🌸 09.
🌸🌸🌸
[30 Maret 2020 / Ephemeral]
Hari ini aku dan Halilintar akhirnya diperbolehkan keluar dari rumah sakit seharian.
Setelah menunggu hampir seminggu, dokter pun akhirnya mengizinkan kami berjalan jalan di luar rumah sakit hari ini. Sebelum itu tentunya dokter memeriksa keadaan dan kondisi tubuh kami untuk memastikan kami baik-baik saja.
Sehari sebelumnya, kami sudah membuat rencana dan list dari tempat-tempat yang ingin kami kunjungi. Ini mungkin adalah kesempatan seumur hidup yang tak boleh disia-siakan.
Kami pun keluar dengan baju hangat yang disarankan dokter dan bergegas mengunjungi destinasi pertama yang direncanakan.
Tujuan pertama .
“woah! Solar solar liat! yang mana yang lebih lucu??”
Halilintar menunjukan dua buah kartu di tangannya dengan semangat untuk meminta pendapatku.
“hmm.. dua-duanya cantik, tapi aku lebih suka yang biru” jawabku sembari menunjuk kartu yang ada di tangan kanannya.
“kalau gitu aku akan beli yang ini!” ujarnya. Ia lalu meletakan kartu berwarna hijau yang tidak kupilih dan berjalan ke tempat lain.
Kini kami tengah berada di toko buku dan alat tulis. Entah apa yang mendorongnya pergi, karena kami seharusnya bisa menghabiskan waktu di tempat yang lebih menyenangkan seperti taman bermain.
Setelah membeli beberapa barang di toko buku, kami pun beranjak keluar dan pergi ke tempat selanjutnya.
Melihat list yang dibuat Halilintar, selanjutnya kami akan pergi ke aquarium.. lagi-lagi tempat yang malas untuk kudatangi.
Maksudku, ayolah! apa yang ingin kau lihat disana?? hanya ada ikan ikan..tidak ada permainan, ataupun atraksi yang menarik perhatian. Tapi karena itu kemauannya, aku mau tak mau harus mengikutinya.
***
“Solar lihat lihat!!! ikannya gede banget!”
Aku tertawa melihat tubuh pendek Halilintar melompat lompat riang di depan sebuah aquarium besar. Ia menunjuk sebuah hiu yang tengah melahap potongan daging yang diberikan pawangnya dengan wajah berbinar binar.
“oh! dagingnya lepas! ayo hiu kejar!!”
Halilintar mengangkat kedua tangannya, menyemangati hiu yang baru saja kehilangan daging yang tengah dikunyahnya. Aksinya itu mengundang banyak orang ikut merasa gemas dengan perilakunya, termasuk aku.
Aku pun berjalan mendekatinya, ikut menempelkan kedua tanganku pada dinding aquarium. Diam-diam, aku meliriknya yang terlihat begitu gembira melihat pemandangan biru nan ramai itu.
Ya Tuhan.. aku ingin melindungi senyum itu, bagaimanapun caranya.
Perlahan, tanganku bergerak mendekati tangannya dan membawanya kedalam genggaman erat. Ia refleks menengok menatapku, mempertemukan kedua netra kami.
Netra ruby miliknya itu bersinar di kegelapan, menatapku dengan tatapan penuh gelisah. Batinku pun bertanya tanya arti sebenarnya tatapan itu, itu bukanlah mata bahagia yang tadi diperlihatkannya.
“Hali.. you know, if you have anything… i will always listen to you” aku berkata lirih, menautkan jari-jari kami.
Saat wajah kami mulai mendekat, aku dikejutkan dengan setitik airmata yang jatuh dari netra ruby miliknya. Ia pun menunduk, dan mulai..menangis.
***
“Ice memutuskanku”
Halilintar berkata setelah ia sudah cukup tenang. Kini kami telah berpindah duduk di tepi bukit, dimana hanya ada pemandangan hijau dan kota di depan kami. Hanya ada kami berdua, menikmati pemandangan.
“ingat saat terakhir Ice berkunjung ke rumah sakit? sebenarnya aku berbohong padamu.. Ice bukannya pergi bersama temannya, tapi Ice memutuskan hubungan denganku..”
Ia menghela nafas saat ia melanjutkan ceritanya dengan kepala tertunduk. Ia berusaha menyembunyikan kesedihannya namun isak tangis yang dikeluarkannya berkata lain.
Aku pun hanya duduk diam di tempatku, tanpa berkata apapun dan hanya mendengarkan ceritanya.
“Ice bilang, kalau ibunya menjodohkannya dengan wanita lain. Karena tidak ada gunanya menjalin hubungan dengan orang yang akan pergi sebelum musim semi berakhir..” ia tersenyum pahit saat mengatakan itu.
Dapat kurasakan kesedihan dan sakit hati yang teramat sangat dirasakannya saat ini. Diam-diam aku mengutuk diriku sendiri yang tidak menyadari ini sejak awal. Seharusnya aku tau, alasan mengapa Ice tidak pernah mengunjungi Halilintar lagi akhir-akhir ini.
“tapi mungkin itu ada benarnya.. lagipula, aku tak akan bertahan lebih lama dari ini.. lebih baik tak ada orang yang mencintaiku sama sekali… orang yang sudah setengah mati sepertiku tak pantas dicintai–”
“Hali..”
Aku kembali meraih tangan Halilintar dan membuatnya menatapku. Saat kedua netra kami bertemu, aku meraup sebelah pipinya dan mendekatkan wajahku padanya.
Netra ruby itu membelalak, berpikir aku hendak menciumnya. Ia bereaksi panik dan nyaris mendorongku kalau saja aku tak berhenti begitu hidung kami bersentuhan satu sama lain.
“aku..” kuteguk ludahku dan memantapkan diri untuk melanjutkan kata-kataku.
“jangan bilang kalau kamu itu gak pantas untuk dicintai.. karena aku disini mencintaimu”
Wajah Halilintar yang bengong terngaga menandakan bahwa otaknya masih belum memproses ucapanku barusan. Sedetik kemudian, ia tersadar dan menatapku kaget.
“haah???”
“kalau mencintaimu adalah sebuah kesalahan , yaudah gapapa. Biar aku salah terus aja. Yang penting.. kamu harus tau kalo aku cinta banget sama kamu dan aku ga terima tapi tapi!”
“t-tapi!"
“sst!” aku meletakan jariku di bibir Halilintar dan tersenyum simpul “kubilang gaada tapi tapi, kan? aku hanya ingin kamu tau, sakit itu bukan alasan untuk tidak mencintaimu. Aku cinta sama kamu, dan akan selalu begitu”
Usai mengatakan itu, tiba-tiba saja netra ruby itu kembali diisi dengan air mata. Aku menarik dirinya yang tertunduk dan menyenderkan kepalanya di dadaku. Ia menangis lagi, namun kali ini..aku tak berusaha menenangkannya.
Aku membiarkan dirinya menangis, menumpahkan seluruh keluh kesah dan penderitaan yang selama ini ia sembunyikan dibalik senyum palsu.
Walaupun sedikit.. aku ingin melihatmu bahagia. Meski tak lama waktu yang kumiliki, akan kugunakan seluruhnya untuk membahagiakanmu.
🌸🌸🌸
Hari sudah hampir malam saat kami tiba di tujuan terakhir kami. Berjalan kaki santai dengan tangan tertaut satu sama lain, kami pun berhenti di sebuah gedung besar yang penuh kenangan bertuliskan ‘xxx National School’ .
Ya, ini adalah sekolah kami. Tempatku menghabiskan hampir lima tahun bersekolah dan hampir setahun bagi Halilintar. Walaupun waktunya singkat, namun banyak kenangan yang dimiliki Halilintar di sekolah ini. Karena itulah kami memilih sekolah sebagai destinasi terakhir kami.
Kami sengaja mengunjungi sekolah di waktu malam untuk menghindari bertemu dengan guru ataupun murid lain. Di sisa waktu yang kami miliki, kami tak ingin menghabiskannya dengan kesedihan, namun kami ingin mengisinya dengan kebahagiaan. Dan melihat wajah guru dan teman-teman hanya akan membuat kami semakin sedih dan tertekan.
Saat kami melangkah di lorong kelasku, aku tertegun melihat kelas tempatku dan Halilintar belajar. Perlahan jariku meraba meja, papan tulis, meja guru, dan apapun yang berada di sana.
Sungguh aku merindukan tempat dan suasana kelas ini.
Halilintar pun tak jauh berbeda, ia kini sibuk menulis dan menggambar di papan tulis. Menuliskan apapun yang ada di pikirannya. Di tulisannya yang terakhir, ia menuliskan.
‘apakah aku pantas untuk bahagia?’
Aku yang sedari tadi memperhatikan pun tersenyum, kuambil langkah mendekatinya lalu mengambil kapur dari meja guru dan menuliskan sesuatu di bawah tulisannya itu.
‘aku akan membuatmu bahagia'
Senyum cantik Halilintar pun mulai terkembang. Kami saling menengok dan bertemu muka dengan wajah berseri. Rona merah di wajah Halilintar tidak tertutupi oleh gelapnya malam, dan itu membuatnya semakin terlihat cantik.
“Solar… terima kasih..untuk segalanya..”
To be continued.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro