[20] Memories of the Star (1)
Where are you now
Atlantis
Under the sea
Under the sea
Where are you now
Another dream
(Faded—Alan Walker)
oOo
Kejora terus menatap ke luar jendela mobil. Gerimis tipis jatuh ke kaca. Awan abu-abu bergelantung di langit Jakarta. Selaras dengan hati Kejora yang dihinggapi rasa bersalah. Drama di lorong kelas bersama Lean tadi, membuatnya merasa berdosa. Tangan Kejora memotret muramnya jalanan Jakarta.
"Motret apa?"
"Nggak ada." Kejora buru-buru mengantongi ponsel setelah mengunggah instastory foto dengan caption 'Lihat, dramaku dimulai lagi.'
"Lo kangen dia?" Lean menatap Kejora dari balik kacamata hitamnya.
"Siapa?"
"Orang yang jalan sama lo kemarin." Lean mengendikkan bahu.
"Cuma temen. Nggak harus dibesar-besarkan kalau nggak masuk gosip sosmed."
"Telpon gih, atau chat." Lean mengabaikan penjelasan Kejora. Cewek di sebelahnya muram belakangan ini, meski klarifikasi Lean sudah membuat media bungkam.
Tangan Kejora memegangi ponsel dalam kantongnya erat. Harus bilang apa? Beberapa kali Rigel menghubunginya dan Kejora sengaja mengabaikannya.
"Nggak dosa Jora, cewek ngehubungi duluan. Apa mesti gue yang ngomong ke dia?"
Kejora menggeleng, tapi genggamannya pada ponsel makin kuat. Dia tidak mau Rigel terlibat kerumitan hidupnya. Cukup dia yang merasakan. Sudah saatnya merentangkan jarak.
Gerimis bertambah rapat. Rahang Kejora mengetat. Matanya yang panas memejam erat. Mereka boleh melihatnya tertawa, bukan terluka.
oOo
Perasaan aneh ini apa namanya? Kenapa dia tidak mau lenyap meski Kejora dan Lean sudah tidak terlihat. Rigel berjalan lambat menyusuri lorong kelas, halaman sekolah dan berbelok ke greenhouse. Kakinya spontan terhenti. Tidak hanya menjadi saksi awal perkenalan mereka, tempat ini juga menjadi favorit Rigel dan Kejora di jam istirahat.
"Orchidaceae, rosaceae, oleaceae, apocynaceae ..." Kejora yang merunduk dekat rumpun bunga.
"Ngapain sih, lo?" Rigel memperhatikan cewek itu bergumam tak jelas.
"Nginget-nginget nama latin tanaman."
Rigel menggusah napas. Lambat-lambat bibirnya bersuara. Lembut tapi tegas sekaligus. "Seumpama bunga, kami adalah bunga yang tak kau hendaki tumbuh. Engkau lebih suka membangun rumah dan merampas tanah. Seumpama bunga, kami adalah bunga yang tak kau kehendaki adanya. Engkau lebih suka membangun jalan raya dan pagar besi."
Senyum lebar tercetak di bibir Kejora. Matanya berbinar. "Lo yang bikin puisi itu?" Pipinya bersemu memerah. "Makasih, Rigel."
"Ngapain makasih ke gue? Puisinya Wiji Thukul. Judulnya Tembok dan Bunga. Kalau anak IPA lihat bunga inget nama Latin, anak Bahasa lihat bunga jadi sumber inspirasi. Kenapa lo tersipu-sipu gitu?"
Rigel ingat benar waktu itu wajah Kejora langsung memerah menahan gondok. Mengingat kejadian itu, Rigel jadi tersenyum-senyum sendiri sambil menyusuri halaman sekolah. Tidak peduli beberapa pasang mata menatapnya heran. Mungkin karena rambut ajaib berkat kreativitas Pak Nurdin atau dugaan bahwa dia sudah gila.
Selain tukang bikin gondok, Rigel juga kompetitif. Salah satu di antara tujuh hari itu, Kejora minta ditemani ke Planetarium selesai mengirim materi Intensitas ke percetakan.
"Ngapain sih, ke sini? Kayak anak kecil!" kata Rigel bersungut-sungut di parkiran.
"Waktu kecil gue belum pernah ke Planetarium. Pas kelas tiga SD, kelas gue mau ke sini. Gue seneng banget bisa naik bus rame-rame bareng teman-teman sekelas. Sampai di lokasi, gue dijemput Mama. Ada syuting dadakan."
Seketika Rigel terdiam. Dia membiarkan Kejora menarik tangannya menyusuri area Taman Ismail Marzuki dan menuju ke Planetarium sesuai keinginan cewek itu.
"Girang banget sih, lo. Nggak malu isinya anak kecil semua?" celetuk Rigel waktu Kejora menggeretnya dengan semangat menuju pintu pertunjukan yang sudah dibuka. Mereka mengantre masuk bersama puluhan anak kecil tapi semangat Kejora tidak surut.
Pertunjukan di mulai. Lampu dipadamkan dan planet-planet bersinar di hadapan mereka. Biar pun cahaya temaram, Rigel bisa melihat mata sayu Kejora bersinar antusias. Tidak peduli bahwa isi pertunjukannya cuma pengenalan tata surya yang cocok untuk anak SD, cewek itu tetap tersenyum riang.
"Balik, yuk!" Rigel mulai bosan.
"Belum selesai!" Kejora menggeleng-geleng tidak terima. "Kenapa, sih?"
"Mereka cuma jelasin tata surya. Nggak ada Orion, apalagi bintang gue."
Kening Kejora berkerut. Dia menjentikkan jari dengan riang. "Karena gue pulang numpang motor lo, sekarang gue ijinin lo numpang di bintang gue."
Rigel mengernyit. Matanya mengikuti telunjuk Kejora yang menunjuk Venus.
"Kejora kan, bukan bintang. Dia sebenarnya planet Venus. Sekarang lo boleh, ngelihatin planet Venus lama-lama. Anggap aja bintang sendiri."
Rigel meraba kening Kejora. "Lo sehat? Lo pikir bintang semacam kontrakan, bisa numpang segala?" Daripada jauh-jauh menatap ke depan mereka, Rigel lebih baik melihat bintang di sebelahnya.
"WOI!"
Lamunan Rigel musnah seketika. Dia nyaris menubruk beberapa cowok yang melintas.
"Ngelamun lo, bro?"
"Nggak, cuma lagi ngitung paving block aja," celetuk Rigel asal. "Habis latihan band?"
"Yoi!" Salah satu cowok yang nyaris ditabrak Rigel tadi mengangkat gitarnya tinggi.
Gitar, ya? Kenapa semua hal jadi mengingatkan Rigel pada cewek itu. Dia teringat saat ban motornya bocor. Dia dan Kejora duduk bersisian sambil menunggu ban ditambal. Sebuah gitar tergeletak di dekat kursi. Rigel mengambilnya.
"Bisa main gitar?" tanya Kejora.
Rigel menggeleng, tangannya memetik sebisanya. Meski begitu, Kejora menatapi petikan jari Rigel dengan serius, tanpa berkedip. Sementara Kejora memandangi jemari Rigel, cowok itu malah memperhatikan bulu mata Kejora, hidung, dan matanya yang ...
"Yang lo mainin judulnya apa?" suara Kejora membuyarkan konsentrasi Rigel. "Yang personilnya anggota Dewa 19 juga, kan?"Kejora mendongak dan tatapan mereka bertemu.
Rigel terperangkap mata Kejora. Sengatan listrik menjalari ujung jarinya. "Sempurna."
"Oh iya, itu judulnya."
Bukan, judul lagunya, tapi 'lo'-nya. Sempurna. Rigel membatin.
"Buset ngelamun lagi!" Cowok yang memegang stik drum menimpuk kepala Rigel ringan. Mereka sekelas. "Kita duluan, deh! Semangat ya, ngitung paving block-nya."
Rigel tidak benar-benar menghitung paving block, dia tengah menghitung tujuh hari bersama Kejora. Apa lagu itu cukup menjadikan tujuh harinya sempurna dan diingat oleh Kejora? Lalu kenapa cewek itu menghilang dan berhenti membalas pesannya?
oOo
Lima orang redaktur Intensitas selesai menata berkardus-kardus majalah ketika Rigel kembali ke ruangan. Cowok itu cuma diam tanpa mengatakan apa pun. Beauty case milik Kejora sudah disisihkan dekat pintu—terlalu yakin benda itu bisa disingkirkan hari ini juga.
"Ketemu, Rig?" tanya Vero sambil menyeruput minuman.
"Udah balik."
"Dijemput Lean lagi?" tambah Vero lagi. "Kemarin juga gitu. Kejora ikut ulangan susulan sama kelas gue kan, ditungguin tahu nggak sama Lean!"
"Beneran?" Zinka menyahut. Dua cewek dipertemukan dalam obrolan bernama gosip.
"Sumpah." Vero mengangkat telunjuk dan jari tengah. "Mereka datang cuma pas ulangan doang, habis itu cabut. Tapi tetep aja kan, so sweet."
"Rig, sabar ya, Rig." Tama mengelus bahu Rigel tapi langsung ditampik. "Gue tahu kok rasanya nyepik gebetan tapi diabaikan." Vero yang dilirik Tama langsung melotot galak.
"Minggu lalu Kejora kan, habis kena gosip." Kali ini Lita menyahut. "Udah pada tahu belum? Yang fotonya jalan berdua sama cowok di mall beredar?"
"Emang kalau jalan bareng pasti pacaran?" Dio menyahut. "Kayak gue sama lo gitu. Deket, tapi nggak jadian-jadian." Dio langsung panen sorakan dan timpukan.
"Kan, udah dikonfirmasi sama Lean. Mereka temenan doang." Nah, kalau ini Tama yang terdepan update gosip. "Lean percaya sama Kejora, gitu katanya."
Redaktur Intensitas menatapi Tama tidak percaya.
"Ver, yakin lo mau ditaksir follower akun gosip kayak dia?" Dio cari sekutu friendzone.
"Jangan deket-deket gue, Tam!" Vero langsung histeris.
"Jangan gitu dong, Ver. Nyokap gue, calon mertua masa depan lo, yang follow. Dia kalau stalking pakai Instagram gue karena HP-nya lagi rusak." Tama memelas.
Vero yang kesal berusaha mencari cara untuk mengakhiri awkward moment yang ditujukan padanya. Jadi dia menyasar Rigel yang membisu. "Rig, hati lo baik-baik aja, kan?"
"Emang Rigel kenapa?" Zinka yang lama tidak bergabung jadi kurang update situasi.
"Dia kan, mau jadi orang ketiga di antara Kejora-Lean!" Tama tergelak kurang ajar.
Rigel melotot tajam. "Tam, pesenin ojol buat balikin ini!" Rigel mengetuk-ngetuk beauty case Kejora. "Tama! Buruan sini ponsel lo!" Rigel merebut ponsel Tama. Kotak make up ini harus dienyahkan. Kalau tidak, teman-temannya akan terus membahas Kejora dan selamanya Rigel akan teringat padanya.
oOo
_______________
Fun Fact about "Starstruck Syndrome"
Bagi penulis pemula seperti aku, paling mudah bikin tokoh kalau ada role model yang ditiru. Sosok Pak Nurdin terinspirasi dari guru Bahasa Indonesia-ku. Drama abis. Dia giving so much attention sama murid yang suka pelajarannya. Kadang mengajari kita belajar lewat romantisme-nya yang garing. Contohnya, suatu hari aku ikut bermain drama untuk lomba class meeting dan dapet peran antagonis. Pak Nurdin jadi salah seorang juri. Selesai pentas, dia susah payah keluar dari kursi juri, melongok ke dalam kelasku cuma buat bilang, "Aya, kamu ternyata jahat! Saya nggak mau dekat-dekat kamu lagi." Udah gitu doang, lalu dia pergi. (Jangan dibayangin terus gue ngejar, di bawah guyuran ujan gitu? Hell, no!)
_______________
Author
Gimana part ini? Masukan, kritik, saran, pesan-kesan, salam-salam buat gebetan-mantan-temanrasapacaran, dipersilahkan...
Readers-ku tersayang, banyak banget yang tanya soal fact or fiction dalam cerita ini. Starstruck Syndrome 'terinspirasi dari kisah nyata' bukan 'diangkat dari kisah nyata' ya, sayang-sayangku. Tentu ada fiksi di dalamnya. Cerita ini terinspirasi dari kisah seorang selebriti yang mengorbankan banyak masa bermainnya demi berkarir. Premisnya begitu.
Readers-ku tersayang, saranku, lebih baik kalian menikmati jalinan ceritanya, berbagi dengan teman, vote dan komen supaya Singa dan Kejora tidak tereliminasi ( sad akutuu... ):
Tidak perlu dipikirkan terlalu dalam sampai kalian pusing. Cukup aku saja yang berkorban jiwa raga (mula DE-RA-MA) untuk kejar setoran 3x seminggu, Senin-Rabu-Jumat.
Jangan lupa, aku punya GIVEAWAY di part 13 sama part 19 (susah punya readers tajir melintir, nggak doyan GA wkwkwkwk)
Karena masih banyak yang tanya soal Grup Chat, aku posting ulang ya posternya. Semua boleh gabung. Mau cewek, cowok, kakel, dekel, gebetan, mantan, HTSan, TTMan, temen makan temen, atau RP tetangga mau join juga silahkan selama kalian adalah readers Starstruck Syndrome. Apalagi kalau ada cowok tulen mau join, wuihh dijamin digelarin karpet merah...
Love,
@ayawidjaja
@bintangbintangtakbermakna
@rigeldiorion yang lagi ngambek DMan
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro