Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

08. Nasihat

.
.
.

"Peperangan bukan mainan, Reena. Peperangan bukan hanya tentang membalaskan dendam. Mengayunkan pedang bukan hanya tentang membunuh."

(Alfredo)

.
.
.

Dareena melirik berkali-kali pada pedang dan pengawal kerajaan secara bergantian. Mereka sibuk berlalu-lalang dari gudang penyimpanan senjata, persediaan gandum, dan makanan lainnya, berlatih duel sambil berkuda di halaman yang begitu luas milik kerajaan. Tak tertinggal, Alfredo mengadu kelihaian berpedang pada putra sulungnya, begitu pula Eneas yang tak mau kalah, beradu denting pedang pada pengawal kepercayaan Raja.

Sedangkan dirinya, tak diberi izin untuk keluar dari megahnya kerajaan. Mendengkus kasar, seakan para lelaki itu tahu kalau dirinya memang ingin ikut berlatih untuk kemudian bergabung bersama pasukan lengkap untuk berperang.

Langit masih begitu terang mengizinkan matahari untuk bersinar, untung saja saat ini sedang musim gugur, angin yang berembus sedikitnya bisa lebih mengurangi peluh.

Pikiran sang putri melayang pada perkataan Javiero tentang kesepakatan tidak tertulis yang lalu ikut dibenarkan oleh Eneas, membuat hatinya terus berspekulasi buruk, sesekali merutuk Lazaro yang menurut gadis itu, metodenya terlalu lamban dalam melatih dirinya.

Kalau dari dulu Lazaro tidak menyuruhku untuk memecahkan batu, mungkin sekarang, kepalanya sudah bisa kusasar dan aku dibebaskan untuk mengikuti perang.

Kenapa pula tiba-tiba si tua itu mengatakan harus membantu para sahabatnya menempa pedang? Apa ia sengaja agar latihanku terhenti lantas aku tak dibolehkan mengikuti prosedur peperangan?

Atau ada campur tangan ayah dan Kakak Jav di sini?

Argh!

Trang!

Beberapa pengawal yang lewat sedikit tersentak ketika salah satu pajangan keramik itu jatuh menimpa tanah, pecah berkeping-keping. Salah seorang wanita tua yang menjadi dayang di situ langsung berinisiatif membereskan pecahan, agar tidak membahayakan orang lain. Beberapa lainnya fokus pada tangan Dareena yang mengepal sambil menggenggam pedang.

"Tuan Putri baik-baik saja?" Seorang pengawal memberanikan diri bertanya dan langsung dihadiahi tatapan tajam dari Dareena. Tanpa menjawab, sang pengawal berlalu, sedikit menyesal telah bertanya.

Dareena tak ambil pusing, dirinya memang kerap kali lebih disegani oleh tiap manusia di kerajaan melebihi mereka menyegani Alfredo dan Javiero. Yah, dua orang itu setidaknya masih bisa bersikap ramah, berbeda dengan dirinya yang dingin dan cenderung cuek.

Beberapa jam menunggu, akhirnya Alfredo lebih dulu menyudahi latihan. Masih berdiri dan berjalan dengan postur tegap tanpa jubah merah kebesarannya, lelaki itu menghampiri Dareena.

"Bagaimana keadaan keuangan? Apa telah meningkat sejak kita mengirimkan pesan bantuan pada sahabatku di Granada?"

Gadis itu mengedikkan bahu. Sejujurnya, ia belum mengecek perkembangan ekonomi sejauh ini. Selain mulai tidak fokus karena pikirannya dihantui oleh kemungkinan besar dirinya tak dapat ikut berperang, ia juga mulai tidak suka dengan grafik yang naik turun tidak pasti. Rasanya berlatih pedang bersama Lazaro jauh lebih baik dibanding mengelola keuangan.

"Ah, begitu. Kau tidak memeriksa dan memastikannya, hm?" Alfredo terkekeh pelan sembari mengusap peluh. Ia sangat mengerti bahkan sejak awal, bahwa putrinya tidak begitu berminat pada urusan keuangan. Namun, menjadikannya bendahara negeri adalah satu-satunya cara untuk melaksanakan amanah Ivina.

Dareena tersenyum kaku. Jika sudah tahu, untuk apa bertanya?

"Keberatan untuk menemani lelaki tua ini minum teh sore ini?"

Dareena mengangguk cepat, tak ada salahnya menerima ajakan sang ayah, lagi pula sudah lama mereka tak banyak bicara berdua sejak dirinya fokus berlatih dan mengurus keuangan.

Dua puluh menit gadis itu menunggu kehadiran sang raja di paviliun, sesekali atensi abu-abu gelap miliknya menyelami teh hijau di cangkir kecil. Melarutkan diri dalam andai yang jauh. Sedikit pikirannya menerawang kehidupan yang akan terjadi di masa depan. Membalaskan dendam, hidup damai bahagia bersama orang yang dicintai.

Ah, apa masih mungkin?

Tidak ada yang tahu, hati gadis berusia dua puluh tahun itu sedang ragu entah untuk hal apa.

"Memikirkan banyak hal, hm?" Suara berat khas itu tentu saja membuat Dareena terperanjat. Alfredo mengambil posisi di hadapan sang bungsu. Tanpa menunggu perintah, Dareena menuangkan isi dari teko klasik ke cangkir sang raja.

Menyesap perlahan teh yang masih mengepul, kelopak Alfredo terpejam. Semilir angin di musim gugur, membawa serta dedaunan yang terembus meninggalkan dahan. Syahdu.

Ah, saat-saat seperti ini, dulu ia selalu ditemani oleh sang permaisuri hati, Ivina. Tak ada yang tau, saban malam ia berat merindu, berpinta pada Yesus untuk menyampaikan salamnya pada wanita yang tak pernah pergi dari singgasana hatinya.

Membuka kembali mata, menatap wajah Dareena, yang delapan puluh sembilan persen mirip sekali dengan Ivina. Membuat dirinya yang sempat rapuh perlahan lekas bangkit.

"Ah, bagaimana cuaca hari ini?"

"Baik."

"Ah, bukankah beberapa minggu lagi seteleah peperangan ini usai, Eneas akan menikahimu? Aku salut padanya yang berani mengambil keputusan untuk membangun keluarga di usia muda. Aku sungguh tak sabar menjadi wali di pernikahanmu. Kurasa Javiero akan merasa malu untuk menghadiri pestamu." Basa-basi sang ayah sukses membuat rasa hangat menjalar di pipi Dareena. Ah, wanita mana yang tidak bahagia jika disinggung tentang pernikahan? Terlebih kali ini, bungsu itu beruntung akan membersamai orang yang dicintainya.

"Jangan menggodaku, Ayah. Kau membuatku merasa malu," seloroh Dareena sambil sedikit memalingkan wajah.

Alfredo tertawa renyah menanggapi respon putrinya.

"Bagaimana dengan latihanmu?"

Dareena melengos. "Ayah memerintahkan Lazaro untuk berhenti melatihku, bukankah begitu?"

Kening yang sudah lumayan keriput itu berkedut, lalu kemudian tertawa sumbang. Ah, Dareena sudah menduganya. Ini semua memang akal-akalan Alfredo.

"Dan sengaja menjadikanku bendahara agar aku tidak bisa keluar dari istana untuk berperang. Bukankah benar begitu?" Sekali lagi, dengan tatapan lebih tajam dan sarkas, Dareena melontar pertanyaan.

Kau memang sudah cukup dewasa untuk mengerti semua ini, ya? Kenapa aku bisa lupa bahwa kau sudah tumbuh menjadi gadis cantik nan cerdas? batin Alfredo, meletakkan cangkir perlahan lalu mengusap wajah.

"Dengarkan aku, Putriku. Kau tahu? Bahkan untuk membiarkan Jav ikut berperang saja, Ivina pernah merasa begitu berat. Apalagi membiarkanmu ikut serta." Alfredo menarik napas panjang, sedangkan Dareena melengos perlahan. Sang putri memberanikan diri menatap lurus iris abu-abu gelap---yang diwarisi padanya---sang ayah.

"Kenapa?"

"Karena kamu wanita, Nak. Wanita, harus senantiasa dilindungi."

"Bukankah itu terdengar tidak adil?" sambar Dareena cepat. Alasan klise seperti yang dilontarkan sang ayah sudah lama mengganggu hatinya. Apa menurut banyak orang, wanita hanya makhluk lemah?

Alfredo memperbaiki posisi duduk, berbicara pada anak perempuannya memang memerlukan emosi yang tepat.

"Wanita sama sekali tidak lemah, Putriku. Mereka adalah tombak suatu negeri, yang menopang banyak aspek dalam kehidupan. Karena itu, mereka tetap harus dilindungi. Seperti kau." Menunduk tak berani lagi menatap atensi sang ayah yang mulai serius, terlihat mendominasi.

Ah, iya, Alfredo lupa. Meski tampak begitu keras dan tegas, nyatanya Dareena tetaplah putrinya yang tak mampu menahan sesak jika sedikit saja dibentak. Karena hal itu pula, Dareena cenderung lebih nyaman mendominasi pembicaraan, agar tetap terlihat lebih kuat.

"Nak, umurku sungguh tidak akan panjang. Siapa yang tahu kapan si tua ini akan mati? Aku ingin, kau dan Jav melanjutkan singgasanaku, tumbuh kuat bersama. Ditambah lagi jika kelak nanti kau menikah dengan Eneas, memiliki anak dan menjadi permaisuri kerajaan suamimu. Masa depanmu masih begitu cerah dibandingkan kau mengundi kematian dalam peperangan."

Menghela napas pendek, merasa sedikit sesak. Memang Alfredo suka sekali mengandalkan kata-kata di mana ia menyatakan bahwa umurnya tidak lagi bertahan lama. Tahu persis letak kelemahan Dareena yang tak akan mampu disangkal.

"Peperangan bukan mainan, Reena. Peperangan bukan hanya tentang membalaskan dendam. Mengayunkan pedang bukan hanya tentang membunuh." Alfredo melanjutkan.

Dareena menatap dalam teh hijau di dalam cangkirnya yang sudah tak lagi mengepulkan asap.

"Aku tidak tahu kau akan menurut atau tidak, tapi dengarlah nasihatku, aku takut kelak tak lagi bisa menasihatimu."

Dareena mengangkat pandangannya, masih dengan perasaan setengah kesal.

"Tetaplah di istana, maka kau akan selamat. Meski mereka kejam karena merampas tanah kita, tapi dari yang kudengar, mereka begitu menghormati dan memuja wanita, kau tidak akan disakiti. Gunakan pedangmu dengan bijak, jangan mengayunkannya karena kebencian. Kau adalah wanita, mengabdilah pada Tuhanmu, juga suamimu kelak."

Alfredo bangkit, meninggalkan sang putri tanpa kata. Tubuhnya lelah, tambahkan wajah sang putri yang tampak tertekan karena larangannya. Setidaknya Raja Al-Khadra itu sudah bisa sedikit merasa lega karena telah menyampaikan nasihat selayaknya seorang ayah pada putrinya.

Sedangkan di tempatnya, Dareena sedikit merasa tersentuh, namun tidak ada yang bisa mengubah haluan niatnya.

🗡⚔🗡

Yoru update Dareena lagi, nih!

Oh iya, bantu Yoru menumpas para typo-typo yang bergerilya di part ini, ya! 😁
Komen aja, kalau nemu, key?? Jan sungkan, Yoru nggak makan manusia, kok. 😌

See you 🗡

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro