34. Seberat Apa Amanah?
⚠ Warning! ⚠
Pastikan sudah membaca bab-bab di belakang secara urut sebelum lanjut membaca part ini, ya!
Yoru meminimalisir terjadinya kesalahpahaman.
Lagian apa seru kalau langsung loncat part? 🤕
Maka dari itu, pastikan kalian meninggalkan jejak, supaya tau sudah sampai mana batas bacaan kalian. Ehehe 😅
Oke, sudah?
Cus~
Enjoy ....
.
.
.
"Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya."
(Q.S Al-Ahzab: 72)
.
.
.
🗡🗡
"Kenapa kau seakan tidak mau menunda kepergianku ke Granada?"
Fayyad menarik napas sebentar.
"Boleh kujawab nanti? Waktu subuh sempit."
Tanpa menunggu persetujuan Dareena, Fayyad sudah menghilang di balik pintu, tampak sangat terburu-buru.
Jantung gadis itu bertalu-talu. Sedikit air matanya menetes juga setelah ditahan beberapa menit belakangan. Entahlah, ia hanya merasa bersalah. Bertanya banyak hal lalu mendapat kebenaran seakan membuatnya merasa telah mengkhianati kepercayaannya.
Dareena bingung harus percaya pada apa. Keyakinannya yang dulu dengan Alkitab, pernyataan lurus Fayyad berkaitan dengan Al-Qur'an, atau mempertimbangkan keberadaan Tuhan di hatinya.
Bayangan Ivina menari-nari di kepala, disusul Alfredo, Javiero, serta Eneas. Spontan Dareena mengarahkan atensi pada kalung emas berbandul salib, hadiah terakhir dari kekasihnya sebelum gugur di medan perang.
Tuhan ada, pasti ada. Semoga Granada bisa memperkuat keyakinan dan imanku. Semoga ..., batin Dareena.
Lelap dalam sunyi. Tenggelam di antara debur ombak yang saling hantam. Disaksikan gemintang dan langit malam. Diterpa embusan angin yang memainkan rambut coklatnya, gadis itu mendendangkan satu kata.
Rindu.
Rindu akan apa?
Entahlah.
Pada Ayah dan Ibunya?
Atau pada kakak lelakinya yang begitu sompral tetapi selalu berhasil melindungi dirinya, walau sampai saat-saat terakhir hayat sekalipun.
Atau mungkin pada Eneas yang tak mampu menepati janji untuk menjadi satu-satunya yang kembali.
Atau mungkin pada Lazaro yang selalu saja mengomelinya sebab terlalu keras kepala. Ah, Dareena jadi berpikir, apakah guru berpedangnya masih hidup? Sedang apa di sana? Menjadi budak pemimpin baru? Atau hijrah ke tempat lain?
Mungkinkah Dareena merindukan temannya? Diana? Mungkin saja. Hanya istri Said yang setia padanya walau statusnya tak lebih sebagai seorang tawanan perang. Sabar menghadapi sifat apatisnya dan tidak menyimpan dendam.
Bulir bening itu menetes lagi. Ada satu hal lagi yang mengganjal, tetapi ia tak pernah tahu apa itu. Saat dipikirkan, maka saat itu pula batinnya merasa sesak. Bingung, karena ia pun tidak mengerti sejak kapan sesuatu itu berada.
Sejak masa kecil? Atau sejak beranjak remaja? Atau bahkan beberapa minggu terakhir?
Dengan kasar ia menghapus air mata. Mengeluh dan merutuk diri sendiri sebab merasa sudah terlalu lemah sejak beberapa bulan terakhir. Mudah bimbang juga goyah.
Lagipula, gadis itu akan kembali ke tempat seharusnya ia berada. Granada. Menemukan keluarga baru, hidup bahagia. Melupakan ragu, lalu berjalan kembali atas dasar percaya. Bisakah ia tenang atas kedamaian yang akan didapat?
🗡🗡
Sudah lima hari mereka melakukan perjalanan. Tak ada yang terlalu berarti.
Fayyad setia membantu awak kapal menangkap ikan, atau membereskan barang yang akan diperjualbelikan nanti di Andalusia. Ia benar-benar rendah hati. Ah, Dareena menepis pikiran baiknya.
Sudah lima hari pula, pertanyaan terakhir Dareena malam itu tak lagi dibahas. Entah karena mereka sama-sama lupa, atau Fayyad yang terlihat mulai sedikit menghindari Dareena tiga hari belakangan.
Entahlah itu hanya prasangka sang gadis, atau Fayyad memang seperti merentang jarak. Setiap luang, maka lelaki itu menghilang entah ke mana. Sialnya, Dareena malah sering bertemu Khalid yang masih saja senang melemparkan tatapan sinis dan ucapan sarkas.
Sembilan hari berlalu, tujuan sudah makin dekat. Jika tidak ada halangan, maka dua hari lagi ia akan tiba di Selat Gibraltar dan melanjutkan perjalanan darat ke Granada menggunakan tunggangan kuda.
Malam ini, purnama menampakkan diri. Ombak yang lebih pasang dari hari-hari sebelumnya tiba, tapi gadis itu tidak beranjak dari tempatnya menapak. Dibiarkan baju bagian depannya basah. Tak dihiraukan angin malam yang menerpa badan, membuat giginya sedikit bergemelutuk. Pikirannya tengah terganggu oleh hal baru.
Gadis itu, agaknya mulai tidak yakin untuk kembali ke tempat pamannya di Granada. Sebabnya? Dareena juga tidak mengerti. Hanya saja hatinya mulai tak nyaman saat jengkal demi jengkal mulai mendekati tujuan. Digenggam erat pedang yang senantiasa menemaninya.
Aku kenapa? batinnya untuk yang kesekian kali.
Ia, hampir tidak pernah merasakan keraguan. Saat belajar berpedang, memutuskan ikut andil dalam perang, maupun mempelajari tentang perbendaharaan negara, ia lakukan dengan cepat. Berprinsip. Bahkan di setiap perkataannya, ia nyaris tidak suka mengalah.
Lalu saat ini, apa yang merasuk hati?
"Masuklah, sudah malam." Netra abu-abu bening itu menoleh ke sebelah kanan dan mendapati Fayyad di sana, tengah menatap kosong ombak di depan.
"Hal yang sama kuucapkan padamu," balas Dareena.
"Kau sudah lama berada di sini, bajumu basah. Segeralah ganti dan tidur agar tidak sakit."
"Kau mencemaskanku, huh?" Dareena menampakkan senyum remeh. Jelas saja ia sedikit kesal. Setelah beberapa hari Fayyad hilang timbul bagai botol terombang-ambing di tengah laut, kini malah mendadak muncul di sebelahnya.
"Menurutmu?"
Dareena membeku di tempatnya kala tatapan tajam Fayyad menghujam lurus bola matanya. Sinar rembulan yang bulat penuh itu sudah cukup untuk membuat sang gadis yakin bahwa Fayyad balas menatapnya untuk pertama kali.
Sebelum tenggelam lebih dalam, Dareena buru-buru memutus tatapan. Begitupun Fayyad yang seakan menyadari bahwa pandangannya mungkin sedikit melewati batas.
Hening di antara mereka, walau ombak tak memberi ruang untuk merasakan sepi di antara diamnya dua orang berbeda jenis itu.
"Kau belum menjawab pertanyaanku tempo hari." Dareena memecah keheningan.
"Yang mana?"
"Kenapa kau seakan tidak mau menunda kepergianku ke Granada?"
Fayyad menghela napas berat, sesaat menundukkan kepala lalu kembali melepaskan pandangan ke luasnnya samudra.
"Prajuritmu pernah mengamanahkan bahwa kapan pun kau meminta pergi, maka tolong antarkan. Sebagai wanita terhormat, bukan sebagai tawanan."
Dareena terenyak dalam diam, tak menyangka di antara beberapa pengkhianat, ada seorang prajurit yang begitu mempertahankan dirinya sebagai seorang Putri Al-Khadhra.
"Walau kau sedang sakit sekalipun?"
Fayyad hanya merespons dengan anggukan.
"Kau memaksakan diri karena apa?" Dareena tak menolak bahwa ia merasa khawatir dan sedikit bersalah saat Fayyad rebah dan pingsan hingga kurang lebih tiga jam tidak sadarkan diri. Jangan lupakan sosok lelaki itu yang juga mencarikan fasilitas mereka untuk menyeberang antar benua hingga kembali ke rumah dini hari dengan suhu tubuh yang sangat tinggi.
"Karena itu adalah amanah," jawabnya pendek. Dareena melengos. Hanya karena itu?
"Memangnya seberat apa amanah bagimu sampai bisa-bisanya melupakan diri sendiri?"
"'Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya.' Allah mengabadikannya dalam Al-Quran. Surah Al-Ahzab ayat 72," terang Fayyad.
Dareena tidak tahu kalau amanah begitu agung untuk ditunaikan. Terlalu berat, hingga langit bahkan tak dapat menampung serta gunung tak mampu menahan bebannya, maka dari itu urusan amanah diserahkan pada manusia.
Al-Quran. Wahyu itu seakan memuat segala hal dengan validitas tingkat tinggi.
Dareena buru-buru menggelengkan kepala, menghilangkan rasa kagum dan prasangka baiknya.
"Lebih baik tidak memaksakan diri. Kau sungguh merepotkan jika sampai jatuh tak sadarkan diri," pungkas Dareena sarkas. Oh, ayolah. Tuhan pasti memberikan keringanan untuk manusia yang tengah sakit, bukan?
"'Tidaklah seorang penguasa diserahi urusan kaum Muslim, kemudian ia mati, sedangkan ia menelantarkan urusan tersebut, kecuali Allah mengharamkan surga untuk dirinya.' Hadist riwayat Bukhari dan Muslim."
Kening mulus Dareena berkedut mendengar penuturan Fayyad.
"Kau tahu? Seorang yang menjalankan salat malam hingga kakinya bengkak sekalipun tidak akan masuk surga hanya karena menelantarkan amanah. Lantas bagaimana bisa aku melalaikannya mengingat betapa krusial amanah itu?"
Ah, sungguh Dareena tidak mengerti terhadap prinsip kesatria di sebelahnya.
Tentang keikhlasan, kepercayaan, hingga amanah. Lelaki tampan dengan alis menukik tajam itu sangat serius-Dareena menganggapnya terlalu keras-dalam menjalankan hidup sebagai seorang hamba.
"Hanya itu alasanmu ingin secepatnya memulangkanku ke Al-Khadhra?"
"Memangnya kau berharap aku menjawab apa?"
Mata indah itu membola. Rona merah menjalar di pipinya secepat kilat, jantungnya berdegup tak terkondisikan. Kali ini, ia merasa telah menanyakan hal yang terlewat konyol. Buru-buru dipalingkannya wajah ke arah kiri.
Ada apa denganmu, Dareena? Apa yang kau harapkan darinya?
"Aku masuk sekarang," pamit Dareena, sebisa mungkin berlalu dari hadapan Fayyad. Untung saja malam masih pekat, rona kemerahan di wajah bisa disamarkan.
"Ya."
Dengan langkah panjang-panjang, Dareena berjalan cepat. Sepertinya, ia harus menenggelamkan kepala beberapa saat hingga logikanya kembali benar.
🗡⚔🗡
Up lagi! Gimana? Cepat, kaaan? Awas aja kalau pada ga kangen! 😤
Tampol, nih! 😈
Kayaknya kewarasan Dareena mulai terkikis sedikit demi sedikit hm? 😌
Bantuin koreksi kalau nemu typo dan hole, yaw. 😉
Terima kazii 💐💐
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro