21. Teguh
.
.
.
"Baru ditatap saja, ia sudah ciut. Dasar lemah,"
(Dareena)
.
.
.
🗡🗡
"Berjanjilah setelah ini, gunakan dengan bijak atau aku akan benar-benar meninggalkanmu."
Dareena mengangguk.
"Tapi sebelumnya ...."
Srak!
Dareena melotot, tak percaya pedang itu menusuk perutnya.
"Kau tetap harus merasakan pembalasannya, Tuanku."
🗡🗡
"Argh!"
"Ah, kau sudah bangun?"
Dareena mengatur napasnya yang memburu kian kencang. Seperti akan kehilangan setiap oksigen, gadis itu terbata-bata memasok udara ke dalam paru-paru. Keringat sebesar biji jagung mengalir membasahi kening, hingga anak rambut yang bertengger di dahinya lepek.
"Kau baik-baik saja?"
Perkataan wanita berkerudung yang datang menghampirinya tak digubris sama sekali. Dareena sibuk mencerna kejadian aneh yang baru saja dialami.
Apa ia baru saja bermimpi? Jika benar, maka pertanyaan selanjutnya yang dipikirkan oleh Dareena, mimpinya dimulai dari mana? Dari mulanya peperangan atau saat terdampar di alam antah berantah? Sungguh, demi apa pun yang ada di dunia, gadis itu sungguh lega menyadari huru-hara yang dialaminya hanyalah sebuah bunga tidur. Itu berarti ia masih hidup.
"Aku sedang di mana? Ayah ... Jav, Eneas ... m-mereka di mana?" Celingak-celinguk, Dareena mengitari atensinya menyapu segala sudut ruangan. Keningnya berkali-kali berkedut, atensinya memicing karena merasa tidak mengenali tempat ini, tapi ia tetap berpikir positif.
Mungkin ini ruang bawah tanah yang lain, batinnya.
Dengan binar harap yang begitu kentara, ia berusaha duduk dari kasur sederhana yang ditidurinya.
"Aw!"
Rasa perih yang berasal dari perut kini menjalar hingga ke kepala rasa ngilunya. Dareena meringis merasakan luka yang sepertinya sudah dijahit, tapi masih begitu basah. Spontan saja telapak tangannya meremas bagian perut yang dirasa perih lalu matanya membola menyadari cairan merah pekat nan kental merembes di jemarinya.
Sesaat matanya seperti berkunang-kunang, napasnya pun tersenggal menahan sakit, hingga untuk menelan ludah saja rasanya begitu pelik. Spontan sang gadis menyadari bahwa apa yang terjadi, kematian Alfredo, Javiero, serta Eneas bukanlah bunga tidur. Begitu pula dirinya yang berhasil selamat dari tusukan pedang.
"Ah, lukanya masih basah, Nona. Sebentar, saya bersihkan dulu."
Apakah ia pembantu istana yang baru? Mengapa aku tidak pernah melihatnya? Terlebih lagi, ia tampak ... berbeda, batin sang putri kembali bertanya-tanya.
Tak ingin memikirkan banyak hal, energi Dareena telah terkuras banyak saat mengalami perjalanan berat nan panjang, pun emosinya yang masih begitu bergejolak. Wanita berkerudung itu mengambil kapas, membaringkan lagi tubuh sang gadis.
Sesekali meringis dan nyaris mengeluarkan air mata akibat menahan perih, tapi Dareena tidak menolak perlakuan sosok di dekatnya. Wanita cantik di sebelahnya itu telaten mengelap darahnya yang bersimbah, juga tampak melakukan aksinya dengan perlahan.
"Tusukannya sangat dalam, jadi kemungkinan besar, luka ini akan lama sembuhnya," ujar wanita itu sembari tersenyum.
Dareena diam saja, tidak berminat mengangkat suara sekadar untuk merespon ucapan wanita itu. Pikirannya masih begitu kosong, melalang buana entah ke mana.
Wanita dengan baju yang menjuntai panjang nan longgar itu meletakkan kembali kapas sisa serta membuang sebagiannya yang telah berubah warna menjadi merah ke tempat sampah yang berada di sudut kamar.
"Bagaimana kondisimu?" tanya wanita itu, mencoba untuk beramah tamah.
"Buruk," jawab Dareena singkat tanpa mengalihkan pandangan kosongnya. Bukankah hal itu sudah sangat jelas? Dirinya mendapat banyak luka dalam beberapa hari. Ah, iya, bahkan sang putri tidak tahu sudah berapa lama ia tak sadarkan diri.
Iris abu-abu yang tempo hari berkobar penuh ambisi dendam, kini menatap sekeliling, hampa. Tak ada binar lagi. Sempurna, ia telah kehilangan hidupnya. Ayah, kakak, serta kekasihnya ... bukankah seharusnya ia ikut mati saja? Untuk apa menetap di dunia lebih lama jika hidupnya tanpa warna?
"Ini, diminun ramuannya." Segelas air dengan warna hijau pekat, berbau pahit yang begitu menusuk disodorkan pada Dareena. Patah-patah menoleh, melirik isi cawan tanpa minat lantas menggeleng, menolak tanpa suara.
Sudah hidupnya pahit, disodorkan minuman yang bahkan dari aromanya saja sudah menjelaskan tingkat pahitnya. Sungguh ironi bagi gadis yang dulunya penuh ambisi.
"Kau harus meminumnya, Nona. Ini akan sangat membantu untuk masa pemulihan luka itu."
Dareena menggeleng. "Tidak mau."
"Minuman ini campuran dari beberapa herbal, Nona. Rasanya memang sedikit pahit, tapi minuman ini ampuh dan dipercaya dapat meregenerasi sel yang hilang karena luka terbuka."
Ah, apa wanita di hadapannya sedang mencoba seorang tuan putri kerajaan itu untuk menyesap minuman aneh? Dareena masih menggeleng. Beberapa waktu lalu, ia diajarkan untuk tidak mudah memercayai orang lain, karena pengawal yang jelas-jelas tahu dirinya adalah keturunan murni raja saja dapat membunuhnya.
Pikiran liar Dareena kembali menjelajah. Mungkin dalam hari-hari sulit, ia terlalu banyak mendapat pelajaran yang menyakitkan hingga untuk bernapas saja rasanya begitu sulit. Jangan salahkan dirinya yang mungkin akan menjadi gadis lebih dingin, pendiam, serta pemurung.
"Aku telah menambahkan lima sendok madu juga di sini, jadi mungkin rasa pahitnya sudah sedikit terminimalisir. Ini tidak sepahit yang kau---"
"Bukankah udah kukatakan bahwa aku tidak ingin meminumnya?! Apa ucapanku kurang lantang?! Apa aku memintamu untuk merawatku?!" Tatapan Dareena berubah nyalang, lelah mendengar bujukan yang tak akan ada gunanya jika diteruskan, tak akan ada yang mampu membantahnya, setidaknya hingga sebelum dirinya tak sadarkan diri.
Wanita dengan senyum indah itu tergagap, tak menyangka respons dingin Dareena. Menelan ludah, sedikit gentar akan gertakan gadis di atas ranjang, wanita yang umurnya ditaksir setahun tahun di atas usia Dareena menundukkan kepala, menahan riak air matanya.
Ah, iya. Wanita itu begitu tampak cengeng, membuat Dareena tersenyum miring.
Baru ditatap saja, ia sudah ciut. Dasar lemah, batin Dareena, sedikit dalam hatinya merasa puas karena dapat membuat nyali wanita itu kusut. Dareena, di saat seperti ini, ia bahkan masih teguh memperhankan egonya.
Kau adalah pemegang pedang yang lemah. Dareena meremas surai coklatnya, kepala itu merasa begitu ngilu mengingat ujaran dari pedangnya, seakan perkataan dan ejekan sang gadis dikembalikan lagi padanya.
Ah, iya, di mana pedangnya? Dareena mengitari ruangan, tak dipedulikannya wanita yang sedikit terisak akibat bentakannya.
Ekor mata Dareena menangkap pedang miliknya yang terletak salah satu sudut dinding. Netranya tiba-tiba menampung banyak cairan, berkaca-kaca. Setidaknya jika memang Alfredo, Javiero dan Eneas sudah meninggalkannya, masih ada pedang yang menemani dirinya, menjadi saksi bisu atas perjuangan dan kegagalannya.
Namun ... apakah ia masih pantas?
Ingatan-ingatan dalam mimpinya terus bergema tanpa jeda, tak mengizinkan Dareena untuk bernapas teratur walau baru saja terbangun.
Dengan segala tekad, Dareena menurunkan kaki, meringis menahan ngilu di perut, namun perlahan bangkit dari ranjangnya. Wanita yang sejak tadi tertunduk untuk menguatkan hati itu membelalak. Sigap, ia ikut berdiri.
"Aw," lirih Dareena, sebisa mungkin ia menahan agar tidak menimbulkan suara, hingga bibir bagian bawah itu terpaksa digigitnya untuk meredam suara.
"N-nona, sebaiknya kau tidak dulu bangkit dari tempat tidurmu," cegat wanita itu, mencoba meraih bahu Dareena untuk direngkuh.
"Aku bukanlah urusanmu, jangan memasang tampang cemas berlebihan. Aku tidak suka wajah lemahmu." Bahkan di saat seerti ini, Dareena masih mampu berujar sarkas.
Berusaha mengabaikan perasaannya yang terasa bagai diremas---karena dirinya memang begitu khawatir dengan kondisi Dareena yang dilihat dari sisi mana pun terlihat sangat buruk---wanita itu berdiri di hadapan bungsu Al-Khadhra itu.
"Apa yang kauinginkan? Biar kuambilkan."
"Pedang di sana," seloroh Dareena telunjuknya mengarah pada pedang miliknya.
Sekilas, wanita itu tampak ragu hendak mengambil pedang itu atau tidak, Dareena tersenyum masam.
"Tidak bisa, huh? Biar aku saja, aku khawatir kalau kau tidak mampu menahan beratnya."
Berjalan terbungkuk dan sempoyongan, mengabaikan darah yang terus merembes lagi.
"Argh!" Kondisi tubuh begitu jujur, Dareena lupa itu. Terduduk, mengerang kesakitan, lukanya kembali menganga lebar.
Wanita yang dari tadi menatap cemas lagi-lagi harus kembali disibukkan oleh Dareena, ia mengambil kapas, serta obat bening dalam botol. Tergopoh-gopoh menghampiri Dareena lantas cepat tanggap membersihkan luka itu.
Dareena hanya dapat menahan perih yang lebih kuat dari sebelumnya, tidak mampu melakukan penolakan dan perlawanan. Perlahan, air matanya menetes menyadari betapa tidak berdaya kondisinya saat ini. Egonya membantah untuk rendah hati, yang dituruti oleh tuannya, hingga untuk berterima kasih, gadis itu terlalu gengsi.
Bukannya memang lebih baik ia mati saja?
"Minumlah, Nona!" titah wanita itu, di wajahnya mengalir keringat dingin, jelas saja ia begitu mencemaskan keadaan Dareena. Melihat sosok di hadapannya tak henti-henti mencampuri urusan dan memaksa untuk meminun ramuan, Dareena berang.
"Kau! Apa kau tuli, hah?! Aku tidak ingin meminum ini! Semua orang di dunia ini licik! Aku tahu kau pasti sudah mencampurkannya dengan racun!"
"Apa maksudmu, Nona? Sama sekali tidak ada niat buruk itu dalam hatiku," sanggah wanita itu cepat. "Ayo, minumlah."
Prang!
Cawan dari kaca itu meluncur karena ditepis Dareena, pecah berkeping-keping, membuat isinya ruah begitu saja.
"Ada apa ini?"
🗡⚔🗡
Bantu Yoru memberantas typo-typo yang berlalu-lalang, yups!
Terima kazii 💐
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro