Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

DUA

Start writing your story

Paris, 2014

"Harusnya lo tuh seneng karena kita bikin viral sampe sekolah-sekolah lain."

"Hahaha!"

"Lihat, deh. Cantik banget."

"Abis ini pasti dipanggil kepsek."

"Mampus lo."

Bunyi jam beker di atas nakas spontan membuat Dyah Rarasati Damara membuka mata. Ia memandang langit-langit cukup lama. Ia terbiasa untuk bermalas-malasan di ranjang sebentar sekadar mengumpulkan nyawa. Ini kesekian kali ia bermimpi buruk selama beberapa hari belakangan. Psikiaternya bahkan memberikan tambahan dosis obat agar keadaannya lebih baik. Namun, tampaknya hal itu sia-sia baginya.

Rarasati bangun dengan langkah berat. Ia memandang dirinya di depan cermin dan mulai melepas pakaian. Air turun dari pancuran. Saat memejamkan mata merasakan siraman air hangat, bayangn wajah seseorang muncul di benaknya. Praktis saja ia mundur ke belakang, terpekik kaget, dan ngos-ngosan. Rara menelan ludah dengan susah payah. Ia segera menggosok badan dengan shower puff dan menyelesaikan mandinya.

Rara sudah terbiasa hidup sendirian sejak ditinggal mati Sasmita Darsono, ibu angkatnya. Ia ditinggali warisan yang mencukupi biaya hidupnya sampai tua. Namun, meski begitu, Rara tidak ingin bergantung pada warisan. Ia sudah berniat mencari pekerjaan setelah lulus kuliah tak lama lagi. Sebenarnya, ia ditawari kantor Sasmita dulu untuk menjadi salah satu bagian redaksi. Ia masih mempertimbangkannya.

Menghidupkan televisi, Rara menyiapkan sarapan. Hanya selembar roti sandwich yang diberi selada, daging, keju, dan saus. Ia membuat jus jeruk dari mesin blender yang dihadiahi Madame Moulin, tetangga apartemennya. Madame Moulin adalah salah satu orang yang sangat membantunya, terlebih sejak Sasmita tak ada. Terkadang, ia diajak makan bersama Monsieur Moulin. Pasutri Moulin adalah pasangan suami istri tanpa anak yang sudah mendiami apartemen itu sejak mereka baru menikah. Usia mereka saat ini sekitar 60-an. Setiap bersedih hati, Rara selalu mencari hiburan dengan pergi ke rumah Madame Moulin untuk membantunya mengurus sesuatu apartemen. Misalnya, membantunya merawat kebun kecil di balkon apartemennya, bersih-bersih, atau membantu memasak. Namun, hari ini pasutri Moulin sedang tidak ada di Paris. Keduanya berlibur ke Montmartre selama beberapa minggu.

Sambil menonton televisi berbahasa Prancis di depannya, Rara menyantap sarapannya. Ia sudah merasa tak berselera. Maka, ditanggalkannya satu potong kecil sandwich tersebut dan membuangnya ke plastik pembuangan. Rara melangkah ke balkon, memandang menara Eiffel yang tampak kecil di depannya.

*

Rara menyilang tungkai sambil menjelaskan keadaan terakhirnya, terutama tentang mimpi-mimpi yang mengganggunya belakangan ini. Ia menginginkan mimpi itu hilang. Dokter Blanchet mencatat di catatan medisnya, lalu memberikan solusi.

"Mungkin, kamu bisa melakukan olahraga kecil di malam hari biar pikiranmu rileks," katanya dalam bahasa Prancis.

Rara bosa mendengar solusi itu. Ia memutar bola mata. "Saya menginginkan sesuatu yang lebih ampuh, Dok."

"Kira-kira, apa yang menurutmu lebih ampuh?"

Terjadi kesenyapan. Rara mengurungkan niatnya untuk memberi tahu perasaan terdalamnya. Ia menggeleng, menyurukkan kepala ke wajahnya, frustrasi.

"Entahlah," dustanya. Lalu, mengubah ekspresinya menjadi cerah. "Aku akan mencoba saran-saran Dokter. Sekali lagi." Ia mengembangkan senyum lebar.

Jam konsultasi selesai. Dokter Blanchet bertanya, apakah ada yang ingin didiskusikan Rara lagi. Namun, perempuan itu menggeleng dan masih mempertahankan senyumnya. Maka, Dokter Blanchet mengakhiri pertemuan itu dan meminta Rara kembali lagi minggu depan untuk melihat hasil observasi seminggu ini.

Rara berjalan gusar, tak tenang. Apakah karena ia berbohong tadi? Namun, ia sendiri tak tahu apa yang dirinya inginkan saat ini. Hatinya seolah bergejolak. Pikirannya tiba-tiba ruwet. Ini bukan yang pertama kali baginya. Perasaan menjengkelkan ini pernah dialaminya bertahun-tahun lalu. Namun, ketika ia bertemu dengan Sasmita, ia merasakan perubahan yang besar. Ia merasakan kebahagiaan dan kasih sayang yang selama ini belum pernah ia dapatkan. Sejak Sasmita meninggal, hidupnya berubah lagi. Seolah-olah ia masuk ke lubang curam yang merongrong raga dan jiwanya, mengisap kebahagiaannya—seperti Dementor yang mengisap kebahagiaan orang-orang di dunia Harry Potter.

Langkah kaki Rara terhenti. Musim gugur memang baru tiba. Ia melihat dedaunan yang mulai menguning dan rontok di jalanan. Temperatur juga sudah mulai dingin. Hari itu Rara mengenakan celana jins, sepatu bot tinggi, syal tebal dan sepanjang pinggang, sweter hitam turtleneck, dan melapisinya dengan mantel panjang.

Rara mengulurkan tangan ketika sebuah daun jatuh di hadapannya. Daun itu ia apit dengan kedua jarinya. Dipandanginya daun menguning tersebut cukup lama. Ia lalu melangkah menuju stasiun kereta sambil meremas daun tersebut dan membuangnya di jalanan.

Orang-orang di kereta selalu sibuk dengan diri mereka sendiri. Rara selalu bertanya apa yang mereka semua pikirkan? Apakah ada beban masalah yang mereka rasakan? Wajah mereka tampak biasa saja. Ada juga yang tertawa haha hihi bersama teman-temannya. Apakah mereka tak pernah diburu perasaan tak nyaman? Dihantui oleh sesuatu hingga membuat mereka sulit memejamkan mata tanpa bantuan obat tidur? Apakah mereka memiliki mimik wajah yang sama dengannya? Rara diam-diam memandang dirinya sendiri di pantulan layar ponselnya. Ia terlihat kuyu, tak bertenaga, seperti seseorang yang tidak tidur berhari-hari. Ia lalu memasukkan ponsel dan fokus dengan musik yang didengarnya.

Pemuda berambut pirang bermata biru di depan Rara yang menekuri kertas dan pensil di tangannya sejak tadi curi-curi pandang beberapa kali, membuat Rara tak nyaman sekaligus penasaran. Ia memalingkan wajah, memilih membuang perhatian ke pasutri tua yang saling mengaitkan tangan. Tiba-tiba, pria di depannya beranjak berdiri dan mengangsurkan kertas itu kepadanya. Rara memandangnya bingung. Namun, ia mengambil kertas itu. Sebuah sketsa cepat yang dibuat pemuda di depannya.

"Biar harimu menyenangkan, Mademoiselle." Pria itu berkata lembut dengan senyuman tulus.

Mimik wajah Rara berubah. Ia tersenyum dan mengangguk. "Merci (terima kasih)."

"Sama-sama." Pemuda itu tersenyum dan kembali ke tempat duduknya.

Rara memandang sketsa di tangannya. Ternyata begini ya aku kalau dilihat orang lain, benaknya berkata demikian. Ia merasa gambar itu lebih hidup. Lebih bernyawa. Lebih bahagia dibandingkan yang dirasakannya saat ini. Seolah ia dan gambar tersebut berbeda. Meskipun begitu, Rara tak mengeluhkan gambarnya. Ia senang melihat gambar itu. Seperti suntikan motivasi yang tidak mengguruinya. Yang begitu alami masuk ke dalam dirinya. Setidaknya, pemuda tadi membuat suasana hati Rara sedikit membaik.

*

Hari ini wisuda. Saat teman-temannya berfoto bersama orang tua atau keluarga besar mereka, Rara hanya bisa memandang toganya. Tidak mengambil gambar sama sekali. Namun, seorang fotografer kampus menyapa dan memintanya berpose di depan gedung Universitas Sorbonne. Tadinya, Rara enggan, tetapi fotografer tersebut memintanya dengan tulus dan menganggap foto yang diambilnya gratis—Rara tak perlu membayarnya seperti yang dilakukan teman-temannya yang lain.

"Bukan masalah mampu atau tidaknya saya membayar," kata Rara. "Saya tidak sedang dalam suasana hati yang baik dan...." Ia lalu tiba-tiba mengingat ucapan Sasmita.

"Kalau nanti kamu lulus, kita foto bareng di depan gedung kampus dan pajang fotonya sebesar mungkin di rumah. Saya sangat ingin melihat foto itu dipajang di dinding. Oh, di dekat perapian dan kamar juga, ya. Itu jadi motivasi dan kebanggaan bagi saya karena berhasil mendidik kamu di sini."

Air mata Rara ingin jatuh. Rasa sesak di dadanya terasa begitu ngilu. Ia menyentuh dada dan menarik napas dalam-dalam. Kemudian, ia melenyapkan ekspresi muram durjanya dan memandang fotografer kampusnya. Ia akhirnya bersedia dipotret di depan gedung Sorbonne. Seorang diri. Dengan mata berkaca-kaca yang memaksakan senyum bahagia.

Hasil fotonya akhirnya dipajang sesuai permintaan Sasmita tahun lalu. Satu bingkai yang cukup besar di dinding, satu bingkai kecil di tungku perapian, dan satu bingkai lagi yang kini di tangannya. Ia enggan meletakkan itu di kamar. Ia membawa pergi satu bingkai itu, menuju pemakaman.

Rara meletakkan foto tersebut di pusara Sasmita. Hatinya seperti kapal yang diporak-porandakan badai. Ia memandang batu malaikat di samping pusara Sasmita. Wajahnya pias. Diletakkannya pula setangkai mawar merah.

"Saya akan bergabung dengan kantor Ibu." Rara melayangkan perhatian ke langit biru yang tertutupi dahan dan dedaunan menguning. Bunyi cericit burung terdengar bersahut-sahutan di dekatnya. "Saya akan memutuskan segera mungkin."

*

Karyawan di kantor majalah fashion "La Beauté" menyambut kedatangan Rara. Mereka memperlakukan Rara sebaik mereka memperlakukan Sasmita yang sudah lama bekerja dengan perusahaan sana—sejak di kantor cabang Indonesia hingga diangkat menjadi kepala editor di kantor Paris.

Rara memang memutuskan untuk magang untuk mencari pengalaman dan sertifikat. Meskipun bos "La Beauté" menyayangkan keputusan itu, Rara tetap bertegang teguh pada pendiriannya. Ia hanya ingin mengantongi pengalaman di kantor bergengsi ini agar mudah mendapatkan pekerjaan di kemudian hari. Di tempat yang akan ia tuju.

Selama menjadi karyawan magang, Rara memang mengerjakan pekerjaannya dengan giat, penuh semangat, dan memuaskan. Ia bahkan memimpin beberapa project yang seharusnya dikerjakan karyawan tetap atau senior. Meskipun beberapa karyawan menaruh rasa dengki karena ia selalu mendapatkan pujian bosnya, ia tak begitu memedulikan hal tersebut dan ingin fokus dengan dirinya sendiri.

Tak terasa, selama enam bulan ia magang dengan hasil yang sangat memuaskan. Rara ditawari menjadi karyawan kontrak dengan jenjang karier yang cepat dan gaji yang bagus.

"Il semble que je maintiens ma position (Sepertinya, saya masih teguh dengan pendirian saya)," katanya kepada bosnya yang mencebikkan bibir kecewa.

"C'est profondément regretté. Même si votre potentiel est grand et que vous pouvez réussir ici (Sangat disayangkan. Padahal potensi kamu besar dan kamu bisa sukses di sini)."

"Mais, si un jour j'ai un projet, puis-je quand même vous emmener les gars (Tapi, jika suatu saat saya mengadakan proyek, apakah saya masih bisa menggandeng kalian untuk diajak kolaborasi)?"

"Bien sûr (Tentu saja)!"

Senyum Rara mengembang semringah. Ia menerima sertifikat magangnya dari sang atasan. Dipandangnya sertifikat tersebut dengan senyuman yang luar biasa bahagia.

*

Sepanjang pagi ini, Rara bersih-bersih rumah dengan iringan musik berbahasa Prancis. Saat ini, suara Edith Piaf terdengar dari speaker yang ia sambungkan dengan ponselnya. Ia menyapu dan mengepel lantai, membersihkan debu dengan kemoceng, mencuci piring, membersihkan jendela, dan menata bantal-bantal sofa yang berantakan di lantai. Saat mengambil bantal itu, ia melihat tayangan berita. Headline-nya memberikan keterangan bahwa seorang pebisnis sekaligus politikus asal Indonesia sedang ekspansi bisnis ke Prancis.

Senyuman Rara lenyap. Ia memperhatikan wajah pria yang sedang ada di layar tersebut. Seseorang yang terpatri dalam ingatannya sebagai salah satu orang yang membuat keputusan akan hukuman di masa lalu yang sebenarnya tidak ia lakukan. Rara meremas ujung bantal di tangannya. Kuat sekali sampai jari-jemarinya memerah. Ia mengambil napas panjang, meletakkan bantal itu ke sofa, lalu melenggang mengambil sesuatu di laci kamarnya. Sebuah sigaret dan pemantik yang seharusnya ia singkirkan saja. Dulu, ia merokok diam-diam karena Sasmita tidak tahan dengan bau asapnya. Ia berhenti sama sekali sejak kematian Sasmita.

Kini, benda itu sudah terapit di jari-jemarinya. Ia menyelipkannya ke bibir, menyulutkan api ke ujung sigaretnya, dan mengisap kuat hingga asap memasuki paru-parunya. Ia mengembuskan asap itu perlahan, memejamkan mata, dan tersenyum kecil. Matanya terbuka. Wajahnya memanang lurus menara Eiffel. Ia menelan ludah kuat.

"Ayo pulang, Alyssa," bisiknya pada diri sendiri. "Saatnya reuni."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro