Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[+] Starstruck Syndrome's FanFiction part.3

Malam minggu kamu biasanya ngapain sih?

Daripada halu gebetan tak kunjung bertamu, pacar tak juga menemuimu, mantan mungkin sudah melupakanmu, mending ngapelin Rigel lagi.

Dengan berat hati, pengiriman Fanfic format cerpen sepertinya aku udahin karena udah banyak bangetttt... Tapi buat yang mau kirim bentuk fanart atau video (trailer, visualisasi adegan, audio) masih boleh.

Next FanFict ini tulisannya Linda Eka. Duh, cara bertuturnya dan diksinya keren deh. Well prepared banget, milihin lagu segala dan aku nggak nemu typo. Semoga mengobati kangen kalian sama Rigel-Kejora hingga November nanti bisa kalian peluk-peluk novelnya.

Enjoy it!


~oOo~

[FINDING STAR]

Fanfic by Linda Eka

Wattpad @ rsptkasih

~oOo~

Like a lion you ran,

Goddess you rolled,

Like an Eagle, you circle, in perfect purple.

So how come things move on?

[Coldplay—Everglow]

~oOo~

Waktu berlalu bagai lesatan anak panah. Tahu-tahu, ujian kenaikan kelas sudah di depan mata. Tahu-tahu, skandal yang tercipta antara Kejora-Lean-Rigel terlupakan begitu saja, terhantam oleh berita aktor ternama yang terciduk saat berpesta ganja. Entah sebuah keberuntungan atau ironi. Nyatanya, bukan berita positif yang kembali mencuat dari ranah selebritis. Semakin hari, semakin aneh dan absurd. Sementara, aktris yang benar-benar berprestasi, luput dari pemberitaan. Para wartawan lebih senang menunggu berjam-jam di depan mapolresta, bersiap dengan press conference yang akan digelar polisi satu jam mendatang—yang tadi sempat diundur.

Rangkaian episode Star's Fate selesai minggu lalu. Mendapat rating yang lumayan, tidak terlalu buruk jika mengingat bagaimana pemeran protagonis terlibat skandal berbau drama yang membuat jagat hiburan gempar. Membuat akun Lambe dipenuhi hujatan netizen yang haus panggung untuk menghakimi hidup orang lain. Lupa mengaca kalau hidup sendiri perlu dibenahi.

Oke, bukan itu yang terpenting sekarang. Rigel menoleh ke cewek yang belum membuka mulut sejak tiba di Perkemahan Cibubur—salah satu tempat yang cewek itu ingin kunjungi.

Rigel mengambil batu kecil di dekatnya, melemparnya dengan kejam ke tengah danau. Memecah objek yang dijadikan lamunan oleh Kejora.

"Mikir apa?"

"Aku dapat tawaran film."

"Sama si Lean lagi?"

Kejora mengangguk.

"Kayak nggak ada aktor lain aja."

"Siapa? Kamu?" Kejora mendecak lirih. "Jadi figuran sekali aja, kamu ribet dan banyak protes."

"Ya kali. Aku juga sadar diri." Kalimatnya memang terdengar tahu diri, tapi diucapkan dengan sengak. Selain sengak ke orang lain, singa ini bisa ke sengak ke dirinya sendiri. "Syuting mulai kapan?"

"Bulan depan."

"Terus UKK kamu gimana?"

"Ya kayak kemarin-kemarin aja. Aku bisa nyusul kok, ngerjain di ruang guru."

Siklus kehidupan Kejora masih sama. Apa yang terjadi kemarin nyatanya tak mampu menggugah hati sang mama. Sebaliknya, memakluminya sebagai pemberontakan wajar yang dilakukan anaknya. Menganggap jika hanya pelampiasan dari rasa bosan dan jenuh karena melakukan rutinitas yang sama setiap hari. Maka, sekali lagi, Vanya memberi kesempatan pada Kejora.

Atau, Vanya memang sudah benar-benar menutup mata dan hati.

"Mamamu yang paksa terima kontrak film itu?" Rigel gatal jika tidak menanyakannya.

"Bukan. Aku sendiri."

Rigel mengernyit bingung. Kejora paham dengan ekspresi yang diberikan cowok ini. Mata elangnya yang menyipit, tetap saja tajam. Maka, dengan hati-hati, Kejora memberi penjelasan. Yang mungkin akan terdengar seperti pembelaan diri. "Puluhan tahun di dunia seleb, nggak seburuk itu kok, Rig. Terlepas dari uang yang kuhasi—"

Dipotong kejam. "Pamer kalau punya duit banyak?"

"Ih, bentar, tunggu dulu." Kejora menyelipkan rambut yang dibuat mainan angin ke belakang telinga. "Aku udah ngobrolin ini sama Papa. Semuanya. Dan aku dapat pertimbangan lain. Papa bilang, aku cuma harus memandang dari sudut pandang yang berbeda. Tanya ke diri sendiri apakah sudah yakin mau keluar dari dunia yang membesarkan namaku. Aku sadar, sejak awal mamaku yang punya obsesi ini, Rig. Bertahun-tahun, aku ngerasa kayak boneka. Nurutin semua keinginan Mama. Memenuhi ego, prestige dan sebagainya. Kalau ditanya, aku lelah. Kamu tahu benar soal itu."

Rigel tidak memotong. Kedua tangannya menapak ke belakang, mencoba santai mendengar penjelasan Kejora.

"Aku memang mengorbankan masa remaja. Masa-masa di mana aku harusnya punya banyak teman, bergaul secara normal, datang ke sekolah sejak pagi dan bukannya jam terakhir. Aku sampai nggak tahu serunya nyontek gimana."

"Nggak ada seru-serunya sama sekali!"

"Iya, iya." Kejora sudah jantungan barusan. Kembali ke penjelasan. "Nggak selamanya profesiku menyedihkan kok. Ada saat-saat di mana aku bisa nikmati proses syuting, sadar kalau bukan cuma aku aja yang capek syuting sampai pagi. Terus mikir lagi, itu kru-kru di lokasi syuting, rela kerja sampai pagi, buat siapa. Jelas buat keluarga 'kan. Tanpa sadar, aku belajar hal-hal kecil yang meaningful. Hanya saja, Mama mungkin keliru, Rig. Aku nggak diberi waktu untuk diriku sendiri. Nggak pernah dikasih kesempatan untuk membuat keputusan. Nggak diajari gimana menjadi bintang yang bersinar dengan cahayanya sendiri. Tapi di balik itu semua, aku lihat Mama bahagia, Rig."

"Kamu udah bisa nerapin ilmu ikhlas?"

"Ha?"

"Yang barusan kamu omongin. Masalah ikhlas, 'kan?" Rigel menaikkan satu alisnya. "Semua orang ingin berada di posisi kamu. Karena mereka cuma lihat dari satu arah. Dikelilingi banyak fans, muncul di layar televisi setiap hari, ketemu banyak aktris, uang banyak. Mau beli apa-apa bisa. Tapi nyatanya, kamu sempat nggak bahagia dengan semua itu. Merasa muak dan jenuh. Sekarang, setelah dengar pendapat Papa kamu, mikir lagi semua yang udah kamu lalui untuk bisa sampai di titik ini. Apakah ... merasa lebih baik?"

Pelan-pelan senyum tersungging di wajah Kejora. "Aku sedang mengusahakan hal itu, Rig. Sebisa mungkin bikin diriku nyaman. Biar aku nggak tertekan dan berujung ngeluh lagi."

"Jadi?"

Kejora menoleh, menatap lekat wajah Rigel. Mata elang itu berbicara segalanya. Hingga dia sudah yakin akan satu hal. Bahwa, cowok ini pasti mendukungnya. "Aku milih bertahan, Rig."

Senyap sempat hinggap. Hingga yang terdengar hanya kicau burung yang berderak pulang. Sore beranjak petang. Langit berubah sendu.

Rigel berdeham, mengalihkan pandangan. Tangannya saling menepuk, mengusir debu. Kemudian menekuk lutut dan menumpukan kedua lengan di sana. Menatap tenangnya permukaan danau.

"Yakin siap buat jadi bahan gosip lagi?"

"Udah risiko, Rig. Kalau nggak mau kena gosip, jangan jadi artis."

Bibir Rigel berkedut menahan seringai. "Tapi besok-besok, cobaan makin berat."

"Kamu intinya mau bilang apa, Rig?"

"Jangan sampai nge-ganja."

Kejora hanya bisa menganga. Alih-alih mengucapkan hal manis lainnya, cowok itu memilih kalimat itu. Dasar singa! Susah memang kalau disuruh turun kasta ke kucing.

"Kamu tuh, harusnya bilang 'aku yakin kamu bisa' atau 'aku bakal dampingin kamu apa pun yang terjadi' atau 'aku bakal terima kamu apa adanya'. Terus—"

"Kamu yang seharusnya bilang gitu ke aku!"

"Yang mana?!" Kejora refleks memekik.

"Yang ketiga." Rigel mencebik. "Harusnya kamu bilang gitu ke aku. Kalau semakin terkenal, siapa tahu kamu silap mata dan bikin skandal lagi."

"Doamu kok jelek sih," sungut Kejora. "Seorang Rigel minder nih?"

"Minder?" Rigel menoleh keki. "Enak aja! Kamu lihat ya. Aku bakal cari apa pun cara supaya bisa di dekat kamu terus."

"Mau jadi artis?" Kejora menyeringai.

"Lihat aja nanti," jawabnya jemawa.

Kejora gagal menahan senyum, alih-alih kesal. "Dih, sok misterius."

oOo

"Kejora, tolong tanggapi isu yang beredar kalau ada pengusaha tambang yang sedang mendekati kamu."

Setelah keluar dari studio tempat dirinya menjadi guest star dalam rangkaian promo film horor terbarunya, Kejora sudah ditunggu para awak media. Dia mengulas senyum terbaiknya. Bukan pura-pura. Lima tahun ini, dia mencoba bersikap dewasa kepada siapa pun. Meski dia masih suka kesal dengan wartawan showbiz. Yang setiap hari mencercanya dengan gosip-gosip aneh.

Perasaan baru kemarin dirinya digosipkan dekat dengan pengusaha minyak. Tapi mana? Kejora saja tidak tahu lelaki mana yang dimaksud. Jangan-jangan ghaib. Alias mengada-ada. Dan sekarang, pengusaha tambang. Mana orangnya? Sini, kenalkan ke Kejora. Mamanya pasti langsung setuju.

"Eh, aku malah baru tahu dari Mas."

"Katanya kenal di acara pemkot tahun lalu."

Oke, 'katanya'. Tolong bold, italic, dan underline.

Kejora mengusap dahi, tertawa. Dia tidak perlu mengingat apa pun atau kembali ke tahun lalu untuk mengingat siapa lelaki yang dimaksud. "Dengar dari mana sih, Mas? Nih, saya konfirmasi ya—"

"Jadi benar, Mbak?"

"Kapan kalian akan menikah?"

"Mama Mbak Kejora sudah setuju?"

"Sudah ada pertemuan keluarga?"

"Mbak Kejora, pilih paslon nomor berapa?"

Tidak sungkan, Kejora menunjukkan ekspresi cemberutnya, alih-alih mengamuk karena para wartawan memotong kalimatnya. Dia hanya berusaha santai menanggapi mereka. Kalau menggunakan emosi, dia sendiri yang capek dan rugi. Belum lagi nanti ada pemberitaan kalau dirinya sombong dan sengak.

Namun, dia tertawa mendengar pertanyaan terakhir. Pemilu memang sudah di depan mata. Hitungan bulan lagi. Jadi, sebenarnya semua ribut soal paslon yang kali ini ada tiga kandidat. Sama-sama kuat dan dari partai besar. Jadi kenapa para wartawan ini bisa-bisanya membuat gosip dirinya akan menikah dengan pengusaha apa tadi? Kelapa sawit? Minyak? Eh, bukan. Pertambangan.

Dirinya lebih senang ditanyai soal promo film terbarunya. Atau pengalaman mistis yang dia alami selama proses syuting ketimbang ditanya soal jodoh-pernikahan-pengusaha dan sebagainya. Atau mau lebih ekstrem, silakan tanya dia akan memilih paslon yang mana. Tapi, baiklah, gosip sudah sampai di telinganya, dia harus meluruskan.

"Coba nama pengusahanya siapa?" Kejora masih meladeni setelah diam dan membiarkan rentetan pertanyaan terhenti sendiri.

"Candra Soradji."

"Oh, Bang Candra. Dia pengusaha kayu, bukan pertambangan. Besok-besok coba cross-check lagi ya."

Seketika, lingkaran itu berdengung lagi. Tangan-tangan saling sikut demi mendekatkan mikrofon pada Kejora yang punggungnya sudah menempel di dinding. Tak bisa mundur lagi.

Mengabaikan kesalahan data sebelumnya, mereka lanjut mencerca.

"Jadi kapan tanggal pastinya?"

"Apa pendapat Candra dengan profesi kamu sebagai artis yang mengharuskan dekat dengan lawan main laki-laki? Apa dia tidak cemburu?"

"Apakah kamu akan pensiun dari dunia artis setelah menikah?"

"Jadi, Kejora, pilih paslon nomor berapa?"

Kejora mendekap mulut, tertawa. Hanya sebentar. Dia sudah harus ke bandara, jadi lekas mengakhiri sesi 'penghakiman' itu. "Begini ya, teman-teman. Saya mengenal Bang Candra dari kecil, bukan karena kami bertetangga atau bagaimana. Tapi Bang Candra ini keponakan Ayah saya. Jadi, mana mungkin, apa tadi? Menikah dan sebagainya. Jadi, udah jelas ya. Oke, maaf, duluan."

Semuanya terdiam. Merasa malu. Kejora menggunakan kesempatan itu untuk pamit dan berniat keluar dari lingkaran. Mirna sudah menggandeng satu tangannya, membantu menyibak para wartawan.

Namun, satu pertanyaan membuat langkahnya terhenti. "Kejora belum move on dari Rigel?"

Lorong itu senyap. Semua diam, menunggu jawaban dari sang artis. Tangannya meremas tangan Mirna. Entah ekspresi seperti apa yang tercetak di wajahnya. Yang jelas dia merasa jantungnya berdetak lebih cepat dan pias sekujur tubuh. Mau melanjutkan langkah, kakinya memaku di tempat.

Dia terus meremas tangan yang menggenggamnya. Meminta bantuan.

"Maaf, teman-teman. Kejora harus segera ke bandara. Terima kasih."

oOo

Terminal keberangkatan cukup sepi. Last flight. Sebelum masuk ke imigrasi, dia mengeluarkan ponselnya. Masih ada waktu sebelum boarding. Membuka portal berita yang selalu muncul di notification, padahal dirinya tak berlangganan situs itu. Biasanya, dia akan mengabaikan. Tapi, melihat judul yang tertulis di sana, membuat jemarinya membuat keputusan cepat. Membuka link dengan judul:

Kejora Dikabarkan Dekat dengan Pengusaha Pertambangan, Ini Tanggapannya!

Dia memutuskan melewati berita itu. Tak menggulir ke isi berita. Sudah bisa ditebak isinya seperti apa. Satu judul di kotak rekomendasi justru lebih menyita perhatiannya.

Kejora Belum Bisa Melupakan Rigel—Si Orang Ketiga di Masa Lalu?

oOo

Mereka bertemu di greenhouse. Rigel mengirimkan pesan singkat, berharap jika Kejora belum diseret teman-temannya ke kantin.

"Ini apa, Rig?" Sebuah amplop yang berisikan kertas dengan kop sebuah universitas. Kejora masih meraba maksud kertas yang dia pegang.

"Awal naik kelas tiga, aku apply beasiswa ke Southern California University—"

"Dan kamu lolos?" tebak Kejora dengan mudah. Dia membaca cepat gurat wajah Rigel siang itu yang terlihat serba-salah. Dia tidak menyangka jika kabar buruk—atau bahagia—yang akan dia dengar.

"Iya."

Kejora diam dan menangis—satu kesimpulan cepat melintas di kepalanya. Tapi dia katupkan bibir rapat-rapat supaya isak yang membuat tangisnya makin pilu.

"Jora ...."

Dengan suara tercekat. "Terus ... aku gimana, Rig?"

"Ya nggak gimana-gimana." Rigel awalnya tak terpengaruh dengan tangisan Kejora. Dia sudah antisipasi untuk hal ini. Jadi dia menyodorkan sapu tangan, yang enggan diterima Kejora. Berharap jika tangis itu cepat reda. Tapi, sepertinya dia salah.

"Kok kamu enteng ngomongnya? Nggak mikirin perasaanku gimana!"

"Ini karena aku mikir makanya."

"Mikir dari mananya? Kamu tega gini kok. Nggak bilang sejak awal!" Suaranya semakin bergetar. Antara menahan emosi dan tangis yang sialnya menerjangnya tanpa ampun. Dia tidak tahu harus marah dan mengamuk atau menuruti hatinya yang terluka—menangis kencang.

Rigel meraih kedua tangan Kejora, menyelipkan sapu tangan di telapak tangan cewek itu. Mengusap pelan punggung tangannya. "Kejora, dengar. Aku pernah bilang kalau aku akan melakukan apa pun untuk terus sama kamu, 'kan?"

Kejora dengan bodohnya mengangguk. Tangisnya masih luruh di pipi. Rigel sempat termangu menatap bulir yang meleleh itu. Hatinya ikut teremas.

"Untuk bersama kamu, aku ingin memberi diriku versi terbaik. Aku nggak ingin menjadi biasa-biasa aja. Aku ingin kamu bangga sama aku nanti. Sama halnya, aku yang bangga lihat kamu setahun terakhir. Kamu mulai bisa mengikuti ritme dan ngerti mana yang membuat kamu bahagia. Aku pun demikian, Jora, aku ingin melakukan yang terbaik. Aku lelaki, begitu lepas seragam SMA, aku ingin mikir jauh ke depan. Menata masa depan, yang ada kamu di dalamnya."

Sangat berat untuk melepas Rigel bersama mimpinya. Tangis miliknya tak bisa ditenangkan dengan kalimat-kalimat itu. Meski dia mengerti sekali bagaimana Rigel mengejar mimpinya. Bersekolah ilmu komunikasi. Tapi, yang tidak Kejora mengerti, kenapa Rigel harus jauh-jauh ke Amerika? Kenapa bukan di sini?

"Kenapa mesti ke sana?"

Rigel tersenyum. "Ada kesempatan, kenapa nggak aku ambil?"

"Artinya ... kita bakal pisah?"

"Iya."

"LDR?"

"Bukan." Rigel menarik napas. "Aku ingin kita putus."

Mata Kejora membelalak. Menepis kasar tangan Rigel darinya. "Brengsek kamu!"

"Lebih brengsek mana ngikat kamu dalam status LDR atau bilang putus sekalian?" Rigel menantang mata yang meredup tapi penuh emosi itu. Dirinya siap dimaki dan dihujani pukulan. Tapi cewek itu bergeming, tangisnya kembali meradang. Kedua bahunya berguncang pelan.

Rigel menjaga jarak. Diam-diam hancur perlahan mendengar tangisan Kejora. Dia tidak kembali meraih sepasang tangan itu, membujuk, memaksa cewek itu untuk mengerti keputusannya. Dia biarkan Kejora-nya menangis.

Namun, bersama tatap yang hanya menemui kepala tertunduk, Rigel tak pernah main-main dengan janjinya. "Lima tahun setelah ini, aku bakal cari kamu. Percaya sama aku, Jora. Tidak sulit menemukan bintang yang paling bersinar di antara debu galaksi."

oOo

Suasana di salah satu mal besar tampak begitu chaos. Acara meet and great itu terpaksa mundur setengah jam karena pihak penyelenggara harus mengondisikan penonton. Banyak yang berdesakan dan bahkan nyaris pingsan. Mereka sudah datang pagi-pagi sekali, padahal acara dimulai siang hari. Bahkan ada penonton yang datang dari luar kota.

"Yang dari luar negeri juga ada." Mirna menggulir ponsel sebelum menyimpannya ke saku.

"Hah? Serius, Mbak? Ada bule yang ngefans sama aku?"

"Ada." Mirna menggamit satu lengannya, mengisyaratkan untuk bersiap keluar dari mobil. "Ayo. Jalan udah clear. Tadi sempet rusuh."

Kejora bertanya cemas. "Tapi mereka baik-baik aja, 'kan? Nggak ada yang luka?"

"Udah dikondisikan sama staf. Cuma hampir pingsan aja."

Salah satu staf menyambut ketika Mirna membuka pintu mobil. Kejora langsung teralihkan pada fans di dekat pelataran masuk yang sudah dibatasi oleh railing stand. Dia mendekat, sekadar untuk menjabat tangan mereka yang melambai heboh ketika melihatnya lewat.

Mirna dan staf itu terus menempel di dekat Kejora. Berjaga kalau-kalau Kejora ditarik fans. Mengingat bagaimana di event-event yang lalu, Kejora pernah terjerembap dari panggung. Untungnya, kali ini tidak panggung di jalan masuk. Tapi tetap saja Mirna siaga dan waspada. Karena artisnya ini suka kelewat ramah jadi artis. Lihat, sudah lima menit mereka terhenti di satu titik.

"Jora, udah ya. Acaranya udah mau mulai." Mirna mengingatkan.

"Bentar, Mbak. Ada yang mau minta tandatangan, buat adiknya. Kasihan, udah jauh-jauh dari Bogor."

Mirna menghela napas, mengangguk. Membiarkan Kejora menyelesaikan guratan di atas sepotong kaus.

Setelahnya, Kejora menurut. Dia hanya melambaikan tangan, tidak sempat menyalami. Bergegas masuk melalui pintu utama, naik ke atas panggung. Seorang MC sudah menunggu di sana. Kejora naik ke panggung dibantu oleh staf yang tadi menyambutnya di pintu mobil. Ketika melihat sekitar, Mirna sudah tidak ada. Ke mana?

Saat hendak mendekatkan mikrofon ke mulut, siap menyapa fans-fansnya yang tak hentinya bergemuruh, staf itu kembali naik ke panggung. Kejora mendadak tegang, takut jika kabar buruk yang harus dia dengar. Staf itu mendekat ke telinganya, membisikkan sesuatu di antara riuhnya suara fans yang memenuhi mal itu.

"Aku tunggu kamu di samping panggung. Semangat, Sayang."

Kejora sontak menoleh. Tanpa sadar menahan napasnya. Secepat dia menoleh, secepat itu pula staf itu sudah beranjak dari sisinya. Mata Kejora terus mengikuti punggungnya yang kukuh dan setiap langkahnya yang tegas. Turun melewati tangga. Hingga lelaki berseragam staf itu berhenti di samping panggung. Satu tangannya bergerak naik, membuka topi hitam yang menutupi separuh wajahnya sejak tadi.

Lelaki itu sedikit mendongak, melempar senyum dan mengucapkan 'halo' tanpa suara. Kejora sempurna tertegun. Satu bintang yang lain, berdiri di sana.

Rigel-nya sudah pulang. Sudah menemukannya.

oOo

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro