[21] Memories of the Star (2)
Like a river flows surely to the sea
Darling so it goes
Some things are meant to be
Take my hand, take my whole life too
For I can't help falling in love with you
(Can't Help Falling in Love—Elvis Presley, covered by Kina Grannis)
oOo
Kejora duduk di kursi lipat. Di atas meja ada setumpuk buku pelajaran dan tugas. Sebelahnya lagi setumpuk novel masih terbungkus plastik. Dia butuh pengalih perhatian. Kalau bosan belajar, dia membaca novel. Tapi novel roman malah membuatnya baper berkepanjangan. Waktu mencoba genre thriller, dia malah teringat Rigel sebagai psikopat.
Rigel, ya? Apa kabar? Bisa nggak, sering-sering upload foto di Instagram. Jangan snapgram melulu. Biar gue tahu kabar lo, tanpa ketahuan udah view.
Kejora berdecak. Berusaha mengenyahkan pikirannya soal Rigel. Ini konsekuensi hidupnya. Tidak boleh ada penyesalan. Cewek itu mengambil tas ransel untuk mencari kotak pensil tapi malah menemukan jaket Rigel. Jari Kejora keram waktu menyentuhnya. Dia masih ingat benar aroma jaket itu sebelum dicuci. Samar wangi parfum Rigel yang tertinggal.
Tujuh hari kebebasan meninggalkan banyak cerita. Salah satunya adalah tentang jaket ini. Hari itu, mereka selesai mencari properti untuk Festival Bahasa. Rigel akan mengantar Kejora pulang, tapi langit gelap gulita. Gerimis mulai turun tipis-tipis. Rigel berinisiatif untuk turun di stasiun commuter line terdekat.
"Pakai!" Rigel melepas dan menyerahkan jaket jumper-nya pada Kejora. Kata-kata itu bernada perintah, bukan tawaran. "Pakai hodie biar wajah lo nggak kelihatan. Kecuali lo mau diserang netizen di KRL. Sama rakyat jelata aja mereka ganas. Apalagi sama lo!"
Kejora melirik kiri-kanan. Stasiun benar-benar ramai. Jam pulang kantor adalah kutukan. Hujan berubah jadi gerimis lebat, awan hitam pasti jatuh cepat atau lambat.
Dengan bibir berkerut, Kejora menimbang jaket Rigel. Tinggi Kejora cuma sekitar 156 cm, sedangkan Rigel bisa 20 cm lebih tinggi darinya. "Tapi kegedean, Rigel." Kejora menggigit bibir dibalik kaca helm yang menyamarkan sosoknya.
"Nggak mau ya, udah! Terserah!" Rigel meninggalkan cewek itu sendirian.
Yah, yah! Ngambek deh! Melihat tingkah Rigel, Kejora bergegas memakai jaket. Hasilnya, tenggelam! Jumper itu nyaris mencapai lutut, tangannya kepanjangan dan hodie jaket membuat wajah Kejora menghilang di baliknya. Penyamaran yang tidak fashionable!
"Tunggu, sih! Gitu doang ngambek!" Kejora mencantolkan helmnya di spion motor Rigel. Dia berjalan cepat mengejar Rigel.
Rigel tiba-tiba berbalik dan Kejora nyaris menubruknya.
"Nih!" Cowok itu mengangsurkan masker. Ternyata Rigel tidak marah, dia cuma membeli masker dari pedagang kaki lima terdekat.
Kejora menyeringai. Merasa bersalah. Kesan pertama pada cowok galak dan sinis ini sulit dilepaskan. Meski dia bicara biasa saja, Kejora selalu berprasangka Rigel membentak. Padahal, Rigel tidak pernah berteriak saat bicara. Hanya saja intonasinya teramat ketus.
"Buruan! Kebiasaan lambat, deh!" Rigel menyeret lengan jaket Kejora yang kepanjangan. Ya, lengan jaketnya, bukan tangannya.
Setelah membeli tiket one day trip, Rigel mengajari Kejora cara naik KRL. Tentu saja cewek itu tidak pernah naik transportasi umum sebelumnya. Dengan kikuk, dia mengikuti langkah-langkah panjang Rigel. Menunduk dalam-dalam meski kepalanya sudah tenggelam dalam hodie dan wajahnya tertutup masker seribuan.
Kereta melaju dan makin lama makin penuh sesak. Bisa berdiri di atas dua kaki saja sudah keajaiban. Rigel dan Kejora berdiri berhimpit, terdesak hingga ke persambungan antar gerbong. Rigel mengurung Kejora dengan kedua tangan. Menempatkan cewek itu supaya punggungnya menyandar ke dinding kereta, dekat kursi prioritas.
Kereta makin padat dan Kejora makin panik. Rigel tidak melepaskan tangannya dari Kejora meski mereka berdua terjepit. Kejora oleng. Dia berpegangan pada pinggang Rigel karena terus didesak penumpang lain. Lalu kereta berhenti mendadak hingga Rigel menubruk Kejora.
"Sori."
Kejora cuma mengangguk-angguk sambil tertunduk.
Lewat speaker diumumkan bahwa kereta terhenti karena hujan mengganggu sinyal kereta. Menit pertama dihabiskan dalam ketenangan. Jelang sepuluh menit masih tidak ada kejelasan. Lima belas menit tanpa pengumuman lebih lanjut dan orang-orang mulai geram. Setengah jam berlalu dan mereka masih tertahan. Mereka menggerutu kesal tapi tidak bisa turun karena kereta berada di tengah jalur, bukan di stasiun.
Lalu dengan kreatifnya, petugas KRL memutar lagu Can't Help Falling in Love versi Kinna Grannis untuk menenangkan penumpang yang geram. Kejora mengernyitkan dahi mendengar keanehan ini. Begitu juga dengan Rigel. Awkward moment terjadi. Tatapan mereka bertemu. Detik berlalu bersama alunan lagu.
Cekalan tangan Kejora di pinggang Rigel mengendur. Kejora lupa ketakutannya. Rigel tenggelam dalam jernihnya mata sendu Kejora. Mereka lupa berada di kereta, bukan samudra antartika. Mereka lupa sedang berdesakan dengan penumpang kereta, bukan berdansa.
Begitu lagu berakhir, Rigel menggigit bibir rapat-rapat. Menahan senyum sambil mengalihkan tatapan dari Kejora.
"Kenapa?" Kejora mendongak.
Cowok itu cuma menggeleng, tidak sanggup beradu pandang lagi.
"Kalau senyum nggak usah ditahan kenapa?"
Dan celetukan itu sukses membuat senyum Rigel tercetak lebar. Kejora baru sekali melihat senyum Rigel sesantai itu. Tapi cowok itu tetap menengadah dan tidak mau menatapnya sampai kereta berjalan lalu berhenti di tujuan.
Kejora masih ingat, hari itu setelah Rigel mengantarnya sampai rumah, dia tidak langsung berganti baju. Setengah jam berlalu dan Kejora masih bergelung di atas tempat tidur dengan jaket Rigel yang setengah basah. Konyolnya, jaket itu tetap terasa hangat.
Sebuah pesan masuk ke ponsel Kejora.
Rigel : Dah tidur?
Kening Kejora berkerut. Tumben Rigel bertanya begitu. Dia menggigit bibir menahan senyum—spontan mengikuti cara Rigel tadi.
Kejora : Belum. Kenapa?
Rigel : Bisa keluar sebentar?
Kerutan di kening Kejora makin rapat dan senyumnya makin tidak bisa ditahan. Dadanya terasa aneh membayangkan Rigel mungkin sekarang berada di luar rumahnya. Melambaikan tangan untuk mengucapkan selamat malam seperti dalam film.
Kejora beringsut bangun, membuka pintu balkon kamarnya di lantai dua dan menebarkan tatapannya ke segala penjuru. Tidak ada Rigel di sepanjang mata memandang. Baru saja Kejora akan bertanya, sebuah pesan kembali masuk.
Rigel : Hujan nggak? Gue masih di kereta tapi di luar udah gelap. Nggak kelihatan masih hujan apa nggak.
Rahang Kejora langsung kaku. Waktu itu dia kesal sekali. Nyaris marah malah. Tapi hari ini, dia tertawa. Menertawai kebodohannya waktu itu. Apa yang dia harapkan dari manusia setengah singa macam Rigel? Hopeless romantic. Tawanya lalu bercampur rasa haru. Selapis hening membayang di matanya. Ini air mata lucu atau rindu?
"Ngapain lo ketawa-ketawa sendiri?"
Kejora mendongak dan seketika senyumnya membeku. Rahangnya berubah kaku.
"Sehat lo?" Ekspresi Rigel tidak terbaca. Tidak khawatir, tidak juga menyindir.
"Rig-Rigel?" Kejora terkejut. "Apa kabar eh, maksud gue, kok lo ada di sini?"
Wajah Rigel langsung berubah angker. Keterkejutan Kejora tidak memperlihatkan rasa senang. Rigel menurunkan kotak make up raksasa yang dibawanya ke atas meja di depan Kejora. "Nih, cuma mau balikin ini. Terimakasih udah bantuin Festival Bahasa. Gue cuma mau bilang itu secara langsung karena chat dan telpon gue nggak lo balas."
Kejora hanya mematung. Matanya menatapi kuku yang berkilau bekas menicure.
"Sori kalau ganggu. Gue balik dulu." Rigel balik badan dan melangkah pergi.
Kejora meremas ujung roknya. Jemarinya mencengkeram hingga putih. Kepalanya tertunduk, menahan diri untuk tidak mencegah Rigel pergi.
Rigel berhenti melangkah. Ujung kakinya mengetuk-ngetuk lantai dengan ragu. Tangannya menggosok rambutnya yang asimetris. Dia membalik badan. "Boleh gue tanya sesuatu?"
Kejora hanya mengangguk tanpa menatap Rigel.
"Apa lo baik-baik saja setelah kemarin?"
Tubuh Kejora menegang. Kaca-kaca di matanya terbentuk lagi. Kejora mengenyahkan sisi melankolisnya. Dia menoleh pada jam dinding. "Gue syuting dulu," kata Kejora sambil beranjak dari kursi menuju pintu belakang tanpa melewati Rigel.
"Gue bakal nunggu lo!" Suara Rigel menahan langkah Kejora. "Suka nggak suka, gue bakal nungguin lo di sini."
Kejora bergeming. Rahangnya mengatup supaya tangisnya tidak pecah. Degup jantungnya hangat tapi dadanya terasa sesak. Dia sudah memutuskan untuk tidak melibatkan Rigel dalam kekacauan, kan?
"Lo denger? Sampai jam berapa pun, gue akan nunggu lo!"
Kepalanya menoleh ke belakang tanpa berani menatap Rigel. "Kenapa?"
oOo
_______________
Fun Fact about "Starstruck Syndrome"
Kali ini aku mau bahas sumbangan adegan baper dalam dua part Memories of the Star. Dalam rangka membantu aku yang fakir romantis, readers-ku yang baik hati mengirimkan asupan adegan romantis mereka bersama pasangan, temen tapi demenan, HTSan, selingkuhan, mantan dan sejenisnya. Coba cek mana yang menjadi salah satu adegan dalam "Starstruck Syndrome"
Thanks buat semua yang udah berbagi di Intstagram @ayawidjaja .Ada yang mau nyumbang potekan kisah romantis lagi? hahaha
_______________
Author
Gimana part ini seyeng-seyeng?
Ada yang pernah dibikin baper nanggung kayak Kejora? Atau takut ketahuan view snapgram gebetan?
Special thanks to temen absurd-ku yang ketemu di klinik bukannya nanya kabar malah ngajakin pelukan terus dansa sambil muter Spotify (Asli elo si absurd itu, girl! Terus gue mau aja ngedance dilihatin orang ama elo, but eniwei itu menginspirasi)
Dukung terus Starstruck Syndrome ajakin temen baca, vote dan komen banyak-banyak supaya nggak tereliminasi ya, seyeng-seyeng.
Giveaway cek part 13 dan 19
Join member cek part 13 atau 20 dan kalian bakal disambut sama mereka di grup chat juga di Instagram
Love,
Aya
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro