Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Luka

Aku terluka...

Akibat pertikaianku dengan masa lalu dan masa sekarang

Ketika dua-duanya kompak menghantam

Remuklah rasa hangat yang menenangkan

Tertinggalahku dalam ketakutan

Maka jangan salahkan

Bila aku perlahan meninggalkan

-Ara-

***

"Randu, ngapain kamu di sini?" kataku saat mendapati Randu telah menungguku di tempat biasanya Kak Wira menjemputku les.

"Kak Wira minta tolong aku buat ngejemput kamu," jawab Randu dengan nada yang mencurigakan. Aku tahu dia sedang mencoba menyembunyikan sesuatu.

"Kak Wira kemana emang?" ucapku untuk menintrogasinya.

Randu hanya diam bahkan terlihat sekali dia salah tingkah. Aku tahu pasti sudah terjadi sesuatu. Aku menanyakan pertanyaan yang sama, tapi dengan nada yang lebih tegas. Tetap Randu mencoba menghindar.

"Kalau kamu nggak mau jawab, bawa aku ke tempat Kak Wira sekarang," sahutku dengan nada memaksa.

"Sorry Ra, tapi aku harus nolak permintaan kamu itu. Mending kamu pulang."

Kami bertengkar beberapa kali sampai akhirnya Randu mengalah dan membawaku ke daerah sekolah. Sebuah tempat yang tak pernah aku datangi sebelumnya. Kalau tidak salah ini di bagian belakang sekolah.

Tepat saat motor Randu berhenti, aku langsung turun, memberikan helm yang aku kenakan kepadanya dan masuk ke tempat itu. Aku menemukan banyak kakak kelas yang jujur aku hanya mengenal wajahnya. Mereka teman Kak Wira. Hal yang membuatku sedikit sedih adalah keadaan mereka yang jelas-jelas menunjukkan kemungkinan beberapa waktu lalu mereka berkelahi.

Semua orang memandangku aneh. Karena ini pertama kalinya aku ke sini. Ke tempat yang lebih angker dari kantin waktu jam pulang sekolah. Akhirnya setelah berjalan beberapa saat aku menemukan Kak Wira. Dia duduk di salah satu kursi yang berada di dalam ruagan. Tempat yang mungkin lebih tepat disebut gudang karena keadaannya yang kotor dan cukup reot. Dia nampak asyik memainkan Rasta dan terlihat Kak Lona sedang berusaha mencari perhatiannya dengan menawarkan diri mengobati luka di wajahnya.

"Kak Wira...," kataku saat sudah berada tepat di depan pintu ruangan reot itu.

"Aksara?" kata Kak Wira panik sambil menutupi wajahnya dan aku melototinya sebagai tanda kekecewaanku dengan apa yang telah dilakukannya.

Aku memberanikan diri masuk ke ruangan itu dan ku tarik tangan yang awalnya menutupi wajahnya. Sontak lebam itu pun menampakkan diri di beberapa bagian wajah dan tangannya. Kak Wira masih menjauhi tatapanku. Bercak merah yang masih segar di ujung bibir kirinya membuatku geram.

Aku yang terbawa emosi memilih meninggalkannya menuju sekolah. Aku yakin jalan kecil yang berada di kanan pintu ruangan ini akan membawaku masuk ke gedung sekolah. Sebuah langkah mengikutiku dengan kecepatan yang langsung bisa menyusulku. Langkah kaki Kak Wira. Dia menarik tanganku, aku berhenti dan dengan terpaksa harus melihat muka penuh lebam itu sekali lagi.

"Kamu mau kemana Aksara?" tanyanya dengan masih menghindari tatapanku.

"Pulang," jawabku datar.

"Aku anterin ya?"

"Nggak usah, aku bisa sendiri." Tiba-tiba wajah itu terseyum, "kok Kak Wira malah senyum?"

"Ini kan pertama kalinya kamu pakai kata ganti aku jadi aku seneng."

"Ini bukan waktu yang tepat Kak," kataku dengan nada yang sangat tegas.

"Kamu marah ya?"

"Menurut Kak Wira?"

Dia masih belum berani menghadapi tatapanku. Gelagat yang makin membuatku risih. Aku membalikkan badan dan beranjak keluar menuju gerbang sekolah. Bahkan suasana ramai sepulang ekskul itu, tak menggangguku. Aku sangat marah. Itu satu-satunya rasa yang bisa aku tampung sekarang.

Aku duduk di bangku depan sekolah. Tempat yang terlihat paling sepi dan bisa langsung menghadap ke jalanan depan sekolah. Kak Wira menyusulku dan duduk di sampingku. Beberapa kali aku memandangnya dan dia terlihat salah tingkah. Kami hanya terdiam tanpa bisa mengatakan apa pun.

"Udah diobati?" Entah kenapa aku masih tidak bisa pura-pura tidak melihat dan merasakan perih dari lebam itu.

"Entar sembuh sendiri," jawaban yang membuat amarahku menyala-nyala. Aku sodorkan kotak obatku kepadanya. Dia berkata, "kamu nggak mau ngobatin aku kayak di film-film gitu?" katanya untuk meringankan suasana.

"Suruh aja Kak Lona ngelakuin itu, dia pasti mau," jawabku ketus.

"Bentar deh, kamu tuh marah sama aku karena aku ngelakuin ini diem-diem di belakang kamu atau karena cemburu sama Lona?" Dia pun menyikut lenganku sambil tersenyum. Masih saja dia bisa bercanda.

"Saya marah karena semuanya, Kak."

"Termasuk cemburu sama Lona?"

"Ini nggak ada hubungannya sama Kak Lona...." Walaupun aku kurang yakin juga dengan perkataanku ini. Aku teruskan ucapanku," saya nggak suka kakak berantem, saya pernah bilang itu kan? Saya memang nggak pernah komplain tentang apa pun, tapi kalau soal kekerasan saya nggak bisa nolerir Kak."

"Jadi kamu nggak suka aku yang kayak gini?" Wajahnya menegang dan nada bicaranya jadi lebih serius.

"Iya, saya nggak suka tindakan sok pahlawan kayak gitu Kak."

"Kamu nggak ngerti Aksara. Di dunia yang kacau ini, kita nggak mungkin bisa hidup bebas kalau nggak ngelawan. Semakin kita diam, semakin kita direndahkan," jawabnya berapi-api dan aku masih kurang paham dengan pemikirannya. Tapi keadaanku yang marah, tidaklah kondusif untuk menimpali pemikirannya. Ini bukan waktu yang tepat buat kami bicara.

Saat itulah sebuah bus umum lewat. Aku langsung berdiri dan mencoba menghentikannya. Bus berhenti, kernetnya turun untuk mempersilakan aku naik. Tapi sebelum aku bisa mencapai tangga bus, sebuah tangan menarikku untuk tetap berdiri di luar.

"Kamu mau kemana? Kita belum selesai bicara Aksara," ucap Kak Wira dengan nada cukup keras dan baru pertama kali aku mendengarnya. Aku melihat kilatan amarah di kedua matanya. Kilatan yang terlihat familiar dan membuatku ingin segera menjauhinya..

"Pulang," jawabku datar dengan mecoba melepaskan genggaman tangannya di lenganku.

"Biar aku yang anter," katanya masih dengan nada yang tak ku kenali itu.

"Nggak usah...." Aku mencoba melepaskan tangannya, tapi aku kalah kuat.

"Aduh mbak jadi naik nggak? Lagi kejar setoran nih, jadi nggak ada waktu buat nonton adegan ala sinetron gini," Mas Kernet yang sejak tadi menunggu akhirnya buka suara. Tepat disaat itulah Kak Wira sedikit lengah, aku jadi berhasil membebaskan tanganku. Dan langsung ngibrit masuk bus.

"Aksara turun!" Serunya padaku dari pintu, tapi aku telah duduk senyaman mungkin di pojok belakang bus. Mata nyalang itu membuatku enggan menggubrisnya karena sinar mata itu membuatku terkurung pada sebuah ingatan yang menakutkan. Hawa dinginnya telah membuatku menggigil dan kepalaku mulai sakit. Dia sempat naik untuk memaksaku turun, tapi sorotan mata dari semua penumpang akhirnya membuatnya mengalah turun tanpaku.

"Anak zaman sekarang ngejalanin hidup kayak sinetron," salah seorang ibu yang duduk di depanku membuka percakapan dengan penumpang yang duduk di sebelahnya.

"Iya, untung aja sinetron remaja bukan kolosal atau cerita azab kan serem." Ibu di sebelahnya pun menyahuti dan keduanya tertawa bersamaan.

Penumpang lain pun ikut membicarakan tingkah kami bahkan mulai berspekulasi tentang luka di wajah Kak Wira. Benar-benar suasana yang membuatku gerah. Ku sumbat kedua telingaku dengan earphone setelah menyetor uang ke Mas Kernet. Ku sibukkan diriku dengan suara musik dari ponselku walaupun pikiranku masih di tempat yang sama. Masih mencerna perkataan dan sikap Kak Wira beberapa menit lalu. Ditambah lagi serangan ingatan lama, aku pun sekuat hati mempertahankan kesadaranku. Aku tidak boleh oleng. Ucapku berulang kali untuk menguatkan diri.

***

"Ara, kamu nggak apa-apa?" Sontak ku angkat wajahku dan menemukan Randu telah jongkok di depanku.

"Kamu kok tahu aku ada di sini?" tanyaku sambil mencoba berdiri setelah entah berapa lama aku duduk sambil memeluk kedua lututku. Beberapa menit lalu setelah turun dari bus, kakiku jadi lemas dan tubuhku bergetar cukup hebat. Jadilahku hanya bisa duduk di pinggir trotoar, tempat terdekat dan teraman menurutku saat itu.

"Tadi aku ngelihat kamu bertengkar sama Kak Wira di depan gerbang terus ngelihat kamu naik bus salah jalur. Karena khawatir aku ikutin deh busnya. Sempet kehilangan jejak, tapi untung kekejar. Kamu nggak apa-apa kan, Ara?"

Aku mencoba menutupi semua hal yang beberapa menit lalu terjadi. Tapi aku lupa sedang berhadapan dengan Randu. Dia mudah sekali menemukan kebohonganku. Dia menarik tangan yang aku sembunyikan di balik punggungku. Terlihatlah titik-titik keringat dingin itu. Wajahnya menggeram, dia terlihat menahan amarah.

"Ini nih alasannya aku nolak bawa kamu ke tempat Kak Wira. Jujur sama aku apa yang terjadi? Syndrome itu nggak kambuh lagi kan?" tanyanya khawatir padaku. Aku ingin berbohong, tapi keringat dingin ditambah tubuhku yang menggigil sudah lebih dari cukup untuk menjawab pertanyaannya.

"Aku anter pulang ya, terus kita ngomong sama Ibu. Aku tahu kamu nggak suka ini, tapi kita harus ke Dokter Adrian. Okay?" ucapnya sambil memegang kedua pundakku dan menegakkannya. Sebab lututku masih belum terlalu kuat untuk menompangku berdiri.

"Nggak usah, Ndu. Aku nggak apa-apa. Aku cuman sedih dan kaget aja. Ternyata semua laki-laki itu sama kayak manusia keji itu," sahutku penuh emosi. Mataku pun meleleh dan kepalaku sakit lagi. Beberapa menit lalu, wajah Kak Wira memantulkan bayangan orang itu. Wajah paling buas yang telah memporak-porandakan hidupku.

"Ara, lihat aku." Randu memburu pandanganku, "apa di matamu aku juga cowok seperti itu?"

"Tapi Kak Wira... Ndu, Kak Wira...." Aku tak bisa menjelaskan apa pun. Randu yang paham dengan keadaanku hanya bisa menarikku masuk ke pelukannya.

"Nggak, Ra. Dia Kak Wira dan apa yang kamu lihat belum tentu bener," ucapnya sambil mengelus kepalaku lembut. Tangisku tumpah di pelukannya.

"Udah keluarin semua aja, Ra. Nanti kalau kamu udah ngerasa tenang, aku anterin pulang." Randu memelukku lebih erat dan membiarkan aku menumpahkan semua yang aku tahan. Mungkin benar kata Randu, saat ini aku hanya butuh ditenangkan. Soal lainnya akan lebih baik aku pikirkan nanti, saat mentalku dalam keadaan yang lebih normal.

***

Haloo semua, selamat hari menunggu weekend....

Gimana part ini? Nyebelin? Bikin galau? Atau gimana? Komen ya....

Jangan bilang aku tega ya, tapi emang sengaja sih aku up part ini biar aku yang jomblo jadi punya pasukan galau ngadepin malam minggu besok. Hhheee....

Jadi sebenernya Ara tuh punya sakit apa sih? Penyebabnya juga apa sih? Dan kedatangan Wira di hidupnya tuh untuk nyembuhin dia atau malah bikin dia terjebak pada penyakit lamanya? Penasaran kan? Jadi terus voment dan share ya. Aku dengan senang hati nyelesain cerita ini, tapi udah pada tahu kan bakal ada eliminasi. Jadi bukan aku yang nentuin, tapi kalian. So, terus semangat buat dukung cerita ini sampai akhir ya.

Udah ah, ketemu lagi di hari Senin. Hari pertama di bulan April, bulan favoritku. Tapi jadi bulan penuh badai buat Ara dan Wira. Iyakah? Next ya....

P.S.I love you

Prilda Titi Saraswati

Find me:

WP: prildasaraswati

IG: @prildasaraswati

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro