Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

11. Petunjuk


.
.
.

"Makin dewasa, kau akan makin mengerti, mengapa sebagian orang tetap teguh mempertahankan prinsipnya, mengabaikan kebenaran dan waktu yang terus berjalan. Mereka lupa, bahwa mereka tidak abadi."

(Ivina)

.
.
.

"Esok, jangan keluar dari gerbang istana."

Dareena tampak berpikir sejenak, memejamkan mata sebentar, lalu menatap tegas iris abu-abu kecoklatan sang kakak.

"Diterima."

🗡🗡

Dareena tak dapat memejamkan matanya malam ini, sedikit kehebohan pesta anggur di luar---tradisi mereka sebelum bertempur esok---mengusik tidurnya. Begitupula euforia yang sedikit dirasakannya, menambah daftar hal yang membuatnya sulit menutup kelopak mata dan menikmati mimpi.

Siang tadi, Javiero benar-benar menemaninya latihan. Dareena bahkan merasakan energi kuat sang kakak yang tak segan-segan membuatnya terjatuh, terus mengayunkan pedang, menepikan rasa kasihan. Begitu pula sang adik, tak sungkan menyabet udara.

Hingga akhirnya, gerakan manipulatif dirinya berhasil mengelabuhi putra pertama Kerajaan Al-Khadra. Serta merta Dareena mengacungkan pedang, tepat di tengah pertemuan kedua alis kakak lelakinya, membuat lawannya itu tak berani bergerak, lantas Dareena maju selangkah, menyentuh kepala Javiero.

"Apa dengan menyentuh kepalamu aku bisa menuntaskan janjiku tadi?" Dareena menurunkan pedang, tersenyum miring menyaksikan ekspresi terkejut sang kakak. Masih dengan napas pendek-pendek, bungsu terhormat itu bersiaga.

"Janji yang mana?"

"Janji agar esok tidak keluar dari gerbang istana."

Javiero mengatur napas. "Itu janji yang kau setujui sebagai syarat agar aku bisa menemanimu latihan hari ini, Reena."

"Kalau begitu, menyentuh kepalamu akankah bisa menghapus kebijakan tidak tertulis tentang dibolehkannya anggota kerajaan untuk ikut berperang?"

Javiero melengos. "Aturan itu melibatkan guru dan muridnya, Reena, tidak akan bisa diubah."

Dareena tertegun. Ini artinya, demi menjaga kehormatannya agar tetap dapat dipercaya, ia harus menepati segala janji dan mengamalkan tiap peraturan, baik yang tertulis maupun tidak.

"Lagipula, yang tadi itu aku hanya terlena saja, ada kupu-kupu musim gugur yang lewat, membagi fokusku."

"Ck, akui saja kalau kemampuanku membuatmu terkejut, Tuan Javiero." Dareena mencebik.

Javiero terkekeh renyah, "Sudah hampir malam. Bersihkan dirimu dan pergilah tidur. Kuharap, kau bisa menepati janjimu."

Berakhirlah Dareena di bawah bingkai jendela yang tinggi. Menatap langit yang tertutup awan kelabu, tidak ada bintang, tidak pula purnama.

Membuka bingkai jendela, merasakan sapaan semilir malam yang menyapa pori-pori kulit, masih saja gelisah. Karena semangat dan emosinya memuncak, itulah hal yang menyebabkan ia menerima syarat dari Javiero, karena dalam hati sudah yakin ia akan menaklukkan sang kakak sore tadi. Bungsu Al-Khadra itu juga mengira, mungkin keputusan Javiero akan berubah jika ia dapat menyentuh kepalanya dalam latihan tadi.

Bukankah harusnya Javiero merasakan dendam yang sama dengan Dareena? Bukankah Alfredo juga demikian? Lantas mengapa tidak ada sedikit pun niat mereka untuk memberi gadis bersurai coklat itu peluang untuk bersama membalaskan dendamnya?

Pandangan Dareena seketika tertuju pada salah satu sisi kamar, terlihat jelas lambang salip yang agung, berdiri tangguh di sebelah pigura Bunda Maria. Membawa langkah mendekat, Dareena bersimpuh.

Menautkan jemari, menengadahkan kepala, memejamkan mata. Hatinya memohon petunjuk pada Tuhan agar diberikan jalan keluar.

"Tolong berilah aku kesempatan untuk membalaskan dendam ibunda, Ya Kristus. Teguhkan hatiku untuk berjuang di jalan-Mu, menumpas manusia-manusia rezim yang hendak merebut segala hal dari negeriku. Tolong, beri aku jalan keluar. Tak masalah jika kelak nanti, aku akan menjadi salah satu manusia yang menyusul ibunda ke surga."

Dareena membuka mata, mengusap bulir bening yang jatuh dari sana. Sungguh, selain dendam, hanya ada perasaan rindu yang datang, juga sedikit cinta yang tak hilang.

Gadis itu bangkit, sedikit menyingkap gaunnya yang mengembang di bagian bawah, membawa kembali dirinya ke atas ranjang yang bisa menampung delapan orang. Netranya masih menatap bebda keramat itu, tak menyerah untuk berharap agar diberikan petunjuk.

"Makin dewasa, kau akan makin mengerti, mengapa sebagian orang tetap teguh mempertahankan prinsipnya, mengabaikan kebenaran dan waktu yang terus berjalan. Mereka lupa, bahwa mereka tidak abadi."

"Kau tahu apa yang abadi, Reena? Doa, harapan, dan Tuhan. Kau, aku, siapa pun akan mati, karena hidup dan mati bukanlah pilihan, tapi ketetapan. Yang merupakan pilihan adalah caramu meregang nyawa. Dengan terhormat atau sebagai pecundang."

"Hiduplah sebagai wanita yang menjunjung tinggi kehormatannya, patuh pada Tuhannya, selalu pada fitrahnya, dan setia terhadap perjuangannya. Kau selalu berada di persimpangan, Reena. Pilihlah jalan yang dengan melihatnya, kau menemukan cahaya."

Perkataan Ivina beberapa tahun lepas terngiang di kepalanya. Tentang waktu, kematian, dan prinsip.

Entah atas dasar apa, memori itu terulang lagi. Beberapa saat sebelum perang yang merampas jiwa Ivina terjadi.

Ah, mengapa kenangan itu yang muncul? Bukankah dirinya tengah meminta solusi, bukan hendak menangisi masa lalu dan meratapi apa yang pernah terjadi? Mengapa Tuhan seakan memperingatkannya tentang waktu, keabadian, dan kaidah kehidupan seorang wanita? Membuatnya semakin sulit memejamkan kelopak mata.

Gadis itu telentang, menatap langit-langit kamarnya yang begitu tinggi. Apa yang selama ini dilakukannya salah? Apa Yesus mencoba mengingatkannya lewat perantara ingatan masa lalu?

"Ingatlah, ketika ada janji yang tak bisa kau tepati, cari celah lain agar kamu bisa menghindar tanpa mengingkari janjinya. Kau, adalah putriku yang cerdas, Dareena."

Ah! Benar! Dareena segera bangkit, kembali pada lambang salip lalu bersimpuh, bersujud. Terima kasih karena telah memberinya jalan keluar.

Jika tidak boleh keluar dari gerbang istana, ia akan mencari jalan keluar dari pintu belakang yang menghubungkan kandang kuda istana dengan pemukiman warga.

🗡🗡

"Jangan menyusul, apa pun alasannya." Dareena mengangguk, mennaggapi perkataan sang ayah yang sudah lengkap dengan zirah, pedang, serta perisainya.

Kuda hitam yang ditunggangi Dareena sedikit berjalan maju, memudahkannya untuk memeluk sang ayah tanpa hatus turun dari kendaraan itu.

"Tuhan memberkatimu, Ayah," ujar Dareena. Sempat berkaca-kaca, namun Alfredo memilih untuk mengalihkan pandangannya. Sedikit berat untuk berpisah dan meninggalkan Dareena seorang diri.

"Demi Tuhan aku akan membunuh diriku dengan pedangku sendiri jika kau ikut keluar seperti ibumu dulu, Dareena." Alfredo bersumpah sambil menatap tajam sang putri.

Dareena mengangguk. Itu tidak akan terjadi. Jika terjadi pun, ia harap dirinya tak akan terkenali.

Alfredo memecut kuda, membuat hewan itu berlari keluar dari gerbang yang dibuka lebar.

Javiero menuntun kudanya agar mendekat pada sang adik, heran mendapati wajah cantik itu tak murung sama sekali seperti kemarin sore.

"Kau telah berjanji, Reena." Dareena mengangguk, ia tentu tidak sedang lupa. "Namun, mengapa kau kelihatan begitu bahagia? Kau membuat rencana lain?"

Dareena menerawang langit yang sedikit mendung, terseyum. "Tidak, Jav. Tuhan memberiku petunjuk." Tertular, Javiero ikut tersenyum. Kakak lelaki dari bungsu Al-Khadra itu memeluk lama Dareena, entah mengapa terasa begitu berat. Tanpa harus menunggu merebaknya air mata, Javiero memecut kudanya, ikut menyusul Alfredo.

"Aku akan kembali dan kita akan menikah, Reena. Tolong jaga kepercayaanku, jangan ikut ke medan. Jika aku tak kunjung pulang, berdoalah saja pada Tuhan agar kita dipertemukan kembali dalam mimpi."

Ah, mengapa firasat Dareena tidak enak?

Gadis itu mengangguk, menatap dalam iris kecoklatan milik Eneas.

Pangeran dari kerajaanaeberang yang memutuskan untuk ikut serta mengirimkan banyak tambahan pasukan kepada Al-Khadra itu sedikit mendekat, hingga kuda putihnya dan kuda hitam mereka bersinggungan. Meraih wajah Dareena, Eneas menangkup sosok jelita itu.

Mendekatkan bibir menuju kening sang gadis, mengecupnya lama. Menumpahkan segala resah yang ditahan, membuat Dareena seerti ikut merasakan perasaan Eneas yang begitu dalam dan lembut.

"Aku akan pulang dan kita akan bertemu lagi, aku berjanji."

🗡⚔🗡


Jangan segan-segan ingatin Yoru kalau kalian nemu typo, yah!
Kritik dan saran teman-teman juga akan sangat membantu.
Terima kasih. 🤗🌹

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro