Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[7] Rewrite the Star

What if we rewrite the stars?

Say you were made to be mine

Nothing could keep us apart

You'd be the one I was meant to find

(Rewrite the Star—Zac Efron, Zendaya)

oOo


Rigel baru saja selesai latihan untuk Festival Bahasa—pentas seni yang diadakan oleh Kelas Bahasa setiap setahun sekali—waktu melihat Kejora duduk di pos satpam. Awalnya, Rigel tidak percaya. Tapi ketika dia mendekat untuk mengambil helm yang tadi dipinjam temannya, Rigel yakin itu memang dia.

Cewek itu sedang duduk di dekat Pak Hadiman—satpam sekolah—sambil mengobrol. Di depan keduanya tersaji kotak makanan dan sebotol air mineral yang sudah tandas. Sepertinya Kejora sudah cukup lama berada di situ.

"Saya ambil helmnya ya, Pak." Rigel mengangkat helm tapi matanya tertuju pada Kejora. Ragu, dia menegur cewek itu. "Kejora!"

Kepura-puraan Kejora untuk tidak melihat dan sibuk bermain ponsel langsung gagal. "Eh, elo. A-ap kabar?" Oke, fix, ini pertanyaan awkward. Mereka baru bertemu tadi siang.

"Ngapain lo di sini?" Rigel mengeluarkan jaket dari dalam tas dan mengenakannya.

"Nunggu jemputan, Mas." Pak Hadiman yang membantu menjawab sambil membereskan bekas makanan mereka. "Makasih ya, Mbak Kejora untuk makan siangnya. Enak banget. Yang satu Bapak simpan buat anak di rumah." Pak Hadiman tersenyum senang.

Interaksi itu sederhana, tapi efeknya tidak biasa bagi Rigel.

"Mas Rigel, kasian Mbak Kejora. Anterin dong!" celetuk Pak Hadiman.

"Nggak usah, Pak," sahut Kejora buru-buru. Kejora masih ingin hidup. Sungguh.

"Boleh aja kalau dia mau naik motor," sindir Rigel. Sudut bibirnya Rigel terangkat ke atas sementara tangan kanannya mengulurkan helm yang tadi diambilnya.

Sorot mata Rigel membuat Kejora benar-benar ingin menaboknya. Apa cowok ini pikir dirinya boneka rapuh? Cuma urusan naik motor saja, dia pakai memancing kekesalan!

"Kalau mau, buruan! Nggak usah ngelamun, apa lagi terkesima!"

Terkesima sama dia? In your dreams! Kejora naik ke boncengan. Tantangan diterima!

Kejora menutup kaca helmnya rapat-rapat. Pertama, karena tidak ingin ketahuan orang di jalan. Kedua, karena kaca temaram mampu menyamarkan matanya yang mengamati cowok yang tidak bisa ditebak ini dari belakang. Bahunya yang lebar dan tegap. Tinggi mereka yang berjarak satu jengkal. Juga wangi parfum yang tertinggal di jaket Rigel.

Motor melaju membelah jalanan Jakarta dan mereka cuma saling diam.

"Rigel, harusnya belok kanan!"

"Persari kan, masih lurus!"

"Gue nggak mau ke Persari. Gue mau pulang."

"Terus kenapa lo nggak bilang?"

"Ya, kenapa lo nggak tanya?"

"Kalau gue nggak tanya, harusnya lo bilang. Lo pikir gue penguntit yang tahu lo mau ke mana?" sindir Rigel. "Gue tahunya lo setiap hari di Persari, sampai nginep segala di sana."

Kejora meneguk ludah. Menggigit bibir. Iya deh, kalah. Gue salah.

Rigel lalu mencari tempat untuk putar arah. Sialnya, lajur seberang macet total karena lampu merah. Rigel berusaha melajukan motor dan menerobos celah-celah sempit antar kendaraan roda empat. Kejora terantuk-antuk punggung Rigel tapi cowok itu sepertinya tidak peduli. Dibalik kaca helm yang ditutup rapat, Kejora masih memejamkan mata sambil merunduk. Tangannya berpegangan pada celah jarak jok motor antara dirinya dan Rigel.

Lampu merah berganti hijau. Deretan kendaraan di depan berjalan cepat. Berburu waktu agar tidak terhambat lampu merah berikutnya. Rigel melakukan hal yang sama. Melajukan motornya kencang, mengejar detik-detik hijau sebelum berubah merah.

"AAAAAA!" Kejora mengencangkan pegangannya tapi tubuhnya terhuyung ke depan-belakang. Dia memindah satu tangan supaya bisa berpegangan pada bagian belakang jok.

Tiba-tiba Rigel menginjak rem dan tubuh Kejora langsung terjengkang. Dia menggapai-gapai dan menarik jaket Rigel kuat-kuat. Rigel menepikan motornya di tempat yang lengang. Dia turun sambil menarik helmnya lepas. Dicantolkan helm itu di salah satu spion.

"Lo nggak pernah naik motor ya, sampai nggak tahu caranya pegangan?!" tegur Rigel. Tangannya sudah berkacak pinggang. Tampang galaknya bercampur gusar.

"Pernah." Diam-diam Kejora merutuki kebodohannya menumpang Rigel pulang.

"Terus kenapa nggak mau pegangan? Kalau jatuh gimana? Lo pikir aspal bisa pilih kasih sama artis atau bukan?!"

Kejora tertunduk. Detak jantungnya menderu, takut. Digigitinya bibir bagian dalam. Seumur hidup, bisa dihitung jari kemarahan yang membuatnya ketakutan. Pertama, pertengkaran kedua orang tuanya, dulu sekali dan tidak pernah terjadi lagi. Kedua, makian sutradara di awal karirnya. Setelahnya, Kejora dianggap berbakat dan mudah diarahkan sehingga tidak pernah diomeli. "Gue takut lo marah kalau gue pegangan ke lo."

"Gue nyuruh lo pegangan, bukan pelukan!"

Kepala Kejora tertunduk makin dalam. Tangannya terkepal kuat sampai jarinya memutih. Rigel masih mengomel pedas sampai kupingnya terasa panas. Jarinya meremas-remas ujung baju. Akhirnya Kejora turun dari motor. Punggungnya menghadap jalan raya supaya wajahnya tidak dilihat banyak orang. Saat Kejora melepas helm, Rigel menahan napas. Dua mata sayu itu memerah. Cewek di depan Rigel tidak sedang berakting. Jika di televisi Kejora berusaha keras agar kesedihannya berlinang air mata, Kejora di hadapan Rigel sebaliknya. Dia berusaha keras menyembunyikannya. Diam-diam Rigel menyumpahi dirinya.

"Bisa nggak kalau ngomongnya baik-baik?! Kenapa lo selalu marah-marah sama gue?" Kejora berusaha terlihat tegar, tapi suara seraknya sulit sekali bekerja sama.

"Nggak usah GR! Gue emang ketus sama semua orang. Kenapa? Nggak suka?"

"Makasih tumpangannya." Kejora malas berdebat. Capek. "Gue balik sendiri aja."

Kejora menaruh helmnya di atas jok tapi Rigel menangkap tangan itu erat. Gawat kalau sampai Kejora ditinggal di sini dan tidak bisa pulang. Kejora, terbiasa disopiri. Rigel pasti jadi tersangka kalau Kejora hilang atau diculik. Kejora berusaha menarik lepas tangannya, tapi genggaman Rigel terlalu kuat.

"Susah cari taksi kosong di tempat macet begini. Gue diem deh, biar nggak lo sangka marah-marah terus." Rigel mengambil helm dari atas jok dan memakaikannya pada Kejora dengan satu tangan yang bebas. Karena dipakaikan dengan satu tangan, rambut Kejora jadi berantakan. Kekusutan yang malah membuat Rigel terpana.

"Biar gue pakai sendiri."

Rigel mengakhiri keterpanaannya. Dia mengangguk lalu melepaskan cekalannya.

Keduanya kembali ke atas motor dan melaju di jalan raya. Takut-takut Kejora menarik ujung jaket Rigel sebagai pegangan. Rigel yang menyadari hal itu mengulurkan tangan kirinya ke belakang, menarik tangan Kejora dan menyimpannya dalam saku jaket.

Hari beranjak sore dan para pekerja turut memadatkan jalan. Mendung menggelantung hitam. Tanpa menunggu semua orang tiba di rumah, hujan turun.

Rigel buru-buru menepikan motor di bawah salah satu atap bangunan kosong. Dia meminta Kejora turun supaya bisa membuka jok. Diangsurkannya jas hujan pada Kejora.

"Terus lo gimana?" Kejora menaikkan kaca helm.

Bahu Rigel mengendik. "Gue pakai jaket."

Senyum tipis menghiasi bibir Kejora. "Gue juga pakai jaket."

"Gue nggak mau jalan, kalau lo nggak pakai mantel," ancam Rigel. Melihat gelapnya langit, hujan tidak akan reda dengan cepat. Cewek itu tidak punya pilihan selain menurutinya.

"Ya udah, kita tunggu sampai reda aja."

Jawaban Kejora di luar dugaan Rigel. Dia merapat tepat di depan cewek itu. Tubuh jangkungnya dicondongkan pada cewek itu sementara matanya mengawasi sekeliling. Dia memajukan kepala sampai sejengkal tepat di depan Kejora. Cewek itu menahan napas.

"Tutup helmnya. Ada banyak orang, nanti lo ketahuan," bisik Rigel di telinga Kejora.

Seketika wajah Kejora terasa panas. Untuk menutupi wajahnya yang memerah, dia cepat-cepat menutup helm. Kepalanya tertunduk karena malu. Kejora makin tersipu karena cowok itu tidak juga beranjak dari depannya. "Terus ngapain lo masih berdiri di situ?"

"Lo mau kena tampias hujan?"

Tidak peduli bahwa jawaban Rigel terdengar ketus, Kejora tetap berdoa supaya kaca helm yang dipakainya cukup gelap untuk menyamarkan rona wajahnya. Kejora berharap suara keras yang didengarnya adalah curahan hujan, bukan detak jantungnya. Kejora memohon supaya Rigel tidak tahu bahwa saat ini, dibalik kaca helm pinjamannya, Kejora sedang mengamati Rigel lekat-lekat. Mengamati mata elang itu menyorot waspada ke sekeliling, rahang itu mengatup keras membuat bibirnya tampak seperti garis, dan wajahnya yang arogan lembab karena tetesan hujan.

Suara klakson mobil menyeret kesadaran Kejora. Sebuah MVP mewah berhenti tidak jauh dari mereka. Kaca jendela mobil merosot turun dan sosok dibaliknya muncul meneriakkan sebuah nama. "Kejora!"

oOo



Author :

Halaw...

Kurang baper nggak? Mohon maaf nih, authornya miskin romansa, tapi komentar-komentar kalian banyak banget menginspirasi buat bikin adegan ajaib. Jadi, berkomentar lah sepuas-puasnya karena kadang komentar itu jadi materi adegan XD Terima kasih semua yg telah menginspirasi.

Jadi, kalian suka Kejora-Rigel akur kayak sekarang apa berantem-beranteman?

Rigel dibikin tobat galaknya nggak nih?

Sanggup menahan kebaperan ini sendirian sampai Senin depan? Kayaknya kalian butuh teman berbagi kebaperan. TAG DI SINI temen-temen kalian biar pada join baper dong...

Starstruck Syndrome update setiap Senin-Rabu-Jumat. Semakin kalian aktif vote dan komen, semakin besar peluang kalian dapetin paket buku BWM2 dari Bentang Belia loh!

Sapa saya di IG & WP @ayawidjaja

Love,

Aya


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro