04 - Ambisi
.
.
.
"Terburu-buru dengan ambisi itu tidak selalu berakhir baik. Jika kau masih menginginkan untuk mengikuti kata hati, maka bertindaklah sesuai kadar hatimu, bukan paksaan egomu."
(Eneas)
.
.
.
🗡🗡
"Eneas akan datang ke sini esok lusa. Mengajarimu tata cara mengatur keuangan dan perpajakan, juga memantaumu berlatih."
Mendengar perkataan sang ayah, mata Dareena berbinar. Bagaimana ia bisa lupa dengan Eneas? Anak dari kerajaan seberang yang begitu dekat hubungannya dengan keluarga mereka. Lebih dari itu, ada perasaan terpendam yang dijaga Dareena dalam hatinya untuk sosok yang baru saja disebutkan oleh Alfredo.
Alfredo yang melihat binar girang itu mencetak senyum simpul. Entah sudah berapa lama senyum itu hilang. Lima tahun terakhir, keluarga Eneas memang tidak pernah lagi berkunjung dikarenakan krisis ekonomi di sana. Untunglah kondisi negara mereka sudah sangat membaik.
"Sogokan yang bagus, Ayah," ucap Dareena, masih dengan ekspresi bahagia yang kentara.
Alfredo tertawa renyah, lantas memeluk sang putri. Ia tidak pernah tega membebankan hal berat pada kedua anaknya, terlebih lagi pada sang bungsu, apalagi karena masalah gender dan jangan lupakan bahwa putrinya begitu mirip Ivina, mendiang sang ratu. Namun bagaimanalah, ia tahu apa yang terbaik untuk darah dagingnya, meski sulit dilakukan.
"Tidurlah. Esok pagi hingga siang, kau akan mulai belajar. Aku sudah memberitahu Lazaro kalau waktu berlatihmu dimulai dari sore hingga malam hari."
Dareena mengangguk. Sebelum meninggalkan kamar sang putri, Alfredo sempat mengusap lembut surai coklat Dareena.
Maafkan aku, Nak. Karena lagi-lagi, aku mengirim Eneas ke sini agar kau terkukung.
🗡🗡
Eneas disambut hangat oleh Alfredo, Javiero dan Dareena. Lelaki seumuran pangeran Al-Khadhra dengan rambut pirang dan iris biru terang itu datang hanya dengan seorang pengawal.
"Hai, Reena. Bagaimana kabarmu?" tanya Eneas berbasa-basi sembari mengulurkan tangannya untuk saling berjabat.
"Baik, seperti yang kaulihat," jawab Dareena pendek, lantas membalas jabatan Eneas.
"Kau masih saja dingin," keluh Eneas.
"Dan kau, masih saja suka berbasa-basi," timpal Dareena membuat Javiero dan Alfredo tertawa rendah.
"Baiklah jika tidak ingin berbasa-basi. Mulai hari ini aku akan mengajarkanmu mengurus keuangan, juga memantaumu berlatih pedang," ucap Eneas dengan nada yang dibuat seserius mungkin. Lelaki tegap itu berjalan masuk, diikuti oleh Alfredo, Javiero, juga Dareena.
"Percayalah, kau lebih baik berbasa-basi saja." Dareena melengos karena diingatkan untuk mempelajari hal yang akan mengukungnya.
Mereka sampai di ruang sebesar 20x30 meter dengan rak kayu yang menjulang, terisi banyak bahan bacaan dengan sampul yang rata-rata berwarna gelap. Dareena sudah sangat terbiasa dengan ruangan ini. Ia sejak kecil sudah diajarkan untuk giat belajar. Namun keningnya mengernyit ketika Eneas tidak menghentikan langkah setelah sampai di rak belakang.
Bibir mungil gadis itu menganga saat Eneas menekan salah satu buku dengan sampul berwarna keemasan, hingga rak sedikit bergeser, menampilkan sebuah ruangan. Dareena yakin benar, sejak 21 tahun umurnya berjalan, ia sama sekali tak pernah tahu bahwa ada bilik rahasia selain gudang persediaan gandum dan senjata di bawah tanah.
Ruangan ini tidak begitu luas. Berbentuk persegi dengan ukuran 10×10 m² menurut perkiraan Dareena. Tak ada banyak buku seperti ruangan sebelumnya. Hanya beberapa namun tampak begitu tua usianya. Terdapat tumpukan pedang di sudut, juga pemanas ruangan. Iris abu-abu itu menangkap sebuah meja berukuran sedang di depannya. Ya, tanpa sadar, gadis itu mengikuti tiap langkah tiga orang pria di hadapannya.
Sejak kapan ruangan ini ada? Aku tidak pernah mengetahuinya, batin Dareena.
Jav tahu? Kenapa ia tidak mengatakannya padaku?"
Klasik. Sepertinya ruangan ini sudah ada sejak kerajaan dibangun.
Serahasia apa tempat ini hingga padaku saja tidak diperlihatkan?
Dan, mengapa Eneas mengetahuinya?
Pertanyaan-pertanyaan itu spontan berputar di kepala Dareena. Bagaimana tidak? Di antara mereka berempat, hanya dirinya saja yang tampak kebingungan dan terkejut. Tiga pria lainnya, bahkan Eneas yang notabene bukan anggota keluarga mereka terlihat biasa saja.
"Saatnya belajar, Reena," tutur Alfredo, membuyarkan pikiran-pikiran sang bungsu.
Dareena terkesiap.
"Kau akan belajar bersama Eneas di sini, sedangkan bersama Lazaro, di tempat biasa kauberlatih." Alfredo menatap dalam netra Dareena.
Mendecih pelan saat kembali diingatkan akan tugasnya, gadis itu sekarang berusaha menerima mandat. Toh ia akan menghabiskan banyak waktu bersama Eneas, mungkin tidak akan se-membosankan pikirannya. Bahkan gadis itu sudah lupa dengan niat sang raja yang ingin melindunginya dari mengikuti peperangan lewat jabatan ini.
"Jadi, kapan akan kita mulai?"
🗡🗡
Dareena menggerutu, berurusan dengan angka dan segala persentasenya membuat otaknya sedikit berputar. Bukan karena bingung, ia hanya sudah tak lagi terbiasa. Dua tahun terakhir fokusnya hanya berlatih bela diri, dan beberapa bulan ini pikirannya hanya memuat cara memecahkan batu dengan tongkat kayu yang sudah patah bagian ujungnya.
Sore tadi, Lazaro mengeluhkan bahwa pinggangnya sedikit sakit, efek bertambahnya umur hingga massa tulangnya berkurang sudah. Karena itu juga, latihan sore itu tak berlangsung lama, dan, yah, tidak ada perubahan yang berarti. Dareena mulai bisa mengendalikan ketenangannya dalam mengacungkan tongkat kayu patahnya, walau terkadang masih sembrono mengibaskan. Lagi-lagi, pikiran yang sama mengganggunya.
Jika terus-terusan begini, kapan ia akan mendapatkan pedang?
Eneas yang secara langsung menyaksikan, sedikit kagum pada usaha Dareena untuk menjadi tangguh, walau sedikit sisi dalam dirinya tidak menerima jika gadis itu terlalu berambisi untuk pedangnya.
Eneas juga pernah belajar, walau tidak dengan Lazaro. Ia bisa melihat kegigihan di mata putri bungsu Alfredo itu. Benar seperti kata sang raja. Di balik wanita anggun dengan gaun kerajaan, tersimpan sosok perempuan tangguh dengan pakaian putih yang dikenakan untuk berlatih, menyadarkan kembali tentang tugasnya hingga ia diutus pada teman masa kecilnya, Dareena.
Setelah makan malam, mereka berjalan menyusuri lorong yang sedikit temaram dengan obor meredup tertiup angin. Mengarah ke paviliun, tujuan Dareena. Melihat bintang memang lebih indah dari tempat itu, setelah halaman belakang.
"Wajahmu kenapa?" tanya Eneas, sedikit menertawakan ekspresi keras Dareena yang terkadang mengetuk-ngetukkan kepala.
"Memangnya kenapa dengan wajahku?" Alih-alih menjawab, Dareena malah menghentikan langkah, kemudian balik bertanya sambil menyentuh pipinya.
Eneas terkekeh.
"Seperti sedang memikirkan banyak hal." Eneas melanjutkan derap langkah, matanya menatap lurus.
"Memikirkan apa?" pancing Dareena.
"Kau memikirkan tentang jabatanmu, sedangkan kauingin sekali menuntaskan latihanmu dan mendapat pedang sesegera mungkin lantas bisa menyelinap ke barisan pasukan. Begitu, kan?"
Dareena menghela napas, sudah menduga bahwa tebakan Eneas benar.
"Jika sudah tahu apa yang kupikirkan, lantas mengapa kaubertanya?"
Eneas menarik napas panjang lalu mengembuskannya perlahan. Menghentikan langkah, membuat Dareena ikut berdiri diam. Atensi Eneas menatap tajam iris keabuan milik sang putri dari kerajaan Al-Khadhra itu. Dalam, membuat siapa saja yang menelisiknya akan terhanyut.
"Dengar, Dareena. Terburu-buru dengan ambisi itu tidak selalu berakhir baik. Jika kau masih menginginkan untuk mengikuti kata hati, maka bertindaklah sesuai kadar hatimu, bukan paksaan egomu."
Kening mulus itu berkedut. Matanya memicing, berusaha mencerna ucapan Eneas.
"Sudahlah, jika tak mengerti maksudku, kenapa tidak tanyakan saja langsung?" seru Eneas, menahan tawanya akibat gemas melihat wajah Dareena yang tertekuk fokus.
Dareena tertawa sumbang. "Aku mengerti, untuk apa bertanya?"
"Kau tidak mengerti, Reena," bantah Eneas cepat.
"Aku mengerti, Eneas," timpal Dareena. Ingat satu hal, putri kerajaan ini mempunyai ego dan kadar kegengsian yang sangat tinggi. Mana mau ia dikalahkan bahkan dalam debat kusir sekali pun.
"Jika begitu, beri tahu aku apa yang kau mengerti."
Kelabakan, Dareena mulai menyusun kata-kata di otaknya. "Maksudmu, aku harus mengikuti kata hatiku. Mudah saja," jawab Dareena santai.
"Sifat gengsimu memang tidak pernah hilang, ya." Eneas tertawa renyah, membuat Dareena malah memberengut kesal.
"Perkataanku benar." Masih kekeuh, Dareena memperjuangkan jawabannya.
"Aku tidak mengatakan jawabanmu salah."
"Ya, karena memang benar," timpal Dareena.
"Tapi, bukan begitu maksudku, Tuan Putri."
"Jadi?"
"Aku rasa, kau bisa simpan saja dulu perkataanku tadi. Biar hidup yang mengajarimu, dan waktu yang memberimu jawaban."
🗡⚔🗡
Heyyo wassap!
Bantu Yoru menemukan bakteri typo di tulisan ini, ya. Ingatkan aja lewat komen. Itung-itung ramein, ya kan?
⚠Jangan pindah lapak dulu!!⚠
Soalnya, kita belum masuk ke konfliknya😉
Pantengin terus, ya😘
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro