Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

05 - Pedang dan Perasaan

.
.
.

"Aku selalu yakin bahwa Tuhan menciptakan hati tak hanya untuk dimiliki satu orang saja."

(Eneas)
.
.
.

🗡🗡

Eneas tersenyum tipis melihat Dareena yang tengah berkutat dengan beberapa kertas dan buku tebal hasil riset peningkatan dan penurunan hasil jual dan pajak. Kening sang gadis yang berkedut sesekali diiringi mata yang memicing menjadi pemandangan paling disukai pangeran seberang itu sejak dulu. Eneas selalu suka Dareena jika sedang dalam mode seriusnya.

Rambut yang sudah disanggul sedemikian rupa--terkesan asal--membuat wajah Dareena lebih terlihat fresh, leher putih bersih jenjangnya juga terekspos manis, membuat Eneas berdecak kagum bahwa gadis yang pernah menjadi teman bermainnya yang sangat dekat di masa kecil itu sudah tumbuh dewasa sedemikian rupa. Ah, rasanya beberapa tahun terlewat dan tak bertemu adalah satu hal yang disesalinya kini.

Ketukan halus di depan pintu menyentak Eneas, segera lelaki berambut keemasan itu menoleh, mendapati Alfredo tengah berdiri di sana. Dareena sama sekali tidak merasa terusik, terbukti dari fokusnya yang tak berpindah dari objek yang dari tadi menjadi santapan mata dan tangan kirinya. Telunjuk raja mengisyaratkan Eneas untuk keluar sebentar, mengikuti sang raja.

Eneas mengedutkan dahi, matanya terarah pada Dareena yang masih sibuk menggunakan penanya menari di atas kertas. Alfredo menggeleng, raja itu hanya ingin berbicara pada Eneas, tanpa putrinya. Mengerti dengan isyarat itu, Eneas menghampiri Dareena.

"Aku keluar sebentar, ya. Tidak apa jika kutinggal?"

"Hm, tidak apa. Aku juga hampir selesai," jawab Dareena tanpa memalingkan wajah dari kertas dan buku yang ditekuninya.

Eneas mengangguk, lantas melenggang pergi keluar, menemui Alfredo. Di ruangan penuh buku ini, raja itu tak ada, otomatis Eneas sedang ditunggu di luar ruangan. Benar saja, lelaki berusia hampir 50 tahun itu menanti Eneas di depan pintu.

Mengisyaratkan untuk mengikuti, yang langsung dianggukan oleh Eneas. Langkah kokoh Raja Al-Khadhra itu berhenti di paviliun. Beberapa daun berguguran serta angin yang sedikit kencang bertiup memainkan interaksi dalam diam dua lelaki beda generasi itu.

Mengikuti gerak Alfredo yang mengambil bangku, Eneas turut duduk, menunggu ucapan yang akan dikatakan oleh pria yang begitu dihormatinya.

"Bagaimana perkembangan Dareena selama sebulan ini, Nak?"

Ah, sudah Eneas duga. Pertanyaan Alfredo sudah sangat dipersiapkan jawabannya. Lelaki itu tersenyum menawan. "Perkembangan sangat baik dalam bimbingan peradaban dan ekonomi." Jawaban Eneas membuat sang raja menghela napas lega.

"Baik, aku tak salah memilih orang ternyata," goda Alfredo dengan tawa renyahnya.

"Itu berkat kegigihan Reena, Yang Mulia. Aku hanya sedikit mengarahkannya saja."

"Ah, kau selalu merendah, Eneas. Membuatku yakin kalau ayahmu mendidikmu hingga sifatmu serupa dengannya," ucap Alfredo berbasa-basi. Eneas hanya menanggapi dengan sabit bersahaja di wajah tampannya.

Terdiam sesaat. Sepoi- sepoi embusan angin memainkan rambut pirang milik Eneas dan surai coklat Alfredo. Dua manusia itu masih terdiam dengan pikiran yang sama.

"Mohon maaf, Yang Mulia---"

"Nak Eneas---"

Keduanya terdiam menyadari kalimat yang keluar dari masing-masing mereka beriringan. Eneas berdehem.

"Silakan Anda lebih dulu," ujar Eneas mempersilakan.

Alfredo malah kembali terkekeh seperti biasa. "Silakan, kau saja yang duluan, Anak Muda."

"Eh? Tidak, tidak. Hal yang ingin kubicarakan tidak begitu penting, Yang Mulia. Aku merasa tersanjung jika dipersilakan, tapi Anda jelas lebih berhak daripada aku," sanggah Eneas.

"Ah, kauberbicara seperti aku sudah tua saja," cibir Alfredo, sedang di posisinya, Eneas sudah panas dingin. Takut bahwa kalimat spontannya menyinggung orang yang begitu diseganinya. Beberapa detik kemudian, Alfredo kembali terkikik geli melihat respon anak sahabatnya.

Melihat raut wajah Alfredo yang tampak biasa saja, Eneas menghela napas lega. Untunglah raja tidak tersinggung.

"Bagaimana perkembangan latihan berpedangnya?"

Eneas mengangkat bahunya sedikit. "Tongkat kayunya semakin pendek karena patah," selorohnya. Alfredo mengernyitkan kening tak mengerti.

"Dareena mematahkan tongkat kayu yang diberikan Lazaro untuk membelah batu? A-apa kau serius?" Alfredo menegakkan tulang punggungnya.

Eneas mengangguk yakin. "Dua kali, Yang Mulia. Emosinya belum stabil."

"Kukira tongkat kayu itu bahkan tidak bisa patah," gumam Alfredo sambil mengusap janggut pendeknya.

Ya, beberapa hari belakangan kemampuan Dareena bertambah. Putri kerajaan itu tak dapat memungkiri bahwa ia begitu bersemangat mengikuti latihan jika diawasi oleh Eneas. Beberapa kali berlatih pengendalian diri, posisi bertarung, juga kegesitan tubuh bersama Lazaro, gadis itu menunjukkan perkembangan yang naik signifikan. Sayangnya, untuk memecahkan batu, Dareena belum mampu.

Sempat emosi karena Lazaro menyentil hatinya dengan sosok Ivina, ujung tongkat yang bagiannya sudah hilang sedikit karena patah, malah kembali kehilangan 10cm akibat kembali patah. Ah, Dareena memang selalu mudah terpancing.

"Baiklah, terima kasih laporannya."

"Baik, Yang Mulia."

"Tadi kau hendak berkata apa?" tanya Alfredo, teringat akan kata berbenturan yang akan disampaikan oleh Eneas tadi.

Eneas menegakkan punggung, mengeratkan jarinya yang saling bertautan dan mulai dialiri sedikit keringat dingin.

"Saya mencintai Dareena, Yang Mulia."

🗡🗡

Fokus! Kali ini Dareena mengikat tinggi-tinggi surai panjangnya, tongkat yang tinggal 85 centimeter itu dipegangnya erat. Matanya memicing, parunya menetralkan udara yang akan disalurkan ke seluruh tubuh. Dareena memejamkan mata.

"Jiwa yang tenang, tubuh yang bergerak sesuai kehendak hati, pengendalian emosi yang baik dan pikiran yang bersih." Lazaro mengitari Dareena setengah putaran di belakangnya, mengingatkan kembali apa yang harus dilakukan gadis itu. Kesekian kalinya pula Dareena mengangguk.

Berkati aku, Tuhan. Berkati aku juga, Ibunda.

Gadis itu menarik napas panjang, menutup mata, lantas mengayunkan pedangnya dengan posisi horizontal.

Eneas yang tadi duduk bersila kini melongo, tak sadar posisinya sudah sempurna berdiri di atas kaki. Lazaro tersenyum berarti, hatinya sungguh sudah sangat tenang sekarang, karena beban untuk menjadikan anak raja ini tangguh selesai sudah. Air matanya seketika menetes.

Dareena membuka mata perlahan dengan jantung yang berdegup kencang dan hati yang ketar-ketir rasanya. Ia mendengar sesuatu yang patah. Ah, apakah pedangnya patah lagi?

Bukan batu atau tongkat kayunya yang pertama kali dilihat ketika Dareena membuka mata. Ekspresi Eneas di seberang yang tengah melongo membuatnya meringis, anggapan tentang kemungkinan tongkat kayunya yang semakin pendek berputar di kepalanya. Kepalanya terputar spontan ke arah Lazaro di sebelah kirinya. Ah, apakah lelaki tua itu menangis karena mungkin tongkatnya tidak bisa dipakai lagi?

"Selamat, Dareena Helsanafa."

Tercengang. Setelah sekian menit atensinya tak sedikit pun melirik, kali ini netra itu terpaku pada batu yang sudah terbelah dua dengan beberapa keping pecahan di sekelilingnya.

Dareena melepas tongkatnya lantas melonjak kegirangan. Langsung saja ia memeluk Eneas yang terpaku pada aksi Dareena yang begitu tak terduga.

Lazaro berdehem. "Ikut aku, Tuan Putri. Pedangmu tak suka menunggu lebih lama." Masih dengan euforia tingkat tinggi, Dareena tanpa banyak tingkah langsung mengikuti arah langkah Lazaro hingga tibalah ia di ruang Alfredo. Tak ada siapa pun, barangkali ayahnya tengah memantau perkembangan politik di singgasananya.

Mata Dareena berbinar ketika Lazaro menyodorkan dua bilah pedang. Satu pedang jenis Arming Sword dengan pegangan berwarna emas serta terdapat sebuah batu batu zamrud hijau terang berkilau sebagai penandanya, satu yang lain adalah Long Sword dengan pegangan warna merah marun dihiasi ukiran silver serta tiga batu safir yang menghiasinya.

"Pilihlah salah satunya. Jangan gegabah, kau sedang memilih sahabatmu."

Gadis itu mengangguk, memejamkan mata sebentar kemudian menjatuhkan pilihan.

🗡🗡

Sungguh kepercayaannya masih setengah jiwa. Padahal, tadi siang Dareena tidak menggunakan seluruh kekuatan untuk mengayunkan tongkat. Ia hanya memokuskan pikiran, meliukkan dengan tenang, dan voila! Batu yang dikira tak akan pernah terbelah itu pecah sudah.

Beberapa kali Alfredo memeluknya, bersemangat sekali untuk mengambil gambar sang putri dengan pedang pertamanya, menambah koleksi pigura di ruangan pribadi miliknya.

Sekali lagi Dareena mengelus batu safir yang terletak manis sebagai ornamen hiasan di pedangnya. Bolehkah sekarang ia berkata bahwa saat pembalasan dendamnya sudah semakin dekat? Sisa seminggu lagi menuju peperangan dan Dareena begitu bersemangat. Lupakan tentang bendahara negerinya, ia sudah tak lagi memikirkan hal itu, setidaknya sampai hari ini.

"Malam," sapa Eneas dari balik punggung Dareena yang tengah duduk lesehan di atas rumput halaman belakang. Gadis itu mendongak, mendapati pujaan hati yang tengah tersenyum.

"Malam," balasnya singkat.

"Keberatan jika aku temani, Tuan Putri?"

Gadis itu menggeleng sembari tertawa sedikit sumbang. "Jangan memanggilku terlalu formal seperti itu. Aku lebih suka kau memanggilku 'Reena'," interupsinya ditanggapi oleh Eneas yang terkekeh lalu mengambil tempat untuk duduk di sebelahnya.

"Mengapa memilih long sword? Bukankah akan lebih mudah menggunakan arming?"

Dareena tersenyum cantik, pandangannya tak lepas dari benda pipih di pangkuannya. "Lazaro dulu pernah bilang, 'bicaralah pada pedangmu' padaku dan, ya, kukira itulah alasanku mengapa pilihan ini jatuh ke long sword. Aku benar-benar merasakan mereka berinteraksi denganku," jelas Dareena.

Eneas tenggelam pada buaian malam dengan Dareena di sebelahnya.

"Kau tahu cinta?"

Atensi Dareena berpindah untuk menyelami iris Eneas.

"Tahu."

"Aku selalu yakin bahwa Tuhan menciptakan hati untuk tak hanya dimiliki oleh satu orang."

Kening bersih Dareena berkedut.

"Aku akan mengatakan satu hal, dan kuharap kau membicarakan juga dengan hatimu, seperti interaksi jiwamu pada pedang ini."

Darahnya berdesir hebat, jantungnya berdegup seakan meronta untuk keluar dari peredaran rusuk.

"Demi Tuhan, aku mencintaimu, Dareena Helsanafa. Aku sudah membicarakan ini pada ayahmu, dan ia menyerahkan jawaban ini sepenuhnya padamu. Maukah kau menjadi ratuku?"

Pasokan oksigen terasa menipis, membuat sesak dada Dareena. Seiring jatuhnya setetes bulir bening dari matanya, gadis itu mengangguk.

Tentang pedang dan perasaan, Eneas yakin benar bahwa selalu ada waktu yang tepat untuk menunggu waktu itu hadir. Ya, menunggu dan bersabar, berkorban dengan rindu dan waktu adalah hal yang dilaluinya beberapa tahun belakangan.

Seperti segala ciptaan Tuhan, cinta memang unik. Tentang cinta dan pedang, Dareena meyakini bahwa cinta itu butuh ketenangan, kematangan pikiran, penantian, perjuangan, juga keselarasan hati agar Tuhan menyambut dan merestui.

Di bawah langit kelabu malam itu, pedang dan perasaan akhirnya didapatkan oleh bungsu dari Kerajaan Al-Khadhra.

🗡⚔🗡

Bantu Yoru menumpas bakteri-bakteri typo yang ada, yuk! Komen aja, ngga perlu takut. Yoru ga doyan makan orang 😙

Terima kazii 💐

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro