Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

09. Tekad Yang Kuat

.
.
.

"Kau adalah calon ratuku, aku ingin kau baik-baik saja. Setidaknya, jika nanti aku pulang, akan ada yang menyambut. Juga jika nanti aku mati, ada yang mewakili rasa hatiku untuk mengubur jasad ini."

(Eneas)

.
.
.

Sudah sejak semalam, gadis itu tak dapat tertidur. Satu sisi merasa bersalah karena sedikit berujar sarkas pada sang ayah, sisi lainnya ia tidak mampu untuk menghentikan langkah.

Jelas sekali dari pesan yang diutarakan, dirinya secara tak langsung mendapat penolakan mentah-mentah untuk mengikuti barisan perang. Sampai memerintahkan Lazaro hengkang sesaat, seniat itu pula Alfredo menghalangi dirinya.

Membuka jendela yang tingginya hampir setara dengan sang gadis, Dareena menikmati malam. Bertanya-tanya pada semesta tentang apa yang harus dilakukan.

Aku sungguh merindukanmu, Ibu. Bukankah itu artinya aku harus tetap pergi?

Dareena menghela napas panjang, menyeka setitik air mata yang keluar, lantas kemudian kembali mematung. Tak ada yang tahu bahwa di dalam ekspresi keseriusannya yang kekeh ingin pergi, ia punya setitik keinginan untuk tetap tinggal. Dareena hanya gadis biasa di balik pedangnya yang terasah. Ia memikirkan banyak hal tentang darah, huru-hara, menyaksikan kematian, atau mungkin menjadi bagian dari orang yang disaksikan kematiannya.

Di sisi lain, dendamnya semakin hari terus menanjak grafiknya, jantungnya bertambah kencang degupnya setiap hari demi hari terlewati.

Iris indah sang putri memicing ketika melihat Eneas dari bawah sana tengah berjalan seorang diri, padahal malam sudah begitu larut. Lengkung sabit terukir di wajah cantik Dareena. Ia tahu benar Eneas sedang tidak bisa tidur dan memikirkan banyak hal, oleh karena itu ia keluar, menenangkan diri.

Mengambil jaket bulu, mengeratkannya, lalu Dareena memutuskan untuk keluar kamar, hendak menyusul Eneas. Sekeliling sudah temaram, beberapa dayang istana sudah tak lagi kelihatan berlalu-lalang, hanya beberapa pengawal yang sedang berbincang dengan masing-masing memegang secangkir kopi.

"Oh, hendak ke mana malam-malam begini, Tuan Putri?"

Dareena melengos. "Bukan urusanmu," ketusnya menanggapi pertanyaan salah satu pengawal.

Satu pengawal yang lebih tinggi ikut mencegat. "Sudah sangat malam, Tuan Putri. Sebaiknya kaumasuk, kami takut akan ada yang membahayakanmu." Dareena otomatis melempar tatapan tajam. Di bawah cahaya obor di sepanjang lorong, tatapan sinisnya bahkan dapat terlihat dengan jelas.

"Eh, atau perlu ditemani? Setidaknya, raja tidak akan menjatuhi kami hukuman karena telah lalai mengawalmu." Pengawal yang sedikit lebih pendek mencoba mencairkan suasana yang terlanjur beku, melihat sobatnya kelabakan saat dihadiahi tatapan dingin sang putri.

"Ada Eneas di sana. Kalian tidak perlu cemas," ucap Dareena sedikit melunak, mungkin sudah sedikit merasa tak enak karena dua pengawal di sebelahnya tampak saling pandang karena tatapan penuh intimidasi darinya.

"Ah, iya. Kami percaya pada Pangeran Eneas. Silakan."

Dareena mengangguk. Menyusuri langkah, menuju paviliun, mengikuti insting yang membawanya ke sana. Mengeratkan jaket cokelat muda berbulu miliknya, menghalau angin malam yang serasa menusuk pori-pori. Mengedarkan pandangan, celingak-celinguk mencari keberadaan Eneas.

Jika tidak ada di paviliun, Dareena menduga bahwa lelaki berambut lumayan pirang itu sedang berada di halaman belakang, membawa langkahnya menuju tempat yang juga merupakan favoritnya menikmati malam.

Ah, benar. Lelaki itu tengah merebahkan diri di atas rumput yang sudah berwarna coklat, menutup mata syahdu dengan iringan desau angin yang menyapa. Dareena memangkas jarak, kemudian memutuskan duduk di sebelah Eneas.

Merasa ada pergerakan, lelaki itu perlahan membuka kelopak mata. Tersenyum saat mendapati sang gadis duduk di dekatnya, walaupun Dareena lebih memilih memandang langit kelabu dibanding wajah pangeran dari kerajaan sebelah.

"Tidak bisa tidur, hm?" tanya Eneas, sekadar berbasa-basi.

"Aku melihatmu keluar malam-malam begini. Masih suka berbaring di luar jika tidak bisa tidur?"

Eneas terkekeh, mengubah posisi berbaringnya menjadi duduk, masih dengan kaki yang berselonjor.

Diam, hening. Semilir angin mengambil peran di antara kesunyian dua insan yang sama-sama bergelut dengan satu pikiran. Sama-sama memilih langit sebagai tujuan atensi menuang resah.

"Lusa aku akan ikut berperang, Reena."

Alis Dareena menyatu. Ia pernah dengar jika Eneas memang akan pergi bersama pasukan kerajaan mereka untuk ikut berperang, tapi bungsu Al-Khadra itu mengira bahwa apa yang ia dengar hanya kabar burung belaka. Tentang Eneas yang belakangan juga ikut ketika Javiero berlatih, Dareena mengira bahwa Eneas hanya sekadar menemani sang kakak.

Berarti selama ini, selain mengajarinya mengurus keuangan, memantau latihan serta terkadang menjadi instrukturnya secara mendadak, Eneas juga sedang melatih diri? Untuk apa? Apa raja dan ratu mengizinkannnya ikut?

"Kenapa kauikut peperangan ini? Kau tidak seharusnya bergabung dengan kerajaan ini."

"Kau meragukanku?"

Dareena buru-buru menggeleng. "Bukan begitu, kau sungguh tidak bisa diragukan. Maksudku, kau akan melanjutkan singgasana ayahmu, Eneas. Kenapa harus ikut bertarung? Kau tahu, perang ... tidak ada jaminan kau akan pulang hidup-hidup. Apa ayah dan---"

"Al-Khadhra adalah hal yang juga harus kuperjuangkan untukmu, Reena. Aku bukanlah pewaris tunggal, masih ada dua adik lelakiku yang bisa kapan saja naik takhta jika aku tidak keluar hidup-hidup dari medan perang. Ayah dan ibu juga mengizinkan pergi meski berat. Mereka menghargai pilihan dan keputusanku."

Iris abu-abu gelap milik sang putri kini mulai lebih membara. Jika Eneas saja yang bukan merupakan keturunan kerajaan Al-Khadra boleh bergabung dalam barisan, mengapa dirinya yang merupakan keturunan murni itu tidak diizinkan?

"Reena," panggil Eneas lirih, kontan saja membuyarkan lamunan sang lawan bicara, membuat gadis itu mendongak, mendapati iris hangat Eneas.

Dareena seketika terbuai oleh pandangan Eneas, terlena bagai dihipnotis sesaat. Namun, sepersekian detik, ada sesuatu yang lain dari atensinya. Sedikit lebih sendu dari biasanya.

"Apa kau masih menginginkan untuk ikut berperang?"

Dareena mengangguk pasti. Bahkan meski sempat simpati pada nasihat sang ayah, nyatanya bungsu Al-Khadra itu masih menyimpan niat yang sama, apalagi setelah mendengar langsung dari Eneas bahwa pujaan hatinya juga ikut membela kerajaan dalam peperangan, tekadnya semakin membara saja.

"Jika aku meminta dan memohon padamu agar tidak pergi, apa kau mau mendengarkan?" Bukan hanya pada pertanyaan saja fokus Dareena, tapi pada intonasi Eneas yang rendah, setelah bertanya, lelaki gagah itu juga langsung menunduk.

"Mengapa kau melarangku?" pancing Dareena, ingin mengetahui alasan yang mungkin akan sama dengan anggapan orang-orang.

Di sebelahnya, Eneas mengembus napas berat, kemudian mengangkat pandangannya, mengarahkan netra pada sang putri, menghujam iri abu-abu yang begitu menawan.

"Kau adalah calon ratuku, aku ingin kau baik-baik saja. Setidaknya, jika nanti aku pulang, akan ada yang menyambut. Juga jika nanti aku mati, ada yang mewakili rasa hatiku untuk mengubur jasad ini."

Seperti ada yang menusuk hatinya kala Eneas terang-terangan mengatakan bahwa dirinya adalah calon istri, juga tentang dua kalimat terakhir. Hatinya menghangat walau di satu sisi, sang gadis juga merasa diremehkan.

"Apa kau sedang meremehkanku?"

"Maksudmu?"

"Kau melarangku untuk ikut karena tidak percaya pada kemampuanku, bukan? Apa karena aku belum berhasil menaklukkan Lazaro?"

Eneas terdiam. Bagaimana cara membuat Dareena paham bahwa dirinya memang benar-benar mengkhawatirkan sang gadis? Tak ada yang rela jika sang tambatan hati ikut dalam barisan bela negeri. Akan ada pertarungan sengit, teriakan, darah.

Dalam hati menyesali sifat keras kepala Dareena, yang dari dulu tak pernah berubah meski telah mengalami banyak hal.

"Bukan begitu, Reena, tapi---"

"Karena aku wanita? Kenapa tidak pernah ada kesetaraan gender di sini? Apa memang menurut kalian---para pria, wanita segitu lemahnya hingga tidak dipercaya untuk mengayunkan pedang dalam pertempuran? Kalau begitu, untuk apa aku berlatih keras selama ini?"

Sigh. Eneas mendengkus pelan, menyatu dengan desau angin. Dareena tetaplah Dareena yang tidak akan suka mengalah dalam hal apa pun.

"Kau tahu? Aku menghalangimu bukan karena kau merupakan seorang wanita, Reena. Aku melakukannya, karena tidak mudah melihat wanita yang kucintai merasakan huru-hara berada di medan peperangan."

"Kalau begitu, biarkan aku ikut. Setidaknya kita akan berjuang bersama. Jika berhasil pulang, kita membawa kemenangan yang sama dan jika harus mati, kita akan mati bersama," ucap Dareena tegas, begitu terdengar meyakinkan dan tak terbantahkan.

Ah, apakah sulit bagi gadis itu untuk hanya tinggal sebentar di istana?

Mendesah kasar, mengusap wajah. Sungguh Eneas tidak bisa tidur malam ini karena merasa sedikit was-was menjelang peperangan. Sekarang, mendapati Dareena dengan pendirian yang keras dan sulit diubah, dirinya malah makin cemas.

"Tidurlah, sudah larut."

"Aku masih—"

"Akan kuantarkan hingga pintu kamarmu. Ayo."

"Sebelum itu, aku ingin bertanya satu hal."

🗡⚔🗡

Kalau nemu typo, bantu Yoru untuk koreksi, yaw ❤ langsung komen aja, Yoru ngga neror kok.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro