[2] Caught the Star
Yes Since we found out
Since we found out
That anything could happen
Anything could happen
(Ellie Goulding - Anything Could Happen)
oOo
Sudah tiga jam Rigel menunggu di lokasi syuting. Dia sudah menghubungi Mirna, manajer Kejora, via telpon dan mereka janji bertemu di Studio Persari. Menempati beberapa hektar lahan, Studio Persari memiliki berbagai macam bangunan untuk lokasi syuting.
Tanpa petunjuk Caleya, kakaknya yang juga wartawan, Rigel dijamin kebingungan. Tempat syuting Kejora terletak di seting perkampungan. Dinding-dinding berplester retak, lantai berubin hitam kuno yang berdebu, dan juga jalanan kampung yang rusak. Lengkap dengan ayam berkeliaran kesana-kemari. Sempurna.
Memiliki wajah melankolis dan mata bersorot sendu, membuat Kejora sering menerima peran sejenis 'gadis miskin yang teraniaya'. Star's Fate salah satunya. Kejora berperan sebagai gadis miskin lugu yang bekerja sebagai make up artist dan ketiban cinta seorang aktor terkenal yang diperankan Lean. Kejora lalu di-bully habis-habisan dan selalu ketiban sial. Itu hasil riset yang didapat Rigel. Menonton satu episode saja sudah membuatnya hafal kapan Kejora akan menangis dan kapan dia akan ketiban kesialan lain.
Pantat Rigel yang duduk di sofa lusuh di depan teras sebuah rumah mulai terasa panas. Dia menegakkan badan sambil menengok ke samping rumah yang tadi dijadikan seting salah satu scene. Tidak ada Kejora di sana, hanya para kru yang tengah menyiapkan seting scene berikutnya. Mirna bilang akan menghubungi kalau syuting sedang break. Tapi Mirna tidak juga menghubungi. Dengan tidak sabar, Rigel merogoh kantong celana, mencari ponsel.
Pemuda itu berdecak kesal melihat ponselnya mati kehabisan baterai. Padahal, ponsel juga berguna untuk merekam pembicaraan saat wawancara sebelum ditranskrip. Dia harus mencari stop kontak. Dia mengetuk pintu untuk meminta ijin masuk. Tidak ada jawaban namun sayup-sayup terdengar suara orang di dalam rumah.
"Mbak Mirna, gue bisa menghafal dialog itu di luar kepala dengan sekali baca!" suara serak itu terdengar menggeram menahan kekesalan. "Tapi yang ini..."
Sekarang Rigel tahu siapa pemilik suara serak itu. Kejora. Cewek itu duduk di kursi lipat membelakanginya. Seorang wanita tiga puluh tahunan-yang diduga Rigel sebagai Mirna, duduk di sebelahnya. Memegangi gulungan skenario, membujuk Kejora untuk membaca tapi ditolak.
"Gue udah hafal semuanya, Mbak!" desah Kejora putus asa. "Gue udah biasa disodorin skenario baru, setiap hari, selama hampir 350 episode. Saking terbiasanya, gue bisa nebak dialog tanpa susah-susah baca. Tapi kalau soal ..." Kejora kembali menggeram sambil mengacak-acak rambutnya. "Gue butuh konsentrasi, please," rengeknya memohon.
Wow, ternyata sombongnya selangit! Rigel berdecak sebal. Dia memang satu sekolah dengan Kejora, tapi mereka tidak pernah sekelas apalagi berinteraksi secara langsung.
"Apa kubilang Jora, kamu itu mendingan ikut home-" Kata-kata Mirna terpotong karena Rigel menyela dengan tidak sabar.
"Jadi selama berjam-jam gue cuma nungguin artis sok sibuk, yang syutingnya nggak kelar-kelar, gara-gara nggak mau baca skenario tapi sesumbar hafal di luar kepala?" Rigel bersilang dada menahan emosi. Melangkah perlahan ke arah Kejora dengan murka. Sejak awal seharusnya dia memang tidak perlu meliput profil artis tidak berfaedah macam ini. Buang-buang waktu dan bikin jengkel.
Kejora yang terkejut langsung balik badan. Bibirnya terkatup melihat cowok asing yang mendekat dengan tampang galak. Mirna mendongak, sama kaget dan bingungnya. Dia juga tidak menyadari ada orang asing masuk ke ruangan.
"Atau, karena gue cuma reporter majalah sekolah? Intensitas memang bukan majalah nasional yang bisa dongkrang popularitas lo. Tapi kami profesional, sedangkan lo, nggak!" Rigel menatap mata Kejora tajam. Dia sama sekali tidak menyadari betapa mengerikan sorot matanya saat marah. Ditariknya skenario dari tangan Mirna lalu disodorkan paksa pada Kejora.
Kejora tersihir. Patuh begitu saja menerima skenario dari Rigel. Lupa bahwa dia sedang menggenggam sebuah buku juga. Buku itu terlepas ke pangkuan Kejora, lalu terjun bebas ke lantai. Suara berdebum buku membuat Kejora tersadar. Buru-buru dia memungutnya, tapi Mirna dan Rigel terlanjur melihat.
Dalam sekali kerjapan, mata Rigel yang tadi galak berubah kaget. Matanya mengerjap sekali lagi untuk memastikan penglihatannya tidak salah. Kejora memungut buku Fisika yang jatuh. Di lokasi syuting, dalam situasi hectic, Kejora menyempatkan diri belajar Fisika.
"Maaf. Gue nggak tahu kalau ada yang nunggu."
Suara serak Kejora membangunkan Rigel dari keterpanaan. Buku Fisika itu diletakkan di meja depan Kejora. Tepat di sebelah laptop yang layarnya menampilkan sederet tugas Fisika.
Entah bagaimana, tiba-tiba saja Rigel disergap rasa bersalah. Suasana berubah kaku. Sama-sama tidak tahu apa yang harus dikatakan.
Mirna yang cepat menangkap situasi mengurai kesalahpahaman. "Aku pikir kamu sudah pulang. Tadi aku menelpon tapi nggak nyambung."
Rigel menegakkan punggung. Sial. Belum apa-apa egonya nyaris jatuh. Buru-buru dia mengingatkan diri sendiri. Kejora itu artis. Jago akting. Jago bikin gimmick. Jangan gampang tersentuh. "Hapenya keburu mati kelamaan nunggu!"
oOo
"Apa lo juga ngejar semua wartawan yang gagal wawancara sama lo?" Sadar diikuti, Rigel menoleh ke belakang.
"Nggak!" Kejora menggeleng yakin.
"Terus kenapa?"
"Karena lo dari majalah sekolah, lo pasti nggak wawancara soal gosip."
Rigel menghentikan langkah tapi Kejora masih mengejar ketertinggalan. Mempersempit jarak. Kejora baru berhenti ketika jarak dirinya dan Rigel tinggal sejengkal. Keduanya berhadapan saling pandang. Kejora dengan mata sayu dan Rigel dengan mata elang mengincar mangsa.
"Bukannya lo suka digosipin? Biar tenar." Rigel berdecih. Tampang naturalnya yang memang tengil jadi makin menyebalkan.
"Tanpa gosip pun, gue udah tenar." Kejora berusaha tidak gentar.
Ya ampun, artis ini emang belagu! Batin Rigel makin panas.
"Gue mendengar kata gosip ..." suara bariton tiba-tiba menyahut.
Kejora dan Rigel sama-sama menoleh ke sumber suara. Kepala Lean muncul dari balik salah satu jendela. Dengan santainya, dia melompat lewat jendela, padahal pintu terletak di sebelahnya. Lean langsung menghampiri Kejora dan merangkulnya. Diselipkannya satu kedipan genit pada Kejora. Cewek itu langsung mendelik.
"Siapa nih?" Lean meringis sambil meneliti Rigel dari ujung ke ujung.
Rigel buru-buru menetralkan ekspresi galaknya. Sepatu hitamnya mengetuk-ngetuk ringan. Kemeja putihnya tersembunyi di balik jaket, tapi celana seragam abu-abunya terlihat dengan jelas.
"Berduaan aja, nggak dikenalin sama gue?" Alis Rigel langsung naik.
"Reporter majalah se-"
"Ohh ..." Lean langsung memotong kata-kata Kejora dan mengetatkan rangkulan pada cewek itu.
"Apaan sih, Bang?" Kejora memberengut, berusaha melepaskan diri.
"Eitss!" Lean menempelkan telunjuk di bibir Kejora. "Kita kan udah jadian, masa masih manggil-"
"Isssh!" Kejora buru-buru mendorong Lean menjauh dari Rigel. "Tolong, tunggu sebentar." Setelah cukup jauh dia berbisik. "Dia reporter majalah sekolah gue, Bang. Nggak bakal doyan ngangkat gosip. Udah ah, nggak usah ganggu. Kasian dia udah nungguin gue berjam-jam."
"Kan udah biasa ditungguin wartawan. So?" Lean menaikkan alis tak acuh.
"Tapi wartawan yang biasa cuma doyan gosip, ini enggak." Telunjuk Kejora teracung pada Lean. Mata sayunya beradu pandang dengan Lean tanpa gentar. "Gue nggak suka digosipin."
Setelah itu Kejora bisa lepas dari Lean dengan mudah. Dia mengejar Rigel yang berjalan menjauh menyusuri deretan seting perumahan mewah.
"Tunggu!" Kejora menarik jemari tangan Rigel. Membawa cowok itu ke teras bangunan terdekat. "Sori gue tarik-tarik. Ini sekalian jabat tangan perkenalan. Lo kan lagi ngambek, kalau gue sodorin tangan biasa aja pasti dicuekin." Kejora meringis.
Sialan, batin Rigel. Tampangnya doang yang melankolis ternyata. Aslinya nggak bisa dikasihani. Image cewek lugu teraniaya seperti di televisi langsung runtuh.
"Gue Kejora Astarea." Kejora mengguncang-guncangkan tangan Rigel yang belum dilepaskannya sejak tadi.
Rigel malas menjawab. Ada gitu orang mengajak jabat tangan tapi maksa begini.
Tidak kunjung mendapat tanggapan, Kejora melongok tanda pengenal reporter majalah sekolah yang dikalungkan di leher Rigel. "Oh, Ragil. Lo anak terakhir ya?"
"Rigel! Bukan Ragil!"
"Nah itu bisa ngomong." Kejora meringis lagi. "Nah, udah. Sekarang bisa dimulai wawancaranya?"
"Nggak!"
"Kenapa nggak?"
"Orang kayak lo nggak bakal bisa jawab." Rigel menarik satu sudut bibirnya, mencemooh.
"Jangan meremehkan." Kejora berdecak-decak dengan mata menyipit. Dia sangat-sangat terbiasa menghadapi wartawan. Kata-kata Rigel jelas menyinggung egonya. "Gue bakal jawab semua pertanyaan lo."
Alis Rigel yang terukir tegas bergerak naik. "Deal!"
Kali ini Rigel yang mengulurkan tangan dan Kejora menjabatnya dengan riang.
Selamat Kejora, lo baru saja masuk perangkap!
oOo
Daftar istilah :
[1] Scene adalah sebuah adegan yang terjadi dalam suatu lokasi yang sama, pada saat yang juga sama.
[1] Transkrip adalah salinan berbentuk tulisan dari sebuah wawancara yang sangat penting bagi seorang jurnalis.
---------------------------------------------
Author :
Olla,
Gimana pertemuan Rigel dan Kejora? Rigel pasang jebakan batman apaan ya?
Ada yang tahu studio Persari?
Aku udah bikin catatan beberapa kata sulit (makasih ya kemarin yang udah ngasih saran :* ) kalau masih ada yang kelewat dan bingung definisinya, silahkan komen DI SINI.
Selamat membaca. Jangan lupa masukin reading list, share cerita ini ke teman-teman kalian dan tentu saja voment ;)
Buat kalian yang aktif vote & comment, kalian punya kesempatan besar buat dapetin paket buku BWM2 loh. Jangan sia-sialan kesempatan ini!
Terimakasih juga buat yang menyapa & ngirimin semangat buatku di WP pribadi & IG @ayawidjaja
See you on Wed.
Love,
Aya
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro