Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[+] Stay at Home, Star - special edition

Kejora menangis terisak-isak.

Cewek itu menangis hingga matanya bengkak dan wajahnya memerah semua. Bahkan bernapas saja dia kesulitan mengaturnya. Kata-kata yang terdengar dari bibirnya hanya berupa gumaman tak jelas.

Rigel memandanginya dalam diam tanpa bisa berbuat apa-apa. Tidak bisa meminjamkan lutut, bahu atau sekedar menepuk-nepuknya supaya tenang. Bagaimana tidak, tangisan itu hanya dilihat Rigel melalui layar ponsel di hadapannya. Kejora terus menangis dan Rigel tidak bisa apa-apa. Dia sempat mengatakan hal standar seperti, "Tenang dulu, ada apa?" atau "Nggak apa-apa, semua bakal baik-baik saja." Tapi ditenangkan pun percuma, tidak membawa efek apa-apa.

Kejora terus saja menangis.

"Jora, udah ya, kuota gue mau abis." Rigel berbohong supaya Kejora menyudahi aksinya.

Kejora menggeleng-geleng. Tidak lama kemudian, muncul pop up notification pengiriman paket internet ke ponsel Rigel. Cowok itu menggeram gemas.

"Lo di mana deh, gue samperin?" kata Rigel langsung nyolot.

Lagi-lagi Kejora menggeleng. "Kita kan, lagi physical distancing," kata Kejora dalam isak tak jelas. "Kalau lo kenapa-kenapa gimana?"

"Lo pikir lihat lo nangis nggak jelas begini gue bisa nggak kenapa-kenapa?"

"NGGAK! Jangan ke mana-mana."

Bahu Rigel langsung melorot. "Jadi gue harus gimana?" jeritnya frustasi sambil mengacak-acak rambut lagi.

Tidak ada sahutan. Selama sepuluh menit selanjutnya, Rigel cuma bisa melihat Kejora lagi-lagi menangis mengharu-biru histeris.

"Gue tidur dulu, kalau udah, teriak aja." 

Kejora langsung menjerit dalam tangis.

"Astaga, lo ini kenapa sih? Tangis lo nggak menyelesaikan masalah!" Sambil mengatakan itu, Rigel memandangi laptopnya yang terbuka. Sejak tadi dia sibuk mengerjakan setumpuk tugas dan terinterupsi entah berapa lama untuk melihat Kejora menangis.

Lalu dia teringat sesuatu, hari ini, Raven—sahabat lamanya yang sekarang pindah sekolah dan menjadi ketua OSIS di sekolah barunya, sedang mengadakan conference call dengan seluruh anggota OSIS. Iseng, Rigel join melalui aplikasi ZOOM karena rapat terbuka itu kode room dan password-nya di-share di Instastory Raven. Siapa pun bebas bergabung. Daripada cuma memperhatikan Kejora menangis tanpa henti, tanpa bisa berbuat apa-apa, lebih baik dia ikut menyelundup acara itu. Sudah lama dia tidak merecoki Raven. Siapa tahu, temannya itu kambuh gila dan menyatakan cinta pada sejumlah cewek lewat momen ini.

Selama beberapa saat jadi penyelundup, Rigel mendesah. Ternyata Raven waras. Dia tidak aneh-aneh malah menyoroti masalah Covid19. Rigel kembali ke layar ponsel dan menatap Kejora.

"KEJORA!" Panggilnya dengan kesal. Sangat kesal. "LO NGGAK BISA SYUTING JADI MELAMPIASKAN BAKAT AKTING LO DENGAN NANGIS DI DEPAN GUE SEPUASNYA?"

Dasar singa tak punya hati, kata-katanya selalu saja ganas luar biasa. Sindiran pedas itu membuat Kejora tersinggung. Bibirnya menekuk mendengar sindiran pedas itu. Tapi dia langsung mengusap air mata dan berusaha menenangkan diri.

"Bisa nggak sih, ngomongnya nggak usah ketus begitu?! Gue lagi sedih."

"BISA NGGAK, NGOMONGNYA NGGAK USAH PAKAI AIR MATA? Di depan lo itu cuma kamera hape buat videocall, bukan kamera buat syuting sinetron."

Kejora diam.

"Sekarang bilang yang jelas, lo kenapa?" tanya Rigel begitu Kejora tenang.

"ART gue cerita, menantunya nggak kehilangan pekerjaan. Cucu-cucunya terancam nggak bisa makan." Kejora menggigit bibir menahan tangis supaya tidak diledek Rigel. "Gue nggak nyalahin Physical distancing, #DirumahAja, #karantinadaerah, dan #WorkFromHome atau apapun sejenisnya sebagai usaha memutus rantai Covid19. Tapi, Covid19 juga secara nggak langsung sudah membunuh penghasilan orang-orang kecil yang nggak punya penghasilan tetap."

Rigel terdiam. Teringat apa yang menjadi bahasan Raven di conference call tadi. "Lalu?"

"Lo mau bantu gue?"

"Ngapain?"

"Bagi-bagi sembako."

Pundak Rigel luruh. Matanya berputar. Khas Kejora. Tidak bisa membiarkan orang menderita. Khas Kejora, rela mengorbankan apa saja. "Lo mau nyari mati? Bagi-bagi sembako sama saja ngajak satu kampong keroyokan. Bikin kegaduhan! Lo lupa kita lagi physical distancing? Orang-orang bakal rebutan nggak kira-kira, dorong-dorongan. Habis dari acara lo, korban meningkat mau?"

"Jadi gue harus gimana?" Kejora mulai menangis lagi. Jadi yang sedari tadi ditangisi Kejora itu ini.

Rigel menatap langit-langit sambil berbaring di atas kasur. Fenomena ini memang tricky banget. Banyak korban berjatuhan, tapi kita nggak bisa menolong karena berdekatan saja tidak diperkenankan, apalagi bersentuhan. Saat manusia didera bencana, biasanya Tuhan yang jadi pelariannya. Tapi tempat-tempat ibadah ditutup dan kita cuma bisa berdoa dalam teduhnya kesendirian. Rigel mendesah, berhitung berapa banyak hari yang dihabiskannya di rumah untuk mengerjakan tugas yang membuatnya mual-mual. Sementara itu, Caleya sedang sibuk-sibuknya mengejar berita di sana-sini. Apa Caleya baik-baik saja?

Apa yang bisa meghentikan penderitaan orang-orang di luar sana seperti yang dialami ART Kejora? Berakhirnya penderitaan mereka, berarti berakhir pula derita Caleya yang memburu-buru berita Covid19 hingga mendengarnya saja dia muak. Semua hal tentang itu seperti terror yang menggerogoti kewarasan dan memenuhi otak dengan kekhawatiran. Kalau sudah begitu, stress mendera dan tidak bisa berbuat apa-apa.

"Bagi-bagi sembako sinting, Jora. Nggak efektif juga penerimanya. Conference call yuk. Kita ajak anak-anak Intensitas."

oOo

Setelah bersusah payah mengumpulkan anggota Intensitas dan mengajari mereka menggunakan aplikasi ZOOM yang mendadak hits, mereka mulai mengobrol seru.

"Halo, guys, apa kabar?" Tama yang gabut banget tersenyum paling cerah. Dia say hello pada semua orang padahal yang ditengok cuma Vero seorang. "Ngapain saja kalian di rumah?"

"Nugaslah. Pakai tanya!" Vero tetap ketus.

"Baca novel, Tam. Banyak nih, yang bagi-bagi PDF." Zinka menyahut.

"Tunggu-tunggu, novel PDF yang dibagi-bagi gratis maksud lo?"

Zinka mengangguk.

Tama menepuk kening.

"Kenapa, Tam?" tanya Lita dan Dio bersamaan. Lalu keduanya saling lempar senyum malu ke kamera.

Kejora dan Rigel diam saja. Menunggu mereka saling ribut dan tenang, baru diajak bicara tujuan sebenarnya.

"Kata, Mas Ashton, sepupu gue yang jadi editor novel, sebar-sebar PDF novel itu tindakan tindakan KRIMINAL. Bagian dari pembajakan itu. Lo bisa dituntut hukuman pidana, Zin." Tama menjelaskan berapi-api. Selain update gossip, ternyata dia juga bisa update hal-hal yang bermanfaat.

Sekali ini Vero menatap Tama bangga. "Gue lihat tuh, rame sebar-sebar ebook atau PDF katanya buat ngisi waktu pas di rumah saja. Masa nggak boleh?"

"Tapi kan, nggak diperjual belikan, Tam." Zinka merasa terpojok.

"Tetap saja, nggak boleh!" Tama berkeras.

"Lo tahu-tahunya bajakan dari mana? Berita gossip asli sama settingan saja lo nggak bisa bedain." Dio menyahut.

"Loh, semua yang disebar secara gratis dan bisa diunduh semaunya jelas bajakan," Tama membela diri. "Perlu gue suruh sepupu gue ceramah di sini? Bisa diomelin habis-habisan kalian!"

"SUDAH! SUDAH! Ribut semua!" Rigel berteriak membuat semua orang diam. "Gue invite kalian ke sini, bukan buat ribut."

Kejora masih diam. Menyembunyikan mata yang bengkak dan wajah yang memerah.

"Benar kata Tama, PDF atau ebook yang disebar-sebar itu PASTI BAJAKAN! Yang asli cuma bisa didapatkan di PLAYBOOK atau APPLE BOOK dengan cara beli buku non fisik atau langganan GRAMEDIA DIGITAL."

"Libur gini pemasukan nggak ada, Rig. Gimana mau langganan?" Zinka memelas.

"Kalau mau GRATIS tapi LEGAL dan nggak melanggar hukum ya, download aplikasi perpustakaan digital kayak IPUSNAS atau IJAKARTA."

"Baru dengar," Lita berbinar antusias. "Cara pakainya gimana?"

"Sistemnya sama kayak pinjem di perpus. Tapi bukunya digital. Lo cuma bisa baca selama beberapa hari, habis itu bukunya ditarik lagi. Kalau belum kelar ya, pinjam ulang." Rigel menjelaskan sambil mengamati teman-temannya satu persatu. "Udah? Paham?"

Mereka semua mengangguk-angguk.

"Ya udah, nanti gue hapus semua yang gue download. Gue jadi merasa bersalah sama penulisnya." Zinka tertunduk.

"Kita kasih tahu yang doyan sebar-sebar." Yang lain membeo hal serupa.

"Bisa gue mulai rapat hari ini?" tanya Rigel.

"Soal apa ini, Rig? Intensitas? Kok ada Kejora?" Pertanyaan Zinka membuat Kejora mendongak.

Wajah Kejora sedikit kesal karena merasa jadi penyusup.

"Soal lain. Gue cuma mau minta tolong kalian." Rigel lalu menceritakan hal yang dialami Kejora.

Semua orang terdiam. Mendadak rasa sedih menyelimuti mereka.

"Tuh, dengerin darling, jangan ngeluh cuma karena nggak bisa minum boba," Tama bicara pada Vero.

"Dio jangan ngeluh cuma karena nggak bisa nongkrong atau ngapelin gue." Giliran Lita menyindir Dio. "Bersyukur masih bisa makan kenyang."

"Gue yakin, nggak cuma ART aku, tapi orang-orang di sekeliling kalian juga mengalami masa-masa sulit saat ini. Bagi mereka yang bekerja informal, nggak punya duit karena dagangan sepi, job berhenti, bahkan ada yang diberhentikan sama bosnya." Kejora menahan diri supaya tidak menangis lagi. "Gue cuma pengin bantu mereka, tapi gue bingung."

Tidak ada yang bersuara. Tampak semua orang memikirkan sebuah cara untuk mengatasi duka.

"Gimana kalau kita mulai dari sekeliling?" Rigel berceletuk tiba-tiba. Padahal waktu ditelpon Kejora tadi otaknya buntu karena kebanyakan melihat air mata. "Yang paling tahu situasi mereka yang membutuhkan kan, orang-orang terdekatnya. Gimana kalau kita mulai dari tetangga-tetangga kita?"

"Bagus sih, itu. Jadi bantuannya nggak salah sasaran." Kejora mengangguk setuju. Segera teringat ketika dia mulai membantu menyekolahkan anak-anak kampong di rumah lamanya karena dia tahu benar siapa yang memerlukan bantuan.

"Ya sudah, gitu saja. Dengan begitu, kita juga bisa membatasi area kita ngelayap dan physical distancing tetap terjaga." Vero mulai bersemangat.

"Nanti gue transfer ke rekening kalian, terus tolong belikan sembako buat dibagi ya," Kejora tersenyum bahagia.

"Nggak usah, Jora. Gue juga mau bantu-bantu tetangga gue." Lita menyahut diiringi yang lain.

"Gini, gini. Kita himpun lebih banyak relawan saja." Rigel menengahi. "Yang nggak punya uang buat membantu, bantu tenaga dengan nyebar bantuan dari Kejora. Yang mampu silahkan berbagi."

Kemudian, sahut menyahut mereka saling menebar pandangan positif.

"Bagus tuh, bagus."

"Mulai peka sama sekeliling ya, guys."

"Belajar bersyukur atas nikmat yang kita miliki."

"Bantuannya nggak perlu banyak, sepiring nasi pun penting buat mereka yang kehilangan penghasilan.

"Jangan mengeluh."

"Perbanyak berbagi di masa sulit ini."

"YUK MULAI BERBAGI DARI HAL KECIL BUAT ORANG SEKITAR."

oOo


Aya's note

Hallooo ... apa kabar? Semua sehat ya? Semoga semua juga tetap enjoy meski keadaan sedang buruk. Ayo coba berpikir dan berlaku positif di masa pandemic yang melelahkan hati ini. Semoga mengatasi kerinduan kalian pada Rigel dkk.

Yang bingung sama nama-nama Raven, Ashton, dan Caleya. Mereka adalah tokoh-tokoh dari ceritaku Editor's Block dan Hellove, yang masih berhubungan sama tokoh-tokoh Starstruck Syndrome. Kalian bisa mengusir suntuk atau ngobatin kangen sama Rigel bareng mereka. GRATIS dan LEGAL. Cari tahu di Wattpad

SAY NO BUAT PDF BAJAKAN.


Stay strong, stay safe, stay healthy and stay at home

Aya

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro