Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

20. Tiga Kesalahan

.
.
.

"Diamlah! Diam! Sudah cukup aku mendengar segala hal yang menyakitkan! Teriakan apa lagi ini?! Jika memang aku harus mati, tusuk saja jantungku!"

(Dareena)

.
.
.

🗡🗡

"Cih! Apa Lazaro tidak mengajarkan sopan santun padamu?! Pedang berbicara pada tuannya, Dareena Helsanafa."

Dareena mengingat-ingat sekilas. Saking banyaknya nasihat dari Lazaro, ia sampai lupa apa saja yang pernah dikatakan guru tua itu. Namun ingatannya melayang pada beberapa bulan lalu, ketika ia mengerahkan dendamnya pada ayunan tongkat kayu.

"Gunakan ia sebagai alat, bukan sebagai pelampiasan. Pedang tahu tugasnya. Ia berbicara pada tuannya."

Ah, Dareena mengingatnya dengan baik kali ini. Ia lirikkan lagi atensinya pada pedang miliknya. Tak ada mulut, lidah dan alat untuk bicara. Kali ini gadis cantik keturunan eropa itu menyadari, bahwa hatinya yang tengah berbicara pada pedang itu.

"Terus jalan lurus. Ambil jalan kedua dari kiri."

Dareena mengangguk, mengikuti arahan. Sesekali, dari dinding sebelahnya ia mendengar suara teriakan pilu, seperti yang didengarkannya beberapa waktu lalu. Mencekam. Bulu halus di tengkuknya berdiri sempurna, apalagi di tempatnya berjalan terasa begitu dingin dan lembab.

Hening, lorong yang ditelusuri sangat panjang, seakan tanpa ujung. Kakinya telah gemetar, tapi gadis itu tak peduli.

"Hei, apa aku boleh menanyakan satu hal?" tanya Dareena lirih, menyadari sejak tadi tak ada lagi suara sang pedang.

"Silakan."

Dareena meneguk ludah kasar.

"Kau ... mengapa kau tidak menuruti perintahku saat berada di medan perang?"

Senyap, tak ada jawaban.

"M-maksudku, aku menghendaki agar kau menebas lawan, tapi mengapa kau seakan menolak?"

Masih diam tanpa jawaban, Dareena menelan saliva, apa pertanyaannya salah? Tentu saja hal yang ditanyakan sang gadis begitu mengganggu hatinya bahkan sejak pertempuran berlangsung. Di detik-detik sebelum dirinya tumbang, pedang itu terasa begitu kaku digerakkan, mudah meleset dan terasa lebih berat.

Merasa tak akan menemukan jawaban dari diamnya suara itu, Dareena memutuskan menelan rasa penasaran, melanjutkan langkah menelusuri lorong yang entah kapan habisnya.

"Kau belum menyadari kesalahanmu, Dareena?"

Terperanjat mendengar sahutan lirih yang ditunggunya, Dareena menghentikan langkah sekejap.

"Aku tidak memiliki kesalahan," jawab Dareena, begitu percaya diri tanpa keraguan. Dirinya memang merasa demikian, tidak memiliki kesalahan.

"Selalu saja keras kepala. Masih sama seperti yang kurasakan saat kau pertama kali memilihku."

Terdiam mencerna, Dareena mengernyit. Ah, mengapa banyak orang begitu suka berbasa-basi? Oh bahkan sebuah benda ini pun sedang berbicara melantur. Apa susahnya menjawab pertanyaannya?

"Hei, dengar. Yang kubutuhkan adalah jawaban, jadi jangan bertele-tele."

"Ah, baiklah. Aku akan mengatakan kesalahanmu secara rinci. Teruslah berjalan, jangan berhenti. Jika nanti kau mendengar suara-suara aneh, jangan berhenti."

Merasa janggal mendengar ucapan pedangnya, Dareena mengerutkan dahi. "Maksudnya?"

"Oh, bisakah kau menurut saja tanpa banyak bertanya?"

Mau tak mau, Dareena menghela napas, dirinya begitu kesal. Apa yang salah jika ia bertanya? Namun, gadis itu hanya bungkam, mengangguk dan melanjutkan derap langkahnya.

"Kau memiliki tiga kesalahan besar, Dareena."

Ketar-ketir menunggu ucapan selanjutnya, Dareena mulai menapaki lorong gelap itu lagi.

"Kau salah menggunakanku sebagai pelampiasan."

Dareena tentu tidak menyalahkan perkataan itu, ia memang mengincar dan menggunakan titanium itu sebagai pelampiasan.

Seketika suara dengung begitu tajam menembus telinga sang gadis. Dareena sekuat mungkin menahan diri agar tidak berhenti, sedangkan lengkingan itu seakan tak berhenti menusuk gendang telinganya.

"I-ini s-suara apa?"

"Jangan bertanya, tetaplah berjalan. Kesalahanmu bukan hanya satu, dan hal yang akan kaudengar juga bukan hanya itu."

Meringis, Dareena melanjutkan lagi, kali ini berjalan lebih cepat, berharap segera menemukan akhir dari lorong panjang ini.

"Kau selalu menuruti egomu, bukan bisikan hatimu."

Ah, gadis itu malah menyangka bahwa bisikan hatinyalah yang menyebabkan ego itu bergerak agresif.

Suara tawa nyaring tiba-tiba terasa memenuhi ruangan. Bergidik ngeri, karena hanya dirinya dan pedang di sana, lantas siapa yang tertawa berlebihan begitu? Sesaat kemudian Dareena menyadari bahwa ia hanya harus berjalan, tanpa banyak berbicara.

"Kau membuat Javiero mengorbankan hidupnya untukmu. Kau adalah gadis pemegang pedang yang lemah."

Suara jeritan kini menggantikan gelak keras tadi. Jerit ini begitu nyaring, beriringan dengan luka yang terasa begitu perih. Dareena menutup telinga, merasakan huru-hara dalam hati. Ia kembali diingatkan tentang orang-orang terdekatnya yang sudah tiada, dan itu disebabkan olehnya.

Mata sang gadis seperti ingin keluar saat mendengar suara jeritan itu semakin dekat dan mencekam. Memorinya kembali, ingatan tentang pedang yang menewaskan sang kakak dan ayah. Beralih ke momen dirinya mendapat kabar kematian Ivina beberapa tahun silam serta tubuh dingin Eneas yang membeku dengan bersimbah darah.

Jeritan pilu itu membawa lagi rasa sakitnya.

"Terus jalan, jangan berhenti!"

"A-aku ... aku tidak kuat."

"Ah, begitu. Apa aku juga harus meninggalkanmu karena kau tak mampu menjadi pemilik pedang yang sejati?"

Dareena terduduk bersimpuh, sendinya seakan lepas dari otot, seakan tanpa daya untuk sekadar menopang tubuh. Tangannya menggenggam kuat pegangan pedangnya yang berwarna marun.

"T-tidak, ja-jangan. Hanya kau ... hanya kau satu-satunya yang kumiliki saat ini."

Jeritan pilu itu kembali kencang menyapa telinga, seakan menghardik sang putri karena ucapannya.

"Tidak salah kauingin aku tetap berada bersamamu? Bukankah karena memperjuangkanku dan dendammu, kau jadi kehilangan segalanya?!"

Dareena tergugu, sementara jeritan melengking itu terus berputar pada frekuensi yang sama, dengan intonasi lebih tinggi, membuat nyali sang putri begitu ciut.

"Diamlah! Diam! Sudah cukup aku mendengar segala hal yang menyakitkan! Teriakan apa lagi ini?! Jika memang aku harus mati, tusuk saja jantungku!" Frustrasi, namun bagaimanalah? Bungsu Al-Khadhra itu sudah cukup dalam memendam rasa sakit, sudah cukup lelah menahan sesak.

"Bahkan aku belum menyebutkan kesalahanmu yang terakhir, tapi kau sudah berkata ingin mati? Kau tersiksa dengan apa yang kaudengar? Sungguh, kau memang tak pantas membersamaiku."

Dareena mengusap kasar air matanya. Sekalipun sulit, ia memaksakan diri untuk berdiri, melanjutkan berjalan. Menghalau teriakan-teriakan yang masih bergelayut dengan menutup telinga.

"Kau masih mau maju ternyata. Sebegitunya ingin mempertahankanku?"

Dareena hanya diam, tidak menanggapi. Rahangnya mengeras, giginya bergemerutuk. Ia sedang berusaha sekuat mungkin menahan serangan-serangan batin, tak berminat banyak bicara atau ia akan menyesalinya nanti.

"Kesalahanmu yang selanjutnya adalah membunuh rakyatmu sendiri. Mereka tidak bersalah dan kau tanpa merasa berdosa menebas mereka dengan pedangmu ini. Sungguh rendah derajatmu, Tuan Putri Dareena."

Suara tangis, jeritan, dan dengung kini menjadi satu, berpadu begitu sempurna menghajar indra pendengaran Dareena. Membuat hati sang gadis semakin kicep kala menangkap gelombang suara itu.

Dengan perasaan yang sudah seperti tulang diremukkan, Dareena tetap berjalan.

"Kau membunuh mereka hanya karena melampiaskan kekesalanmu, tanpa tahu bahwa itu adalah kesalahan fatal seorang putri raja."

Sekarang, bukan hanya campuran audio saja yang didengar, namun kepalanya seakan dipukul godam besi. Berat, sakit. Matanya berkunang-kunang. Sempat rebah, tapi gadis itu tangkas menahan dengan lututnya.

"Dan setelah semua yang kaulakukan, kau masih berharap aku akan terus berada di sisimu?!"

Dari arah belakang punggungnya, seakan ada yang melemparkan bola besi, hingga membuat tubuh Dareena rebah dengan posisi telungkup.

"Bukankah kau seharusnya mendapatkan balasan yang setimpal?!"

Dareena menutup kelopak matanya, mengalirkan air mata di sana. Dirinya menyesal, tak ada yang bisa menyangkal. Namun untuk berbicara pun, ia merasa tak kuasa. Energi dan emosinya telah habis ditekan oleh suara-suara mistis di sekitar, ditambah lagi kini pedangnya seakan ingin menghabisinya.

"Mengapa aku tidak menuruti perkataanmu saat terakhir kali kau berada di medan perang? Karena kau sudah menyalahi aturan berpedang, Dareena. Tidak ada pemegang pedang sejati yang membunuh temannya."

Ah, ternyata karena itu. Dareena tersenyum miring, tak menyangka hidupnya akan menjadi semenyedihkan ini.

"Demi Tuhan, aku tak melihat sedikit pun jalan terang dari gulita yang kutempuh. Tak ada cahaya barang setitik pun, padahal saat itu aku membawa banyak pengikut di belakangku. Perjalanan itu jauh tanpa ada tujuan dan tempat peristirahatan. Di akhir rasa lelahku, kaudatang. Sebagai cahaya."

Perkataan Alfredo terngiang di kepala Dareena, sedikit membantu menghalau teriakan absurd nan menyakitkan.

Cahaya, ya, Ayah? Apakah ... apakah masih ada kesempatan? batin Dareena, bertanya dalam hati pada diri sendiri.

"Selalu ada kesempatan, jika kau ingin."

Setengah tak percaya, dirinya terperanjat melihat cahaya mulai benderang, menggantikan tempatnya yang tadi gulita. Suara-suara yang menyakitkan pun lenyap sudah.

"Bangkitlah."

Tanpa disuruh dua kali, patah-patah sang gadis berdiri, dengan betis dan lutut yang bergetar dan ngilu di bagian perut bekas tusukan.

Pedang milik Dareena perlahan terangkat, kehilangan daya gravitasi.

"Berjanjilah setelah ini, gunakan dengan bijak atau aku akan benar-benar meninggalkanmu."

Dareena mengangguk.

"Tapi sebelumnya ...."

Srak!

Dareena melotot, tak percaya pedang itu menusuk perutnya.

"Kau tetap harus merasakan pembalasannya, Tuanku."

🗡⚔🗡


Seperti biasa, bantuin Yoru untuk memberantas typo-typo yang berserakan, ya! 😉

Terima kazi 💐






Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro