Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

28. Masihkah Boleh?

.
.
.

"Tanyakan pada hatimu, tapi setahuku, Tuhan tidak pernah menolak orang yang kembali pada-Nya. Begitu pula pedang, ia menolak tuan yang mengkhianatinya, tapi selalu menerima kembali pemilik sejatinya."

(Fayyad)

.
.
.

🗡🗡

Sudah dua minggu dan itu cukup bagi Dareena merepotkan Diana, Said, juga Fayyad. Bahkan lelaki yang kamarnya ditempati oleh sang gadis pun sesekali memilih mengungsi ke rumah Salman sebab bilik mereka hanya ada dua di rumah tersebut. Satu kata yang ditangkap bungsu Al-Khadhra itu untuk Kesatria dari Timur yang disegani banyak orang, kesederhanaan.

Dua minggu, gadis itu menghemat bicara. Banyak hal tidak logis yang membungkam bibirnya.

Tentang kehidupan mereka yang tidak tampak lebih baik---terlalu sederhana---setelah mendapatkan Al-Khadhra.

Tentang Diana yang selalu tersenyum dan tidak keberatan jika dirinya meminta terlalu banyak hal, kecuali mengubah desain kamar Fayyad untuk memindahkan kitab-kitab bertuliskan huruf arab ke luar kamar.

Kemudian tentang Said, Salman, dan Fayyad yang entah sejak kapan mulai enggan memandang wajahnya.

Tentang hal yang tidak pernah dipaksakan oleh mereka, baik mengenai kepercayaan maupun ideologi. Semuanya memperlakukan diri gadis itu seperti biasa, kecuali Diana yang masih senang merendah dan memanggilnya dengan sebutan Tuan Putri.

Satu hal lagi yang membuatnya tidak mengerti.

Tentang ketenangan yang selalu hadir saat lantunan apa saja yang berbahasa Arab singgah.

Hal itu, membuatnya bungkam.

🗡🗡

Malam ini, Dareena kembali terbangun entah karena hal apa. Ia tidak bermimpi buruk. Bahkan saat mulai memejamkan mata, gadis itu merasa tidak mengalami bunga tidur. Namun, seperti sebelum-sebelumnya, mungkin rasa rindu yang membuatnya terjaga.

Melirik sekitar, gadis itu memutuskan bangkit lantas meraih pedang di sudut ruangan. Menatapnya lama, menghela napas beberapa kali, kemudian kembali meletakkan benda tersebut. Entahlah, sudah dua minggu ia tidak menggunakan pedang. Sisi hatinya masih ragu, apa benda pipih dari besi itu masih menerimanya sebagai tuan?

Ya, butuh dua minggu lamanya untuk seorang gadis seperti Dareena tidak banyak menuntut, tak lagi menyuruh Fayyad membunuhnya. Dua minggu, membuatnya kembali berpikir jernih. Bertarung pada akal sehat, mengesampingkan sedikit ego untuk menerima apa yang telah lalu walau hatinya masih sedikit ragu.

Lelah. Gadis itu seakan perlahan membuka lembaran hidupnya yang lama, tersenyum miris dan mengambil satu kesimpulan, bahwa segala yang ia agungkan dari ambisi hingga obsesi tidaklah memiliki ujung.

Dareena lelah bergelut dengan rasa sakit.

Masih enggan berterima kasih dan mengakui perdamaian pada seisi rumah, Dareena tetap pada prinsipnya, bahwa musuh akan selamanya menjadi musuh. Ia tetap patut mencurigai siapa saja. Keras kepala, tapi ia mengartikannya sebagai siaga. Kehidupan itu nestapa, mau bagaimanapun, tetap ada sebab-akibat dan untuk hal itu, Dareena terkadang menolak lupa.

Walau sedikit dari bagian hatinya telah mengikis dendam.

Lalu sekarang, tidak salah, bukan, jika sang gadis merindu?

Dareena menggenggam erat kalung berbandul salib yang diberikan Eneas. Mau mengingkari bagaimanapun, tiap manusia akan datang dan pergi. Entah itu dengan sebab yang baik atau menyakitkan.

Kepalanya tertunduk, menyerukan bait rindunya pada semesta, mengadu tentang dirinya yang memang tidak memiliki siapa-siapa. Tersedu sedan menumpahkan air mata. Terisak dalam meratapi apa yang telah pergi. Ia memang menyembunyikan kesedihan selama dua minggu belakangan. Namun, tak salah rasanya jika sang gadis menangis di pangkuan malam.

Makin lama, isaknya makin dalam. Meski sudah berapa kali melangitkan doa, hatinya tak kunjung diberikan ketenangan. Jiwanya seolah kian hari makin labil. Lunak lalu kembali keras dalam sekejap.

"Kau kenapa?"

Dareena terperanjat ketika Fayyad dengan tiba-tiba masuk ke biliknya. Tergesa-gesa gadis itu menghapus jejak tangis, bangkit dan menarik napas dalam.

"Apa mengetuk pintu terlalu sulit untuk memasuki kamar ini?"

Fayyad mendesah lega. "Aku mengetuknya enam kali dan kau belum berhenti menangis. Syukurlah jika tidak apa-apa."

Fayyad membalikkan badan. Tadi, saat dirinya tengah khusyuk dalam tahajud, secara tak sengaja mendegar isakan tangis. Tidak mungkin Diana, karena otomatis jika adiknya bersedih, ada Said yang menenangkan. Asumsinya benar, Dareena yang terisak. Khawatir tuan putri itu kenapa-kenapa, ia memutuskan untuk menyusul.

"Bolehkah aku bertanya satu hal?" Dareena menunduk, sebelum Fayyad benar-benar berlalu dari kamarnya.

Lelaki itu mengangguk tanpa merasa perlu membalikkan badan untuk menghadap Dareena.

"Bagaimana ... bagaimana caranya menghadapi lara?"

Mengingat tentang Fayyad yang berbicara perihal ikhlas tempo hari, Dareena tidak lagi bersikap gengsi untuk bertanya.

Fayyad mendongak sebentar. Lelaki itu tahu persis jika mereka berbeda kepercayaan. Mempertimbangkan ucapan agar tidak menyakiti hati Dareena, lelaki itu menjawab, "Doa sepenuh hati dan berserah diri."

Dareena terpaku.

Serahkanlah hidupmu kepada Tuhan dan percayalah kepada-Nya dan Ia akan bertindak.

"Mazmur ayat lima," lirih Dareena.

🗡🗡

Dareena meminum tegukan terakhir dari ramuan yang diberikan Diana, meneguknya masih dengan ekspresi yang sama karena menelan minuman tidak enak itu. Namun, setidaknya lebih baik dari buatan Fayyad. Adiknya seperti tahu benar takaran madu yang ditambahkan untuk mengurangi rasa pahit.

"Aku akan pergi ke pasar. Kau tidak apa-apa jika kutinggal?"

Dareena mengangguk. Keadannya sudah cukup baik untuk bisa ditinggal seorang diri. Berjalan saja sudah dapat dilakukan dengan membusung. Diana mengangguk, mengenakan hijabnya dan berpamitan pada Dareena.

"Oh, apa kau ingin menitipkan sesuatu, Tuan Putri?"

Dareena memandang lama pada Diana. Menatap manik hitam milik wanita itu mempertimbangkan satu hal, lantas berujar, "Rosario."

Diana terdiam sesaat, mencerna ucapan Dareena barusan. Di mana ia akan mendapatkan permintaan tuan putri itu? Di pasar, mungkin akan sangat sulit menemukan benda sakral umat kristiani tersebut karena mayoritas mereka adalah umat islam.

Berkebalikan dengan Diana, Dareena malah menatap intens ekspresi wanita berhati lembut itu, memprediksi jawaban.

Sebenarnya, Dareena sudah perlahan berhenti memercayai apa yang diyakijinya dulu. Hatinya masih merasa berat dan mengambang, mempertanyakan banyak hal yang tidak masuk akal di kepalamya, tapi tidak kunjung didapat jawabannya. 

Saat menyebutkan benda itu, Dareena hanya iseng. Hanya kata rosario yang terlintas di kepala. Tidak apa, sekaligus sang gadis ingin menguji apakah Diana masih mampu bertoleransi untuk menerima permintaannya atau tidak.

"Aku akan mencarikannya untukmu."

Dareena tersenyum samar. Mereka toleran.

Dareena mengambil kain panjang untuk mengikat tinggi rambut lurus kecoklatan seukuran pinggang. Walau sebelumnya ia dilarang keluar oleh Said, kali ini rasanya tidak masalah jika pergi ke halaman belakang. Gadis itu membawa pedangnya.

Namun, yang ia dapati adalah Fayyad dan Salman tengah saling mengayunkan pedang, entah berlatih atau duel. Sengit, cepat, ligat, tangkas, tidak terburu-buru, dan gesit. Membuat Dareena berdecak kagum.

Bukan tanpa alasan sang gadis mengakui kehebatan dua orang itu. Sejak peristiwa dirinya mengalami perjalanan spiritual dalam mimpi, dia merasa seperti kehilangan pedangnya. Gerakan yang diusahakannya teratur nyatanya tidak sejalan dengan keinginan. Pedang itu selalu melenceng.

Mengingatkan sang gadis, bahwa barangkali kesalahan yang diperbuat memang sebesar itu untuk dapat kembali diterima oleh pedangnya.

Sejurus kemudian, Fayyad berhasil menghentikan Salman dengan mengacungkan ujung pedangnya di depan dahi sang sahabat. Saat itu pula, Salman merutuk, berkata bahwa memang segitu sulitnya menaklukan Fayyad. Lelaki yang dijadikan bahan rutukan itu tertawa renyah.

"Aku minum dulu."

"Silakan."

Salman melenggang meninggalkan Fayyad.

Melangkah maju tanpa keraguan, Dareena menghampiri Fayyad yang sedang mengusap pedang.

"Kau tidak berdakwah?"

"Hari ini giliran Said."

Dareena mengangguk, pantas saja Said tidak di rumah. Dipikirnya, hanya Fayyad dan Salman yang selalu pergi berdakwah.

"Hei," panggil Dareena.

"Hm?"

"Menurutmu, manusia bisa berbuat salah, bukan? Tidak ada agama sesuci apa pun yang dapat menangkal itu, bukan?"

Fayyad mengangguk, membenarkan. sebenarnya, lelaki itu sedikit tak terima saat Dareena berkata 'agama sesuci apa pun', sebab semua agama pasti suci menurut penganutnya masing-masing. Namun, dia tidak berminat membalas. Percuma berdebat dengan bungsu Al-Khadhra jika memang tidak begitu dibutuhkan untuk diperdebatkan.

"Menurutmu, pemilik pedang bisa melakukan kesalahan, bukan?"

"Ya."

"Lalu, masihkah boleh dia kembali ke jalannya?"

"Tentu."

"Kenapa?"

Fayyad mengangkat pandangannya walau netranya tidak terpaku pada nayanika menawan milik gadis itu. Ia menghela napas beberapa kali.

"Tanyakan pada hatimu, tapi setahuku, Tuhan tidak pernah menolak orang yang kembali pada-Nya. Begitu pula pedang, ia menolak tuan yang mengkhianatinya, tapi selalu menerima kembali pemilik sejatinya."

"Tapi pedangku tidak menerima---"

"Kalau begitu buatlah ia menerimamu kembali."

"Keberatan mengajariku untuk membuatnya kembali menerimaku?"

Fayyad terdiam.

🗡⚔🗡

Hai, Yoru back!!
Mau ngasih tau, mungkin untuk beberapa chapter ke depan, Yoru mungkin ngga up secepat biasanya, ya. Risetnya lumayan, Wak. 😂 Tapi tetap diusahakan, kok.

Oh iya, Yoru juga mau bilang, mungkin ke depannya akan ada beberapa pertikaian seputar masalah agama. Pedebatan dan perbedaan pendapat yang (mungkin) sedikit kontroversial. Tapi Yoru tetap berusaha netral, kok.
Untuk teman-teman yang sensitif masalah agama, boleh mundur alon-alon (tapi Yoru berharapnya sih engga wkwkw)

Sekali lagi, Yoru hanya ingin menyampaikan saja, soalnya tulisan juga bisa jadi media dakwah, kan, ya? 😁

Sampai lupa mau bilang, tolong koreksi Yoru kalau kalian nemu typo, yeu! 😂

Jangan lupa tap star di pojok kiri bawah! Ditungguin sama Fayyad loh. 😂

Entahlah bacotan ini ada faedahnya atau engga 🙈 Ambil baiknya, buang buruknya, yah!

Terima kazii 💐










Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro