07. Aturan Tak Tertulis
.
.
.
Bagaimana caraku mencegahnya untuk berhenti berambisi, Ibu? Bahkan dengan peraturan yang mengikat sekalipun, Reena tampaknya tidak peduli.
(Javiero)
.
.
.
Dareena memandangi pedang yang sedikit memantulkan cahaya kekuningan rembulan. Sesekali netranya mengarah pada langit yang menaungi dengan gugus gemintang, membuatnya betah berlama-lama untuk menetap. Iris abu-abu sang gadis menyelami tiap rasi, memikirkan banyak hal.
Perang akan terjadi beberapa hari lagi. Eneas mengatakan akan secepatnya melamar secara resmi setelah perang usai dan langsung menikahi putri bungsu Kerajaan Al-Khadra yang jelita. Namun, akankah masih ada hal yang sama setelah pertarungan usai? Ah, bahkan untuk membayangi huru-hara kondisi mereka nanti, Dareena tak berani.
Mengingat cerita Lazaro tempo hari tentang tiga kesatria, nyali sang gadis terkadang menjadi ciut tanpa sebab. Penasaran tentang kata apa yang mereka ucapkan hingga dapat membuat hati gentar. Meski begitu, Dareena tetaplah Dareena. Dendam masih begitu pekat terpatri dalam kalbunya. Tak sedikit pun memilih mundur meski hatinya ketar-ketir menanti.
"Hei." Panggilan serta tepukan ringan di bahu Dareena membuat gadis itu menoleh dan mendapati Javiero—sang kakak yang duduk di sebelahnya. "Masih suka memandangi langit malam, huh?"
"Selalu suka," balas Dareena simpul tanpa mengalihkan lagi pandangannya dari rasi orion.
Javiero tersenyum simpul. Siapa yang tidak mengenal tabiat Dareena yang paling suka menghilang di waktu malam? Rela menghabiskan dua jam hanya untuk menatap kelabu, meski tak ada ornamen sedikit pun, berbicara pada langit yang seakan menampung segala keluh hatinya. Berbicara, seakan di sana ada mendiang sang ratu.
"Bagaimana dengan Eneas?"
"Apanya yang bagaimana?"
"Ia akan melamarmu kapan?"
"Setelah perang usai."
"Ah, aku kira ia akan segera melamarmu. Yah, tentu saja aku dapat melihat matanya yang penuh cinta jika berada di dekatmu."
Dareena spontan tertunduk. Rasa hangat menjalar di pipinya, membuat semburat kemerahan singgah di sana.
"Hei, kenapa kau menunduk?"
"Kenapa kau tidak bisa berhenti menggodaku?" balas Dareena, melengoskan pandangan ke arah lain.
"Hei, siapa yang menggodamu?"
Aish! Dareena mendengkus, memutuskan untuk tidak membalas. Javiero memang begitu suka mengajaknya berdebat, menggoda, dan merecoki dirinya. Seakan melihat wajah cemberut dan tertekuk sang adik adalah hal paling menyenangkan untuknya.
Menyadari Dareena yang tidak lagi merespons, Javiero menghela napas pelan.
"Bagaimana latihanmu dengan Lazaro?"
"Semakin membaik."
"Apa kau sudah bisa membuatnya terjatuh?"
Dareena menggeleng, belum bisa. Setelah mendapatkan pedang pertamanya, Dareena memang diminta untuk berlatih lebih keras. Teknik berpedang, menyerang, bertahan, sampai berkuda pun tak luput diajarkan oleh Lazaro. Sang guru yang walau tubuhnya sudah membungkuk tujuh puluh derajat itu memang sudah diakui keilmuannya.
Sayangnya, sampai saat ini pun, Dareena belum bisa membuka pertahanan Lazaro. Ya, ahli berpedang itu memerintahkan bungsu Al-Khadra untuk menyerang, hingga dapat menyasar kepala sang guru, tapi malah berakhir pada tangan atau kaki Dareena yang memar karena terjatuh disebabkan gerakan lincah Lazaro.
Menjelang dua sebelum dimulainya peperangan, Lazaro mohon undur diri, membantu dua belas sahabatnya untuk menempa pedang yang saat ini sedang banyak pemesannya, hingga Dareena terpaksa melatih diri sendiri. Terkadang Eneas memang membantu, tapi sayangnya lelaki dari kerajaan seberang itu tak cukup tega untuk menyerang sang pujaan hati, hingga latihan Dareena tak maksimal. Bahkan sesekali gadis itu bisa salah tingkah ketika Eneas tak sengaja menampilkan raut serius saat berpedang, dengan rambut cenderung acak-acakan dan wajah berpeluh.
"Aku tidak tahu harus bersyukur atau tidak karena sampai saat ini kau belum bisa menaklukkan Lazaro, Reena."
Alis yang membingkai netra sang gadis bertaut. "Maksudmu?"
Javiero menarik napas panjang, mengembuskannya kemudian, melakukan hal itu berulang kali.
"Kau masih berambisi untuk ikut peperangan, bukan begitu?"
"Bukankah tanpa bertanya pun, kau sudah mengetahuinya?"
Tertawa sumbang, Javiero menegakkan posisi duduk, melipat kaki. Sulung Al-Khadra itu begitu merindukan sang adik yang ceria, tak dingin dan cenderung sarkas seperti saat ini.
"Ada aturan tidak tertulis dari anggota kerajaan sejak zaman buyut kita dahulu."
Dareena mengubah posisi duduk, sedikit condong pada Javiero. Aturan tidak tertulis? Apa lagi rahasia kerajaan yang tidak diketahuinya?
"Sejak dulu, pelatih keluarga ini berpedang adalah kakeknya Lazaro, turun temurun hingga saat ini dipegang oleh Lazaro. Mereka pengawal bayangan yang hebat."
Kening bersih Dareena berkedut. Pengawak bayangan? Gadis itu mengira bahwa Lazaro hanyalah seorang ahli pedang biasa, bukan seorang yang berperan penting di samping pengawal kerajaan. Ternyata ini alasan Lazaro mengapa ia tidak bisa lebih lama mengajarkan Dareena hingga larut malam.
"Mendapat pedang pertama bukan berarti dapat langsung terjun ke kancah peperangan, Dareena." Javiero menarik napas panjang. "Siapa yang mampu menaklukkan sang pelatih, maka ia bebas memilih hendak mengikuti peperangan atau tidak."
"Hah?! Sejak kapan ada peraturan seperti itu? Bahkan Lazaro tidak memberitahuku tentang hal ini. Kau membual," sambar Dareena, tak terima dengan penjelasan aturan tak tertulis dari sang kakak yang terkesan dibuat-buat.
Javiero mengusap wajah. Ia tahu, Dareena tak akan lantas memercayai perkataannya, tapi sungguh hal itu bukanlah sesuatu yang diciptakan sendiri. Butuh waktu setengah tahun untuk dirinya bisa membuat Lazaro jatuh terduduk, hingga pilihan untuk turun bertempur ada di tangan sang sulung sepenuhnya.
Ketidakpercayaan Dareena juga sangat berdasar, mengingat Lazaro sudah lebih dulu mengambil izin untuk tidak membantu dirinya berlatih sementara waktu hingga perang usai.
"Percaya atau tidak, tetap tidak ada yang boleh melanggar kesepakatan tidak tertulis ini, Reena. Kau anggota kerajaan." Javiero menekan intonasinya pada kalimat terakhir yang diucapkan, seakan menegaskan kedudukan sang adik yang harus mengikuti protokol kerajaan.
Mendengkus kasar, Dareena bangkit dari duduknya. "Katakan saja jika kalian memang tak ingin aku berada di sana untuk berperang!" Setelah perkataan itu, snag gadis mengambil pedangnya yang tergeletak di rerumputan yang mulai mengering lalu meninggalkan Javiero seorang diri.
Bagaimana caraku mencegahnya untuk berhenti berambisi, Ibu? Bahkan dengan peraturan yang mengikat sekalipun, Reena tampaknya tidak peduli.
🗡🗡
Dareena seharian ini disibukkan dengan dokumen lenting yang melaporkan bahwa inflasi mulai terjadi di pasar-pasar mereka. Beberapa rakyat jelata bahkan mendatangi istana untuk meminta jaminan atau setidaknya, modal untuk lebih menunjang kehidupan. Belum lagi para ibu-ibu dengan anak kecil yang ditinggal suaminya untuk berdagang di luar negeri seakan meneror Dareena untuk segera memberi santunan. Dengan bantuan Eneas dan Alfredo, masalah itu bisa sedikit lebih teratasi.
Seakan tak memberi waktu luang untuk sekadar melatih diri sendiri, Dareena kembali disuguhkan beberapa pelajaran tentang perpajakan, penurunan hasil bumi dan sumber daya manusia, memengaruhi keadaan ekonomi negara. Belum lagi banyaknya bandit yang merajalela, merampas pundi uang para pedagang. Ah, urusan kerajaan membuat otaknya pusing.
"Istirahatlah, Reena. Biar aku yang selesaikan," seru Eneas, sedikit tak tega melihat Dareena yang sudah kelihatan lesu.
"Tidak perlu, Eneas. Ini tugasku," sanggah Dareena, masih bersikeras dengan beberapa lembar kertas di atas meja.
"Ah, iya, baik. Jika itu yang kau inginkan, aku akan menemanimu sampai selesai." Eneas kembali membuka buku dengan sampul keras berwarna marun kecoklatan.
Dareena menghentikan tugasnya, seakan mengingat sesuatu.
"Kau banyak mengetahui sesuatu tentang rahasia kerajaan Al-Khadra, bukan begitu?"
"Apa yang ingin kau ketahui?"
"Aturan tak tertulis apa saja yang ada di sini?"
Paham ke mana arah pertanyaan Dareena, Eneas menghela napas panjang. Dirinya sudah berjanji pada Alfredo untuk tidak banyak membocorkan apa pun pada putrinya, kecuali jika lelaki tampan itu telah menikahi Dareena.
"Aku akan menjawab satu pertanyaan saja. Silakan, Reena."
"Siapa yang mampu menaklukkan sang pelatih, maka ia bebas memilih hendak mengikuti peperangan atau tidak. Sejak kapan aturan tidak tertulis ini berlaku?"
Eneas mengingat-ingat. Otaknya yang memang mampu menampung banyak kapasitas itu segera menemukan jawaban dari pertanyaan Dareena. Eneas memang dipercaya untuk mempelajari tiap lekuk rahasia Kerajaan Al-Khadra jika sewaktu-waktu hal buruk terjadi, maka ia dapat mengembalikan tradisi kerajaan tersebut.
"Sejak empat generasi di atasmu, Reena."
"Lalu mengapa menteri keuangan kerajaan tidak boleh ikut serta dalam peperangan?"
Ah, Eneas bungkam. Ternyata Dareena sudah mengetahui tentang di balik dirinya yang diamanahkan menjadi seorang pemegang kekuasaan ekonomi tertinggi di negaranya. Eneas menarik napas dalam.
"Aku tetap hanya akan menjawab satu pertanyaan saja, Dareena."
🗡⚔🗡
Heiheeii, Yoru up!!
Bantuin Yoru untuk menumpas typo-typo yang tersebar luas ini, yah.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro