Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

15. Berjanjilah

.
.
.

"Berdoalah, Tuhan akan mendengarkan. Doakan aku agar mampu kembali untukmu, pulang padamu. Hatiku ada bersamamu."

(Eneas)

.
.
.

🗡🗡

"Dareena?!"

"Jav---"

"SEDANG APA KAU DI SINI?!"

Trang!

Javiero cepat menghajar sosok di hadapan Dareena, padahal pemuda berbaju putih itu tidak sedang mengancam adiknya. Alih-alih mengambil kesempatan untuk menebas sang gadis yang dalam keadaan lemah, ia malah diam saja. Namun, begitu Javiero menyerang, posisinya kembali siap dan kokoh.

Dareena sama sekali tidak menyadari, bahwa sedari tadi sang kakak juga bertarung dengan posisi yang berdekatan dengan dirinya. Tepat di saat Javiero menebas lawan, penutup wajah Dareena sobek, spontan menghentikan aksi sang kakak yang hendak menyerang lawan.

Terkejut, juga marah. Bukankah sang adik telah berjanji untuk menetap di istana? Mengapa ia keluar, saat peperangan sedang genting pula?

Mengabaikan rasa sakit setelah melihat tubuh sang ayah yang tanpa lengan telah terbujur kaku, kini tujuannya bukan lagi untuk memenangkan pertempuran. Fokusnya sekarang adalah melindungi bungsunya, seperti amanah yang selalu dititipkan Ivina dan Alfredo pada pundak kokohnya.

Trang-ting!

Zash-wush!

Dareena dapat melihat dengan jelas bahwa gerakan sang kakak sedikit terbatas. Sepersekian detik kemudian ia menyadari dengan jelas bahwa betis Javiero dibebat kain dengan noda merah yang begitu banyak. Memanfaatkan situasi yang leluasa, gadis itu meraih pedangnya, tak ingin menyia-nyiakan pewaris kerajaan itu semakin tersudut.

Ya, tersudut. Sebisa mungkin Javiero menahan serangan, sesekali getaran di kakinya tampak begitu kentara menahan perih. Orang yang menyerangnya bukanlah sembarang manusia, staminanya seakan tak pernah habis.

Slash!

"Argh!"

"Jav!" teriak Dareena tertahan saat menyaksikan dengan kepalanya sendiri tubuh sang kakak rebah, garis panjang dengan posisi miring menggores dadanya yang tanpa pelindung apa pun cukup panjang. 

Dareena menarik napas dalam, air matanya kembali menetes, membuat mata itu mengobarkan api kemarahan. Tidak akan ia biarkan Javiero ikut menyusul Alfredo dan Ivina, apalagi karena melindungi dirinya.

"Pergi, Reena!" seru Javiero lantang sembari menahan serangan lawannya.

"Tidak, aku akan ikut bersamamu!"

"Pergi, bodoh!"

Trang!

"Tidak, kecuali bersamamu."

Trang!

Dareena merangsek maju, membiarkan Javiero bernapas sebentar setelah menahan sakit sejak tadi. Serangan Dareena sedikit brutal, namun orang di hadapannya hanya menahan tebasan, tanpa balas menyerang.

"Kenapa kau?! Kenapa tidak menyerang?! Dasar lemah laknat!"

Trang!

Serangan horizontal dari Dareena yang menyasar perut lawannya berhasil ditahan dengan baik.

"Mundurlah, perempuan tidak sepantasnya ikut dalam peperangan!" balas lelaki itu dengan suara yang sedikit keras, menyaingi kebisingan sekitar.

"Kau saja yang mundur! Kau yang hendak merampas kerajaanku!"

Trang!

Lagi-lagi serangan Dareena mampu ditangkis dengan baik. Gadis itu mulai terengah, namun sepertinya lawan berpedangnya hanya sedikit mengucurkan keringat di pelipisnya, seakan tak pernah lelah.

"Pulanglah!"

"Tidak! Katakan saja jika kau takut dan ingin mundur!"

"Kalau begitu, jangan bertarung denganku! Kau takkan pernah kubunuh!"

Trang-ting-trang!

"Pengecut!"

"Reena!"

Spontan kepala dengn surai coklat itu menoleh ke belakang, mendapati Javiero yang berusaha bangkit, bertumpu pada pedangnya, sedangkan baju bagian depannya telah lepek karena darah. Wajah yang tampan itu kelihatan begitu pucat dengan bibir yang sudah sangat putih. Maju perlahan, lebih dan semakin mendekat.

"Tetap di sana, Jav!" teriak Dareena, namun nihil. Javiero seolah menulikan telinga, berlari terseok dan mengarahkan pedangnya dengn posisi horizontal tepat pada jantung lawan.

Trang!

Atensi sang gadis melebar saat melihat tebasan dari Javiero ditangkis keras, membuat jemari sang putra mahkota yang sebenarnya sudah mencapai batasnya itu tak cukup kuat untuk mempertahankan pedang agar tetap berada di genggamannya. Ya, pedang dengan ukiran berwarna emas, berhiaskan lambang phoenix itu terlepas, menancap di tanah.

"Javiero!"

Slash!

"JAV!"

Tanpa disadari, tangan Dareena ditarik oleh Eneas hingga posisi gadis itu sekarang berada di atas kuda yang berlari, menyaksikan tubuh Javiero meregang nyawa setelah lehernya ditebas oleh lawan mereka yang begitu tangguh.

"JAV!" Terisak kuat, dadanya merasa begitu sempit. Megap-megap, memukul dada, tapi masih sempat beberapa kali melihat ke belakang, kemudian kembali berteriak kencang.

"Turunkan aku! Turunkan!" Dareena memukul kuat punggung Eneas yang mengendarai kuda. Ia harus menemui Javiero, setidaknya terakhir kali sebelum matanya tidak lagi bisa dibuka.

"Tidak!"

"Turunkan! Aku akan lompat–--"

"Dareena!" Dengan sigap, Eneas menangkap pinggang Dareena sebelum gadis itu benar-benar melompat.

"Lepaskan! Kau telah membiarkan Jav terbunuh!"

Eneas menggeram, giginya bergemerutuk. "Lantas siapa yang membuat Jav berakhir menyedihkan seperti sekarang?! Bukankah kau berjanji akan tetap di istana?!" bentak Eneas, urat-urat di lehernya mencuat, membuat Dareena tergugu, menyadari kesalahannya.

Lelaki dengan rambut pirang itu memecut kuda, membawa Dareena ke tempat yang lebih tenang di tenda tempat mereka istirahat. Tangannya sesekali menahan serangan lawan, juga menebas jika ada kesempatan.

Tanpa disadari, Eneas pun menitikkan air mata, membiarkannya jatuh dan hilang terbawa angin. Tak ada yang tahu bahwa lelaki itu begitu kesulitan bernapas saat ini, menyaksikan kematian Javiero, sahabatnya, serta Alfredo. Mungkin saat dirinya pulang nanti, sang ayah akan marah besar karena dirinya tak mampu melindungi sahabat ayahnya.

Eneas juga marah pada dirinya sendiri, tidak dapat melindungi keduanya dan juga tak mampu menjamin keamanan sang pujaan hati dari istana. Untung saja tadi ia cepat menemui gadis itu, jika tidak, entah bagaimana nasibnya. Kali ini, ia tak akan membiarkan Dareena ikut pergi, bagaimanapun caranya. Tak lagi ingin merasakan kehilangan.

Dari belakang, Dareena memeluk kuat tubuh Eneas dengan sebelah tangan---karena sebelahnya lagi menggenggam pedang---menumpahkan segala sesaknya di sana. Kehilangan adalah hal yang paling berat dan sekarang ia kehilangan Javiero karena dirinya sendiri. Mempererat pelukan, tak ingin melepas Eneas, atau yang ia takutkan kelak akan pulang dengan status gadis yang sebatang kara.

Namun, karena sudah berada di medan perang, bukankah tak seharusnya gadis itu mundur? Ia harus tetap maju atau ... mati.

"Turunlah!" titah Eneas, masih dengan oktaf yang cukup tinggi. Dareena menggeleng pelan. Sesekali isaknya lolos, mampir di telinga Eneas.

Dareena masih memeluk kuat lelaki di hadapannya. Menyesali dirinya yang tetap bersikeras untuk turun ke medan perang hingga Lazaro repot-repot melatihnya dan nanti mungkin akan mendapatkan hukuman yang berat karena telah membiarkannya pergi. Namun, mengingat tak ada lagi raja yang akan menjatuhi hukuman, hatinya terasa dikoyak-koyak.

"Dareena," lirih Eneas, memanggil lembut seraya menoleh ke belakang. Gadis yang dipanggil itu mendongak.

"Maafkan aku, Eneas. Aku bersalah. Sungguh, aku mohon---"

"Tak apa. Lupakan segalanya. Tetaplah di sini. Ini adalah permohonanku yang terakhir, kuharap kau tidak menolak, Reena," potong Eneas. Dareena menggeleng.

"A-aku harus membalaskan dendam ibu, ayah, dan Javiero, Eneas."

"Percayakan padaku, Reena."

Dareena menggeleng. "Bagaimana jika kau tidak kembali? Kalau kau menyusul---"

"Aku akan kembali untukmu."

"T-tidak, Eneas. Jika kau pergi, aku akan ikut, dan jika aku tinggal, maka kau juga harus tinggal."

"Dareena---"

"Aku ... aku hanya tidak sanggup menerima kenyataan jika kelak kau ... kau ...." Ucapan Dareena terputus karena isaknya yang lagi-lagi lolos. Sungguh, tak ada yang bisa mengerti bagaimana hatinya telah ditempa kebencian dan ketakutan. Kebencian karena mereka yang telah mengambil nyawa keluarganya serta ketakutan jika Eneas akan menyusul Ivina, Alfredo, serta Javiero.

Gadis itu takut, kelak ia tidak lagi memiliki siapa pun.

Eneas tersenyum, melepas kalung berbandul salib miliknya lantas menyerahkan pada Dareena.

"Berdoalah, Tuhan akan mendengarkan. Doakan aku agar mampu kembali untukmu, pulang padamu. Hatiku ada bersamamu."

Dareena bergetar menerima pemberian Eneas, lekas memakai kalung tersebut di leher jenjangnya.

"Tunggulah aku di sini, Tuan Putri. Pasukan kita butuh pemimpin, dan itu adalah tugasku untuk menggantikan Alfredo dan Javiero."

Kali ini Dareena mengangguk, mengusap air mata yang meluncur di pipi. Eneas turun lebih dulu, mengulurkan tangannya pada sang putri untuk membantu.

Eneas meraih kepala Dareena, mendekatkan bibirnya menuju kening sang gadis, mengecupnya lama. Menenggelamkan semua rasa, mewakili cinta, dan menitipkan rindu. Gadis itu memejamkan mata, membiarkan bulir bening mengalir lagi, merasakan hatinya menghangat oleh perlakuan Eneas.

"Baiklah, aku harus pergi." Eneas melepaskan kecupan, menekuk sebelah lutunya, meraih tangan Dareena lalu kembali mengecup singkat punggung tangan itu.

Sesaat setelahnya, Eneas kembali menaiki kendaraan berperangnya.

"Berjanjilah padaku bahwa aku tak lagi harus membalaskan dendam ibu, ayah, Jav, dan dirimu."

Eneas tersenyum lagi, menampilkan wajah teduh miliknya walau sudah kacau dan berselimut sedikit debu. "Aku berjanji."

🗡⚔🗡


Ingetin Yoru kalau nemu typo, yah.
Kritik dan sarannya juga Yoru terima sepenuh hati. 💞
Sebenarnya Yoru takut kalau part ini ngga dapet feel-nya.
Kalau menurut teman-teman, part ini gimana? Komen, yah.

Mau lanjut?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro