03 - Rencana Raja
.
.
.
"Di akhir rasa lelahku, kaudatang. Sebagai cahaya."
(Alfredo)
.
.
.
🗡🗡
"Urusan ekonomi, mulai saat ini dan selanjutnya ada di tanganmu."
Dareena terperanjat. Ia mengerti jelas maksud dari perpindahan tugas oleh menteri kerajaan pada dirinya ini berarti banyak hal. Pertama, ia harus selalu menerima laporan grafik pemasukan dan pengeluaran, memberi dan menolak jaminan, sesekali turun ke lapangan untuk mengamati. Kedua, dalam aturan negara, pemegang kekusaan ekonomi tertinggi tak diizinkan untuk mengikuti peperangan dan akan selalu berada dalam pengawasan ketat. Ketiga, ia tak berhak dibunuh, diusir, disiksa dan dibuang jika negara kalah dan wilayah jatuh ke kekuasaan lawan. Posisi yang cukup aman bagi anggota negara.
Gadis itu melengos tak suka. Ia merasa mendapat kukungan di balik perlindungan yang ditawarkan. Ia juga merasa begitu diremehkan dengan posisi yang diajukan. Dirinya tak menginginkan hal itu. Apa sang ayah mengetahui tujuannya berlatih pedang? Seingatnya ia tidak pernah membeberkan dendam dan keinginan kuatnya untuk ikut ke garis perang. Sekejap saja, ia dapat menduga bahwa Javiero yang mengadukan.
Hanya Javiero yang mengetahui, walaupun Dareena yakin kalau Lazaro juga paham bahwa dirinya hendak ikut berperang. Walau tidak meceritakan secara gamblang, terkadang guru tua renta itu suka memperingatkannya perihal dendam.
"Tanpa mengurangi rasa hormat, aku menolak jabatan ini." Tak perlu basa-basi, Dareena mengikrarkan penolakan tegas, membungkukkan punggung sebagai penghormatan, berharap sang ayah tak lantas memarahinya karena lancang menolak perintah.
Alih-alih murka, Alfredo malah tertawa rendah, apalagi ketika melihat wajah sang putri yang memerah tomat, rahang mengeras dan mata memicing tajam. Dugaan Dareena memang benar. Karena begitu khawatir dengan sang adik, Javiero terpaksa mengadukan niat Dareena pada Alfredo. Sang ayah yang memiliki kekuasaan tertinggi pasti akan lebih mudah memberinya mandat. Walau begitu, si bungsu tetap menolak. Bertahan pada prinsipnya.
Lelaki dengan kharisma tinggi itu juga begitu hafal dengan sikap Dareena yang cenderung tak suka beramah-tamah, begitu pula halnya berbasa-basi. Putrinya itu lebih suka mengutarakan secara langsung, apalagi setelah kepergian Ivina, Dareena cenderung bersifat kaku dan dingin.
Lihatlah, Ivina. Dari dulu, putrimu tidak pernah berubah, batin Alfredo, ingatannya melayang pada mendiang sang istri yang lagi-lagi membuat lengkung sabit di wajahnya terukir.
"Mengapa kau menolak, Anakku?" tanya Alfredo dengan pembawaan santai, berusaha tetap bijak dan tenang.
Dareena kelabakan ingin menjawab. Gadis itu tahu persis jika dirinya sedari awal begitu dilindungi di kerajaan, apalagi ketika sedang keluar istana. Ia paham betul kalau Alfredo dan Javiero tak ingin kejadian Ivina yang diam-diam menyusup ke barisan pasukan juga terjadi pada dirinya. Jika secara langsung mengatakan rencananya, ia yakin bahwa alibi itu hanya akan lebih kuat memojokkannya untuk menerima jabatan dari sang ayah. Alhasil, Dareena hanya menggembungkan pipi lalu melengos pelan.
Alfredo bangkit dari kursi nyaman di belakang meja kayu yang lebar, berjalan ke sisi dinding dengan banyak pigura, melihat-lihat sekilas lalu bergumam. Tanpa bertanya, Dareena sudah tau foto apa saja yang dipandangi sang ayah. Jika bukan fotonya dan Javiero yang sedang bersama Lazaro saat pertama kali mendapat pedang, maka yang diteliti tak lain adalah foto cantik Ivina dalam balutan gaun berwarna keemasan.
"Kau tahu? Setiap malam aku merindukan Ivina, dan ketika melihatmu, rasa rindu itu sirna."
Ya, siapa pun tahu kalau wajah ibu dan anak ini memiliki tingkat kemiripan nyaris 98%.
"Aku bermimpi. Mimpi yang sangat buruk, Putriku. Mimpi yang membuatku ketakutan. Dari situ aku tahu, bahwa kau harus tetap dilindungi, dan langkah ini adalah cara terbaiknya."
🗡🗡
"Demi Tuhan, aku tak melihat sedikit pun jalan terang dari gulita yang kutempuh. Tak ada cahaya barang setitik pun, padahal saat itu aku membawa banyak pengikut di belakangku. Perjalanan itu jauh tanpa ada tujuan dan tempat peristirahatan. Di akhir rasa lelahku, kaudatang. Sebagai cahaya.
Yang lebih menyedihkan, kau tak mampu menerangi jalanku juga jalan kakakmu. Cahaya itu hanya melingkupi dirimu saja. Dari mimpi itu, aku menyimpulkan bahwa kau harus dilindungi, karena kau bisa menjadi cahaya, meski tidak denganku."
Dareena termenung saat cerita tentang mimpi sang raja menghampiri memori. Otaknya sibuk memikirkan kemungkinan takwil dari mimpi ayahnya. Dirinya? Cahaya? Petunjuk, maksudnya? Pemenang? Lalu apa hubungannya dengan ia yang dinaikkan jabatan sebagai menteri keuangan?
Di kerajaan terdapat beberapa penakwil mimpi, namun disayangkan, Alfredo tidak pernah meminta jasa mereka untuk menafsirkan tiap mimpi anehnya. Menurut raja Al-Khadhra itu, tak ada mimpi yang bisa ditakwilkan oleh manusia.
Karena di satu sisi, otaknya sedikit banyak menimbang-nimbang, akhirnya dengan berat hati Dareena menerima perintah sang raja. Entahlah, mimpi itu walau bisa saja hanya bunga tidur biasa, tetap saja membuat hatinya merasakan ada sedikit keanehan di sana. Hatinya memerintahkan untuk dituruti sekali ini saja, karena mimpi itu.
Dareena menghela napas keras, menganggap bahwa mimpi itu hanyalah bunga tidur yang biasa datang. Barangkali Alfredo tengah lelah, jadi mimpi abstrak seperti itu mendatanginya. Atau barangkali sang ayah tengah memikirkan banyak hal, sampai-sampai kekhawatiran menghantuinya dengan mendatangkan bayangan aneh dalam lelapnya. Iya, pasti begitu.
Tok-tok-tok!
Beriringan dengan suara ketukan pintu kamar, pikirannya buyar. Tanpa merasa perlu meminta izin, Javiero memunculkan diri dari balik pintu.
Dareena melengos menyadari sang kakak yang masuk. Perasaan kesalnya masih sangat kentara karena ia masih saja menduga bahwa Javiero yang mengatakan pada raja bahwa dirinya bertekad mengikuti perang. Walhasil, Dareena membuang pandangan pada jendela setinggi 2 meter di hadapannya.
"Kudengar kau diangkat menjadi menteri keuangan?"
"Ingin mengajakku berbasa-basi, huh?"
Javiero mengernyit, tak mengerti maksud sindiran Dareena. Mengerti ekspresi kebingungan sang kakak, putri kerajaan itu mendengus.
"Kau yang memberi tahu ayah kalau aku hendak ikut berperang, bukan? Karena itu, secara tak langsung ayah mengangkatku jadi menteri supaya tidak dapat ikut ke barisan. Begitu, bukan?"
Lelaki berumur dua puluh empat tahun itu membulatkan bibir, membentuk huruf 'o' sembari bergumam.
"Demi apa pun aku bersumpah kalau aku tidak mengatakan hal itu," protes Javiero, tak terima disalahkan.
"Bagaimana bisa aku mempercayai ucapanmu?" Dareena berseru ketus. Javiero menghela napas panjang.
"Bahkan sejak awal kau berlatih pasca meninggalnya ibu, ayah telah tahu bahwa kau berlatih keras untuk membalaskan dendam."
Alis Dareena menyatu. Betapa tidak masuk akalnya perkataan Javiero barusan. Bagaimana bisa sang raja langsung mengetahui? Apa raut wajah penuh dendamnya begitu kentara? Wajah cantiknya malah menatap sang kakak skeptis. Barangkali, Javiero sengaja sedang membuat-buat alasan agar tidak disalahkan.
"Kau membual, Jav," tuduh Dareena sambil tertawa mengejek. "Carilah alasan lain jika kau hendak menipuku," sambungnya dengan nada mengkal.
Javiero mengusap tengkuk, mengembuskan napas kesal. Ia berkata benar, tapi tampaknya Dareena tak menganggap demikian.
"Kau anaknya, Reena. Bagaimana ia bisa luput memerhatikanmu?"
"Alasan klasik," decih Dareena.
"Lazaro yang memberi tahu ayah." Akhirnya Javiero mengaku.
Ya, sejak awal, Lazaro telah memperingatkan bahwa Dareena memiliki tujuan untuk membalaskan dendam atas kematian Ivina. Tanpa pengakuan dari sang bungsu, ahli pedang itu tak mungkin tidak mengetahui motif dari tiap ambisi Dareena. Ia begitu mengenali watak anak didik, bahkan pada tiga pertemuan mereka di awal.
Lazaro sebelumnya telah memperingati Alfredo, berlanjut pada Javiero bahwa Dareena begitu serius dengan tujuannya. Memaksa sang raja untuk menyiasati cara agar kelak keinginan besar itu pupus dengan cara yang baik. Nyatanya, Dareena tak semudah itu menerima kondisi. Otaknya yang terlatih berpikir kritis langsung dapat menangkap maksud terselubung dari ayahnya.
Sekarang, Dareena bungkam. Namun, kemudian kembali melengos, mendeklarasikan ketidakpercayaannya dengan cara halus.
"Sudahlah, aku lelah. Kau keluarlah! Aku ingin tidur."
Bukan Javiero tidak tahu kalau Dareena tak mempercayainya. Akan tetapi, laki-laki itu memutuskan bangkit, lalu keluar. Ia tak ingin melanjutkan debat. Dareena tak akan suka kekalahan. Jika melanjutkan perdebatan, maka tak akan ada habisnya, disebabkan Dareena begitu ahli bersilat lidah. Tambahkan sifatnya yang dingin, membuat lawan bicaranya gentar saat perkataan sarkas dari sang adik terlontar.
"Aku harus bergegas mendapatkan pedang itu," tekad Dareena sebelum matanya terpejam.
Tok-tok-tok!
"Siapa lagi?" geram Dareena. Bagaimana tidak? Ia baru saja akan memejamkan mata, tapi seseorang lagi-lagi mengetuk pintu.
"Boleh aku masuk?"
Suara ayah, batin Dareena.
"Silakan," ujarnya.
Pintu tinggi dari tanah liat merah itu terbuka, menimbulkan sedikit derit khas. Dareena mengubah posisinya yang tadinya rebah menjadi posisi duduk.
"Ada apa?" tanya Dareena ketus, ia masih kesal.
Alfredo tertawa renyah. "Kau marah padaku, Reena?"
Dareena melengos. Bukankah sudah jelas?
"Astaga, ternyata kau masih marah. Ya sudah, aku harap kabar ini akan membuat marahmu reda. Karena aku membawa kabar gembira."
🗡⚔🗡
Yoru nerima krisar dari kalian, kok :).
Typo menjamur .... Mohon diingatkan jika ketemu, ya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro