Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

10. Satu Syarat

.
.
.

Apa kelak aku bisa menebas leher-leher mereka? Atau mampukah nanti kupisahkan pinggang dari perut mereka? Terlebih dari itu, sanggupkah aku bertahan lalu kembali?

(Dareena)

.
.
.

"Sebelum itu, aku ingin bertanya satu hal."

Eneas mendesah berat. "Sudah larut, Reena. Tidurlah saja, masih ada esok untuk membicarakan pertanyaanmu."

"Jawab saja, atau aku tidak akan pergi tidur."

Jika sudah begitu, artinya Dareena memang serius. Rasa penasaran gadis itu memang begitu besar sejak kecil. Namun, jantung Eneas berdegup sedikit lebih kencang. Pasalnya, kali ini ia menduga Dareena tidak akan bertanya tentang hal-hal sepele. Mempersiapkan diri, pangeran dari kerajaan seberang itu menangguk, memberi ruang pada bungsu Al-Khadra untuk mengajukan pertanyaan.

"Kau mengetahui banyak hal tentang kerajaanku, bukankah begitu?"

Eneas tersenyum miring. Bahkan di pertanyaan pertama saja, Dareena sudah seperti memancingnya untuk menjelaskan banyak hal.

"Lumayan banyak," jawab Eneas singkat, tak merasa perlu memberi kejelasan, ia yakin Dareena akan bertanya lebih lanjut.

"Termasuk beberapa hal yang belum kuketahui?"

Eneas mengangguk ringan, membuat Dareena mendengkus. Bagaimana bisa lelaki itu mengetahui banyak hal sementara dirinyalah yang seharusnya lebih memahami? Hei, ini ranahnya.

Ah, mungkin anggukan Eneas sudah menjadi jawabannya. Dareena mengeratkan jaket, bangkit dari duduknya. Sedikit bagian dalam hatinya tidak menerima jika lelaki dari kerajaan seberang itu lebih banyak mengetahui tentang kerajaan Al-Khadra dibanding dirinya. Di sisi lain, mungkin tak ada salahnya lelaki itu lebih terbuka pada Alfredo tentang fakta-fakta istana mereka.

Tetap saja, gadis itu seperti merasa kerdil jika dibandingkan dengan Eneas yng lebih banyak mengetahui. Ah, rasa gengsinya semakin banyak bertambah.

"Kau hendak ke mana?"

"Aku akan pergi tidur," jawab Dareena dingin.

"Kau tidak ingin bertanya lagi?"

Sungguh dalam hatinya, Eneas ingin menghabiskan waktu lebih lama dengan Dareena---jika ia tak menyinggung soal peperangan---termasuk jika berbicara kritis tentang banyak topik. Namun, sepertinya Dareena sedang memendam banyak hal, hingga tak lagi berminat untuk berdebat atau bertanya lebih banyak.

"Kau juga tidurlah, persiapan esok membutuhkan tenaga, bukan?" Sebisa mungkin, Dareena menyunggingkan senyuman.

"Tidurlah lebih dulu. Seorang prajurit masih mampu bertahan tiga malam tanpa tidur untuk melanjutkan peperangan."


🗡🗡

Sejak bangun tidur, Dareena sudah disajikan pemandangan tiap pengawal kerajaan yang mondar-mandir. Beberapa sudah memakai baju besi. Di antaranya sedang memastikan pedang dalam keadaan baik, sebagiannya lagi memilah perisai.

Angin berembus, membawa udara yang menusuk kulit. Dareena menuju halaman belakang, membawa pedang miliknya. Kali ini, ia harus lebih keras berlatih, agar besok ia tak menyesali keputusannya ikut ke dalam barisan para prajurit.

Sejak tadi, sang putri juga tidak bertemu Alfredo, Javiero dan Eneas. Tiga lelaki itu hilang entah ke mana. Mungkin latihan di kaki bukit, entahlah. Ia tak ingin pusing-pusing memikirkannya.

Mengambil boneka jerami, menancapkan kayu bagian bawah ke tanah. Ia kemudian mencabut pedang dari penutupnya yang disampirkan di pinggang sebelah kiri. Memegang pangkalnya dengan kedua tangan, menatap benda di hadapannya dengan fokus.

Srak!

Sekali tebas, boneka itu telah terbagi dua. Ah, tidak ada tantangannya. Gadis itu bahkan bisa membelah batu menggunakan pedang kayu yang tumpul. Kini ia membutuhkan objek bergerak yang bisa dijadikan sasaran tebasannya, tapi Lazaro malah pergi. Alfredo, Javiero, bahkan Eneas tampak begitu enggan menemaninya berlatih.

Selalu saja begitu. Tak tahukah mereka bahwa sang putri yang jelita itu memendam dendam yang teramat besar?

Mengambil sisa boneka jerami yang masih tinggal tiga lagi, melampiaskan kekesalannya, meradang seorang diri dan menumpahkannya pada kumpulan rumput kering yang telah dibentuk oleh para pembantu istana atas perintahnya.

Apa kelak aku bisa menebas leher-leher mereka? Atau mampukah nanti kupisahkan pinggang dari perut mereka? Terlebih dari itu, sanggupkah aku bertahan lalu kembali?

Srak!

Hampa. Hatinya sungguh terasa hampa. Wajah mendiang sang ratu terlintas lagi di ingatannya, membuat rasa benci itu kembali menyeruak, membakar emosinya untuk terus mendendam tanpa henti.

Dareena terduduk, lututnya tiba-tiba terasa kehilangan sendi. Tak ada yang paham kondisi hatinya. Ia sungguh ingin menuntaskan tujuannya berlatih selama ini, mengapa tak ada yang mengerti? Jika mereka takut sang gadis akan terbunuh nanti, mengapa mereka tak membuatnya lebih mahir dan menjadi ahli dalam mengendalikan pedang?

Mengapa justru memangkas waktunya untuk menekuni bidang ekonomi kerajaan?

Atau justru memanggil Lazaro lebih cepat sebelum latihannya usai?

Mengapa tidak terasa adil?

Ia memang mendapat berita bahagia saat kedatangan Eneas. Mimpi semasa kecilnya untuk menikahi pria yang dicintai akan segera terwujud. Namun, mengapa pria dari kerajaan seberang itu yang lebih diagungkan untuk bergabung di barisan mereka? Tak bisakah ayah dan kakaknya memihak diri bersurai cokelat itu?

"Dareena." Suara khas seseorang membuat Dareena bangkit lantas membalikkan tubuh, mendapati sosok sang kakak dengan wajah yang dipenuhi peluh, menatap ke arahnya.

"Ada apa? Latihanmu sudah selesai, huh? Untuk apa kau hampiri adikmu ini?" tanya Dareena sarkas.

Javiero melangkah maju, memangkas jarak. Wajah sang adik sudah memerah sempurna.

"Kau sedang apa?"

"Berlatih, bersama benda mati karena tak ada yang memercayai seorang pun padaku untuk dijadikan teman latihan." Javiero tertawa canggung mendengar kalimat apatis dari sang adik.

"Masih tidak menyerah?"

Dareena melengos. "Kaupikir kenapa aku masih di sini, berlatih mandiri? Apa masih kurang jelas bahwa aku tidak menyerah?"

"Baiklah, baiklah. Katakan padaku, apa yang sekarang ingin kau lakukan?"

"Kenapa harus kukatakan padamu?"

"Kenapa tidak?"

Dareena memalingkan wajah, tersenyum miring. "Karena kukira, semakin ke sini, semakin sedikit orang yang hendak mendengarkan dan menerima permintaanku. Baik itu kau, ayah, juga Eneas," seloroh Dareena tajam.

"Oh, ayolah, bisakah kau tak berbicara menyindir? Hatiku rasanya begitu sakit saat kau menyudutkan diriku, Reena." Javiero tertawa sumbang, Dareena memutar bola mata.

Javiero tahu benar kalau adiknya memang sudah jarang meminta banyak hal. Namun, seiring bertambahnya usia, yang dipinta bukan hal yang mudah diwujudkan. Mempelajari filsafat, sedikit ilmu pasti, berlatih memanah, berpedang, berkuda. Bukankah begitu sulit untuk seorang wanita muda? Bukan, lebih tepatnya sulit bagi Alfredo untuk mengontrol keinginan Dareena.

Apalagi setelah gadis itu mengikrarkan akan membalaskan dendam. Ah, siapa yang tidak panik? Emosinya begitu meledak-ledak dan terkesan labil. Alfredo tentu saja khawatir jika kelas Dareena bersikap gegabah.

"Aku akan menjadi temanmu berlatih sampai sore nanti." Senyum di wajah cantik itu terkembang dan merekah mendengar ucapan yang terlontar dari sosok sang kakak. Namun, ekspresi bahagianya cepat dibuat menjadi datar kembali saat ia memikirkan satu hal.

Tidak mungkin Javiero meninggalkan latihan terakhirnya sebelum mengikuti perang. Terlebih lagi untuk menemaninya latihan.

"Tapi dengan satu syarat." Dareena melengos, beberapa detik lalu ia sempat mengira-ngira akan diajukan persyaratan.

"Katakan."

"Besok, jangan keluar dari gerbang istana."

🗡⚔🗡

Kalau nemu typo, ingatin Yoru, yaw. ❤




Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro