gereja, dan apa pun yang berhubungan dengan itu.
Ya, kebebasan mereka dalam mempresentasikan penemuan baru dari ilmu yang didapat tentu memiliki konsekuensi besar. Jika belum dapat dibuktikan secara ilmiah, maka hal itu tentu berada di bawah tekanan gereja. Pencetusnya akan mendapatkan hukuman berat, kematian.
Begitulah setidaknya akhir dari hidup Nicolaus Copernicus, pengemuka teori geosentris. Karena pendapatnya bertentangan dengan pandangan Aristoteles dan Ptolomeus-teori yang dipelihara masyarakat berabad-abad, akhirnya Copernicus dihukum oleh gereja Portugal dengan dibakar hidup-hidup.
Jelas sudah mengapa masyarakat semakin membuat roda kehidupan selalu berada di tingkat bawah. Tidak ada lagi kebebasan berpikir, tidak ada kesetaraan sosial. Semuanya gelap. Kemerosotan ekonomi dan budaya, kemiskinan, kemunduran Spanyol, dan kehancuran kelas menengah adalah pengaruh buruk dari pelaksanaan inkuisisi.
Muncul ideologi baru, pengemuka teorinya dibunuh dengan alasan mempertahankan keyakinan murni pada Ilahi.
Hampir setiap malam, kegiatan itu dilangsungkan, seakan nyawa adalah hal yang mudah untuk dikorbankan, dihakimi dan dibantai sedemikian rupa. Lalu siangnya, hukuman lain terus berjalan. Darah seakan bukan sebuah harta mahal yang harus dilindungi.
Hati Dareena terasa diremas-remas. Dibandingkan hukuman bagi pezina yang dilakukan oleh muslim yang tentu saja memiliki tuntunan, hukuman yang berlaku di sini justru lebih kejam, terkesan sewenang-wenang dan brutal. Jika saja gadis itu berhati lembut layaknya Diana, mungkin ia sudah menangis darah.
Ah, Diana.
Dareena tak akan mengatakan bahwa ia merindukan Diana, namun jelas hatinya tidak dapat berbohong.
Ia telah berada di tempatnya, namun tak merasakan rumah. Tak ada keluarga. Tidak ada saling keterbukaan dalam adu ideologi. El Tio sibuk dengan urusan gerejanya, El Tia pun demikian.
Sudah dua malam dirinya mengurung diri di kamar, menyaksikan kobaran api dari bingkai jendela. Kalaupun harus keluar, yang dilakukan hanyalah makan dan berdoa ke gereja. Bahkan di sini, ia tidak diizinkan memainkan pedang. Kebebasan telah benar-benar direnggut darinya.
Dua malam sudah cukup untuk Dareena menyimpulkan apa yang dilihat, fakta-fakta aktual di balik pelaksanaan inkuisisi. Tentang wilayah Eropa yang begitu kelam, bahkan rasanya terlalu pekat hingga cahaya mentari pun tidak dapat menembusnya. Seperti dasar laut, tak tersentuh sinar, dihuni oleh makhluk beringas, menerapkan hukum rimba.
Tidak ada toleransi, tidak ada keadilan sosial. Tidak ada yang aman jika sudah tertangkap. Sebab baik ia hanya sebagai terduga maupun terdakwa, mereka akan tetap menerima pedihnya siksaan.
Untuk beberapa hal, Dareena mengucap syukur sebab walaupun dahulu negerinya membenci penduduk muslim, tidak pernah ada tindakan zalim-mungkin hanya sebatas dikucilkan saja. Lalu bagaimana kondisi Al-Khadhra saat ini di bawah kepemimpinan baru?
Lagi-lagi air matanya menetes. Rindu. Dareena merindukan rumah. Rumah, yang bisa menjadi tempatnya pulang.
Tok-tok-tok!
Dareena tersentak ketika pintu kamarnya diketuk kuat. Bukan hanya sekali dua kali, bunyi ketukan itu bersahut-sahut, menggema sampai ke dalam kamar. Buru-buru dihapusnya air mata, tangan kanannya menggenggam erat pedang. Derit engsel pintu berbunyi ketika sang gadis membuka pintu dan mendapati tiga orang lelaki dewasa menatapnya sangar.
"Kau kami tangkap."
🗡⚔🗡
Updateee!
Inkuisisi berdampak sebesar itu??
Iya 😢
~~
Jangan lupa ingatkan Yoru kalau kalian nemu typo atau hole, yaw! 💞
Silakan vote dan komen kalau berkenan~
Terima kazii 💐
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro