3. Bittersweet
Aida merasakan angin lembut menerpa wajahnya, hawa dingin menyelimuti untuk sesaat sebelum berganti bau laut yang menyegarkan.
"Kita di mana?" Prama, tamu VIP kafe Naraya itu bertanya penasaran.
Aida mengangkat bahu karena ini perjalanan resmi pertamanya, keduanya kemudian menatap Kala yang diharapkan memberikan jawaban. Sial, Kala malah sibuk nguncir rambutnya yang terbang-terbang kena angin, sebuah kegiatan yang amat sangat berguna.
Prama hendak bertanya tapi terhenti karena pemandangan yang ia lihat saat ini, pria itu tampak kebingungan dan mulai setengah berlari menuju rumah panggung yang bagian bawahnya terendam air laut hingga sebetis.
Prama dengan mudah menemukan bahwa kunci rumah tersebut terselip di antara salah satu jendela, napasnya memburu dan dengan gemetar membuka pintu tersebut tapi kemudian ia malah jatuh tertunduk begitu pintu terbuka.
"Nggak mungkin," ujar Prama langsung bangkit dan meneliti setiap lukisan dan peralatan gambar yang tersusun rapi di rak kayu.
Prama meneliti satu persatu kanvas yang sudah terlukis itu, mengenali setiap gambarnya bahkan ia juga mengenali nama yang tertulis di dinding dan sebuah cap tangan di atasnya. Prama mengamati seluruh ruangan dan muncul banyak pertanyaan di wajahnya. Prama mengeluarkan selembar kertas yang dibagikan guru Bak-nya hari ini, Prama meneliti setiap hal yang ia tulis dan gambar di sana dan mulai berkeliling ruangan.
Kala yang paling akhir tiba di dalam rumah panggung tersebut, pria itu duduk bersila sambil menyender di salah satu dinding setelah mengambil satu set alat lukis. Aida yang kebingungan memilih mengikuti tindakan Kala dan membiarkan Prama yang terus berputar-putar menjelajah tiap sisi ruangan.
"Tuh, kan. Mas Prama!"
"Mas Prama udah pulang!"
"Woy! Ada Mas Prama!"
Teriakan anak kecil bersahut-sahutan, terdengar bunyi kecipak air disela nama Prama yang terus menerus disebut.
"Mas Prama!" Tujuh anak kecil masuk ke dalam rumah panggung dan langsung memeluk Prama yang hampir oleng karena tidak siap menerima bobot tujuh bocah itu.
Ketujuh bocah itu berceloteh riang, ada yang memamerkan kepiting dan cumi-cumi, ada yang menunjukkan tas sekolah, seorang gadis kecil mengangkat bonekanya tinggi-tinggi untuk meminta perhatian Prama.
Aida hendak turun tangan karena Prama tampak bingung tapi Kala mencegahnya dengan gerakan tangan, Aida memang sering berbeda pendapat dengan Kala tapi untuk yang satu ini rasanya ia paham pemikiran Kala.
"Iya, iya. Bagus banget. Ini lucu. Iya, ayo duduk dulu." Prama mengarahkan anak-anak tadi untuk duduk.
Seperti anak bebek yang mengikuti induknya, ketujuh bocah tadi duduk dan langsung diam menatap Prama dengan mata berbinar-binar.
Prama yang kebingungan langsung mengambil spidol dari dalam tas dan mulai menulis potongan cerita rakyat dan menggambarnya di papan tulis, meski gambarnya sederhana tapi anak-anak tadi berseru semangat tiap kali Prama menggoreskan spidolnya.
"Mas, ini kita ngapain?" Aida menyenggol kaki Kala yang fokus pada alat lukisnya.
"Saya? Lagi ngelukis. Kalau kamu lagi ngomong bisik-bisik ke saya." Kala mengangkat kepalanya untuk menatap Aida sekilas lalu melanjutkan lukisannya.
Aida menganga, rasanya ia ingin menjambak rambut Kala sampai botak lalu menjadikan kuas. Menyerah dengan Kala yang sama sekali tidak membantu, Aida beralih fokus pada Prama yang kini tengah bercerita dengan anak-anak tadi.
Pemuda itu tersenyum lebar, tawanya terdengar diantara riuh celotehan, matanya yang tadi keliatan redup kini begitu bercahaya seperti ada gairah kehidupan di sana. Aida merasa Prama yang ini adalah orang yang berbeda dengan yang datang ke kafe tadi pagi.
Prama menyelesaikan satu cerita ketika pintu rumah panggung diketuk, seorang wanita paruh baya masuk sambil membawa rantang.
"Mas Prama biar istirahat dulu ya? Nanti bisa pingsan kalau nggak makan dulu." Terdengar helaan napas tidak puas tapi ketujuh bocah tadi langsung keluar dari rumah panggung setelah bersalaman dengan Prama.
"Makasih ya, Mas Prama. Berkat bantuan Mas sekarang anak-anak udah bisa baca tulis, semoga saja bisa jadi bekal mereka memperbaiki nasib nantinya." Wanita paruh baya itu tersenyum pada Kala dan Aida, lalu membuka rantang yang berisi ikan bakar dan singkong rebus.
"Iya, Bu." Prama yang kebingungan hanya mampu mengucapkan kata tersebut lalu menerima rantang berisi ikan bakar dan singkong rebus.
Ada perasaan hangat di hati Prama dan tanpa disadari air matanya menetes, ia mendongak untuk menghalau air matanya untuk kemudian menyadari wanita di hadapannya membeku dengan senyum yang begitu tulus ke arahnya.
Kala bangkit diikuti Aida, keduanya pergi ke arah pintu tanpa sepatah kata dan Prama segera mengikutinya. Lagi-lagi angin lembut menerpa seluruh tubuh Prama sebelum kabut yang semula menutupi pandangan hilang jadi terang benderang.
Kali ini ketiganya sudah duduk di dalam mobil, pintu mobil terbuka dan kilatan lampu blitz langsung menyapa indra penglihatan mereka, lima orang laki-laki yang menggunakan jas mengelilingi Prama dan mengantarkannya hingga ke pintu ruangan.
Tepuk tangan langsung terdengar begitu Prama masuk, seluruh penghuni ruangan menatap Prama yang baru sadar tangannya memegang tongkat bantu untuk berjalan. Seorang pria dengan jas rapi dan potongan klimis turun dari panggung dan berlari-lari kecil menyambut Prama, ia mencium tangan Prama penuh haru lalu memeluk Prama yang mulai membungkuk.
"Beliau adalah Mas Prama, orang yang mengajari saya dan anak-anak pantai lainnya untuk membaca dan menulis. Mas Prama juga yang rela nggak beli HP baru demi beliin saya buku cerita," ujar pemuda tadi setibanya di panggung dan tepuk tangan sekali lagi bergemuruh.
Sebuah video diputar di layar besar, banyak wajah Prama dan anak-anak lain yang terekam di sana, sesekali mereka terlihat sedang menulis atau membaca buku dan Prama kelihatan begitu bersemangat di dalam video tadi.
Prama turun dari panggung, ia disambut wajah-wajah dewasa yang tidak asing dan dengan taat mencium tangan Prama sambil mengucapkan banyak terima kasih.
"Nah, sudah cukup." Kala menjentikkan jari dan semuanya berhenti bergerak kecuali dirinya, Aida dan Prama.
"Sudah menemukan alasan kamu hidup?" Kala bertanya pada Prama yang menangis di tempatnya.
Prama mengangguk, ia menatap satu persatu wajah yang ia kenali dan air matanya kembali berurai.
"Kamu bisa mati seperti rencanamu atau terus hidup demi menghidupkan mimpi anak-anak ini." Kala berujar lalu kabut tipis mulai menyelimuti ketiganya.
Sesaat kemudian, mereka sudah kembali berada di kafe. Prama semakin terisak di bangkunya sementara Kala dan Aida meninggalkan pria tadi.
"Kita beneran nggak harus hibur dia?" Aida bertanya dan Kala menggeleng.
"Kita kan kafe, tugasnya menyajikan pesanan bukan jadi badut buat mereka. Lagian, kadang emang harus ada badai dulu sebelum pelangi." Kala melangkah menuju lantai dua meninggalkan Aida yang termenung, gadis itu merasa ada yang salah pada ucapan Kala.
"Perasaan pelangi sebelum hujan, deh. Bukan badai," ujar Aida kebingungan sambil menatap pintu ruangan VIP yang tertutup.
Dua hari kemudian, seorang pemuda berseragam SMA kembali datang ke Naraya Kafe. Bedanya kali ini ia memesan menunya lewat Aida, bukan langsung disajikan seperti tempo hari.
"Kopinya atas nama siapa, Kak?" tanya Aida sambil tersenyum ramah.
"Prama Wiryanto. Eh, boleh tambahkan tulisan SPD di belakangnya, Mbak?" Prama menggaruk belakang kepalanya sambil tersenyum canggung.
"Boleh, Mas." Aida dengan semangat menyerahkan pesanan pada Ridwan.
Jumlah kata 1070
12 Oktober 2023
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro