24. Perasaan Aneh
.
.
.
"Kau sungguh akan menjadi cahaya, Dareena. Jika kepergianku, ibumu, kakakmu, juga Eneas membuat hatimu sempit, maka jangan sampai kaubiarkan hal itu berlama-lama. Kembalilah, pada Tuhanmu. Pada dirimu yang dulu. Jadilah cahaya, untuk semua orang."
(Alfredo)
.
.
.
🗡🗡
Dareena mengerjap ketika atensinya menangkap sinar redup, lalu beralih pada tangannya yang digenggam seseorang. Senyum getir tercetak di wajah cantiknya ketika menyadari bahwa Diana tertidur di sana, dengan sebuah mushaf di tangan kanan. Sudah lebih baik, perutnya terasa tidak sakit seperti sebelumnya. Apa wanita itu yang merawatnya?
Bungsu Al-Khadhra itu menyangka bahwa hidupnya sungguh telah berakhir setelah kesadarannya hilang beberapa hari yang lalu. Ia tidur dengan tenang, tanpa ada mimpi-mimpi mengerikan. Namun, setelah kelopaknya terbuka, ia akhirnya mengetahui bahwa kematian belum ingin singgah pada nyawanya.
Wajah Diana yang tertidur, tampak begitu tenang. Sedikit peluh menghiasi dahinya.
Ah, sekarang sudah malam, ya?
Iris abu-abu itu kemudian tak sengaja melirik ke bawah tempat tidur, di sana terdapat berbagai dedaunan yang sudah digiling. Mungkinkah selama ia tertidur, Diana mengerjakan semua itu untuk kesembuhannya? Padahal, saban hari Dareena sudah menyakiti hati wanita itu, tapi mengapa ia tidak marah lantas membiarkan dirinya mati saja? Apakah Diana memang sebaik itu?
Seketika hatinya menghangat, ia rindu. Rindu pada setiap sosok yang berperan penting dalam hidup dan perkembangannya. Rindu pada mereka yang telah pergi. Rindu pada kasih Tuhan.
Ah, Dareena menghela napas kasar. Jika Tuhan Mahabaik, maka ia tidak lagi bisa mempercayai kondisinya saat ini. Sebab Tuhan tidak memberikan sesuatu yang buruk. Gadis itu mengusap lelehan air matanya yang membasahi pipi.
Siapa Tuhan? Tuhan itu apa? Dan janji mana yang terbaik menurut-Nya jika berperang melawan musuh-Nya saja bisa berakhir sengsara? tanya Dareena dalam hati.
Napas Diana yang terdengar berat mengalihkan pikiran Dareena.
Baru kali ini, melihat wajah Diana, Dareena menyadari bahwa dirinya memang tinggal seorang diri, sebatang kara. Dendamnya memang masih tersisa, tapi setidaknya, dari perlakuan orang-orang itu, Dareena menyadari bahwa hanya mereka yang peduli. Sebuah isak lolos dari bibirnya, air mata juga meleleh melewati pipi, tapi cepat diusap olehnya.
"Oh? Kau sudah bangun, Tuan Putri?" Diana tiba-tiba terbangun karena isak tak sengaja dari Dareena. Lekas wanita itu bangkit, lebih mendekat pada Dareena.
"Maaf telah membuatmu terbangun."
"A-apa yang sakit? Perut? Perutmu sakit lagi? Ah, atau kepalamu pusing?"
Dareena menggeleng lemah. "Ambilkan air. Aku hanya haus."
Diana mengangguk, meletakkan mushaf di rak, lalu keluar dari kamar. Tidak butuh waktu lama, ia kembali dengan membawa segelas air dan sepiring kurma yang masih bertengger di tangkainya.
Dareena meneguk, membiarkan air itu membasahi kerongkongan, menetralkan rasa sedih. Sejurus kemudian, Diana menyodorkan kurma, tapi Dareena menolak.
"Aku hanya haus, tidak lapar."
"Makan tidak harus menunggu lapar, Tuan Putri. Makanlah, kau tertidur selama empat hari, pasti perutmu sedang kosong."
Dareena terhenyak, ia mengira hanya tertidur dua atau tiga hari. Pantas saja, perutnya tidak terasa begitu sakit sebab telah istirahat dari gerakan selama enam hari. Patah-patah, tangannya meraih kurma, mengunyah dan menelannya. Entah apa yang membuat memorinya kembali mengingat Ivina, Alfredo, Javiero serta Eneas, gadis itu kembali menitikkan air mata.
"Kenapa? Apa ada yang sakit?"
Dareena menggeleng.
"Lantas? Ah, apakah ada yang ingin kauceritakan? Kau gelisah? Mungkin aku dapat membantu."
Dareena menggeleng lagi. "Aku ingin tidur saja." Dareena menyerahkan sepiring kurma dan segelas air yang tinggal setengah isinya pada Diana.
Meski sedikit bingung dengan perubahan sikap Dareena, Diana diam saja, tidak ingin bertanya banyak hal. Tuan putri bersikap sedikit lunak saja sudah membuat hati lembut wanita itu bahagia. Mungkin kisah hidupnya begitu berat, tapi Diana tidak memaksa untuk diceritakan. Wanita itu juga paham jika Dareena sudah terlampau lelah, hingga tidak ada lagi pemberontakan, setidaknya hingga saat ini.
Dareena menutup kelopak mata, berusaha untuk kembali tertidur tanpa mengingat memori buruk, hingga alisnya bertaut serta keningnya sedikit tegang. Gerakan yang walau tidak banyak itu terlihat gelisah, Diana menyadari hal itu.
"Keberatan jika aku membaca Al-Quran? Apa akan menganggumu?" tanya Diana, dirinya hanya ingin membuat Dareena merasa tenang.
"Terserah," cetus Dareena. Sungguh, saat ini ia tidak peduli pada apa pun yang dilakukan Diana. Ia lelah, hanya itu.
Diana bangkit sebentar, lalu duduk kembali ke sisi Dareena dengan sebuah mushaf di tangan kanan. Memulai dengan ta'awudz, berlanjut basmalah kemudian membacakan surah Muhammad.
Surah yang menurutnya cocok digambarkan pada Dareena. Dengan segala kekhusyukan, Diana melantunkan ayat demi ayat dengan sangat baik, mengalir ke dalam hati Dareena, hingga merasa seperti ditetesi air es di tengah gersang tandusnya. Tanpa beban, Dareena merasa kantuk segera menyerang dan gadis itu dapat tidur tanpa merasa duka akan memori yang singgah, dengan perasaan tenang.
Ah, perasaan aneh apa ini?
🗡🗡
Entah sudah berapa lama dirinya tertidur, Dareena kembali bangun setelah puas dengan bunga tidur yang mempertemukan dirinya dengan Alfredo. Dalam pembicaraannya, mantan Raja Al-Khadhra itu mengulang-ulang kalimat tentang mimpi yang pernah diceritakan pada putri kesayangannya.
"Demi Tuhan, aku tak melihat sedikit pun jalan terang dari gulita yang kutempuh. Tak ada cahaya barang setitik pun, padahal saat itu aku membawa banyak pengikut di belakangku. Perjalanan itu jauh tanpa ada tujuan dan tempat peristirahatan. Di akhir rasa lelahku, kaudatang. Sebagai cahaya."
"Kau sungguh akan menjadi cahaya, Dareena. Jika kepergianku, ibumu, kakakmu, serta Eneas membuat hatimu sempit, maka jangan sampai kaubiarkan hal itu berlama-lama. Kembalilah, pada Tuhanmu. Pada dirimu yang dulu. Jadilah cahaya, untuk semua orang."
Sungguh terasa begitu nyata, namun Dareena cukup tahu diri bahwa hal tersebut hanyalah mimpi belaka. Mengucek mata, lalu kebingungan karena bukannya mendapati Diana yang berada di sisinya, tapi Fayyad yang tengah membaca buku bersampul hijau tua dengan halaman yang begitu tebal.
"Kenapa kau ada di sini?"
"Menggantikan Diana menjagamu."
"Ke mana Diana?" tanya Dareena, membuat atensi Fayyad yang tadinya fokus kini teralihkan. Lelaki itu menatap Dareena sekilas, lalu membuang pandangan.
"Subuh tadi dia demam."
Dareena tersentak. Diana sakit? Apa karena selama seminggu tak berhenti merawatnya? Bahkan saat dirinya terbangun, wanita itu masih mengkhawatirkan kondisinya. Apakah bulir keringat pada dahi yang sempat dilihat oleh Dareena merupakan indikasi bahwa Diana telah demam bahkan sebelum subuh menjelang? Ah, tapi apa pedulinya?
Fayyad bangkit, menuju meja di tengah ruangan lalu menyodorkan sebuah ramuan pada Dareena, gadis itu mengernyit heran ketika cawan disodorkan padanya. Jika tidak salah mengingat, sang gadis pernah menolak saat Diana menyuruhnya meminum ramuan itu. Dari aromanya saja sudah tercium pahit.
Dareena menggeleng, menolak lagi. Fayyad menghela napas pendek.
"Diana membuatkan ini dalam keadaan demam untukmu. Jika tidak dihentikan Said, dia akan terus membuatkan lebih banyak untukmu," tutur Fayyad dingin, geram pada Dareena yang bisa-bisanya menolak.
"Aku tidak minta untuk dibuatkan. Lukaku juga sudah membaik, kau tidak perlu memaksa," balas Dareena, tak kalah dingin.
"Kata Said, adikku itu tidak tidur selama kau tidur. Mengurusimu yang mengigau sepanjang malam, selalu duduk di sisimu, mengurus lukamu, tapi untuk menerima buatannya saja kau masih keras kepala. Apa kau benar-benar manusia?"
Ucapan Fayyad jelas menohok hati Dareena. Yang pertama, ia baru mengetahui fakta bahwa Diana begitu sabar menungguinya hingga tidak tidur. Itu artinya selama empat hari, Said tidur seorang diri di kamarnya tanpa Diana. Kedua, tidak ada yang pernah menghujatnya secara langsung. Kemudian yang terakhir, ia baru mengetahui bahwa Diana adalah adik dari Fayyad.
"Berikan minuman itu." Dareena menyodorkan tangan, langsung diberikan oleh Fayyad.
Lelaki itu kembali duduk sambil membaca buku.
"Pahit," lirih Dareena, tapi sebisa mungkin diusahakannya untuk tidak mengeluh. Apa tidak ditambahkan madu atau gula?
Setelah menghabiskan isi dari cawan tersebut, Dareena mengambil segelas air di atas meja kecil di sebelah tempat tidurnya, cepat-cepat meneguk, tak kuat dengan rasa tidak enak di lidah.
"Hei," panggil Dareena pada sosok yang tengah berkutat dengan buku tebal itu. Ketika Fayyad menoleh, Dareena berujar, "Mengapa kau tidak membunuhku di medan perang?"
"Kau wanita, dan wanita tidak boleh dibunuh dalam peperangan." Fayyad kembali fokus pada bacaannya.
Dareena memutar bola mata. Lagi-lagi karena dirinya wanita.
"Karena kau meremehkanku dan kemampuanku, bukan begitu?"
"Tidak. Karena aku menghormatimu."
Dareena tercekat. Teringat perkataan Alfredo bahwa para Muslim memang tidak akan menyakiti atau membunuh wanita, apakah ia dapat membuktikan kebenaran itu saat ini? Ah, tidak. Gadis itu masih berpikir bahwa mereka hanya akan mengambil manfaat atas dirinya. Apalagi Fayyad tahu bahwa ia adalah pewaris kerajaan Al-Khadhra.
"Kau tidak perlu menahan diri untuk membunuhku. Sekarang, aku tidak akan melawan, kau bisa mengambil keuntungan itu untuk menebas leherku."
Fayyad melengos pelan, selalu kesal saat Dareena mengatakan ingin mati. Lalu apa gunanya selama ini Diana bersusah payah merawatnya?
"Baiklah jika itu yang kau mau."
Dareena menelan saliva susah payah, sedikit tak percaya jika ucapannya langsung disetujui Fayyad.
"Tunggu hingga lukamu benar-benar pulih. Jika nanti kau masih ingin dibunuh, akan kulakukan, tapi dengan cara bertarung satu lawan satu. Setidaknya untuk sekarang, jangan sia-siakan usaha adikku merawatmu. Aku tidak ingin mengambil keuntungan dari orang yang lemah."
Entah mengapa, sedikit kelegaan melingkupi hatinya. Entahlah, kini meski dendamnya masih terpatri, agaknya Dareena mulai plin-plan dengan perkataannya.
"Terlebih, ada pesan dan amanah dari pengawal yang nyaris membunuhmu yang harus kutepati, Dareena."
🗡⚔🗡
Heyyo, Yoru up!
Ngga terasa udah 25 judul aja, nih.
Mau tanya dong, kesan kalian pas udah baca cerita ini gimana?
Oh iya, bantu Yoru menumpas typo-typo non-akhlak yang bergerilya, ya! Jangan segan-segan untuk komen, Yoru ngga doyan gigit orang (͡° ͜ʖ ͡°)
Jangan lupa tinggalkan jejak ☆
Terima kaziii 💞
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro