2. Daftar Menu: Pastry, Cake, and Angry Aida.
Setelah dua minggu lebih persiapan, akhirnya Naraya kafe resmi buka. Aida menepuk-nepuk kepalanya sendiri sebagai hadiah karena sudah bekerja keras memanfaatkan segala fasilitas yang diberikan, dengan penuh kebanggaan ia membalik papan penanda kafe yang menunjukkan tanda telah buka. Kala? Jangan ditanya, manusia itu datang ke kafe cuma ngasih makanan, ngasih duit, bikin emosi terus kabur dengan alasan janji ketemu teman yang tentu saja tidak Aida percayai. Manusia mageran macam dia mana punya teman? Napas aja kalau nggak otomatis malas juga kayaknya.
"Gaji karyawan nanti kamu yang transfer, ya?" Aida mendesah, belum juga lama kebahagiaan berlangsung kini biang dari segala masalah sudah datang mendekat.
"Biasanya gaji itu urusan bos, Mas." Aida berusaha menjawab semanis mungkin, meski sikapnya selama dua minggu ini lebih banyak kurang ajarnya.
Berbicara tentang kesopanan, semua itu langsung Aida tanggalkan setelah tiga hari berkerja. Semuanya bermula dari hari Minggu Aida yang indah sebelum menerima panggilan Kala, di jam 4 pagi.
"Iya. Ada apa, Mas?" Aida sengaja membuat suaranya terdengar merdu demi memberikan kesan baik pada bos barunya itu, padahal ia masih terkantuk-kantuk karena baru tidur jam 3 pagi.
"Kalau buat kafe kira-kira butuh meja model apa ya?" Pertanyaan Kala yang pertama.
"Gimana, Mas?"
"Saya lagi buka toko online, ini ada beberapa rekomendasi dan semuanya bagus. Menurut kamu lebih bagus beli langsung atau beli online?" pertanyaan Kala yang kedua.
"Maaf, Mas. Emang konsep kafenya kayak gimana? Soalnya pasti mempengaruhi perabotan yang dipilih." Aida menguap sambil memeriksa belek yang bertengger di mata.
"Belum tahu, sih. Saya kemarin iseng buka google dan katanya bisnis kafe lagi bagus akhir-akhir ini, makanya saya ikutan. Nggak tahu kalau bikin kafe ternyata rumit." Terdengar nada santai dan tawa tidak berdosa dari Kala.
Aida mengembuskan napas, baru tiga hari bekerja dan ia tidak mungkin langsung kehilangan pekerjaan menjanjikan. Akhirnya gadis itu memaksa kakinya melangkah ke kamar mandi untuk mencuci muka, ia membuka laptopnya dan mulai mencari beberapa konsep kafe yang mungkin bisa menyenangkan hati Pak Bos Kala.
Akhirnya panggilan itu berlangsung hingga jam 7 pagi, diskusi satu arah yang setiap jawabannya selalu berbunyi 'bagusnya aja, saya manut kamu aja'. Saat itu rasanya Aida pengen nyebur ke jurang buat cek Pak Bos bakalan serius manut nyebur juga.
Bom atom itu dijatuhkan Kala jam 7 pagi lewat lima menit, Aida mengingat dan akan mencatatnya dalam buku rekor meski masih ia pikirkan kategori yang tepat untuk hal ini.
"Sekarang jam 7 pagi? Kok kamu begadang? Begadang itu tidak baik bagi kesehatan, meski kamu berusaha menyenangkan hati saya sebagai bos tapi kesehatan kamu yang terpenting. Nanti kalau kamu mati, bos masih bisa cari karyawan lain. Waktumu emang bisa diganti? Lain kali, tolong jangan diulangi lagi, kamu harus bisa menghargai waktu istirahatmu." Begitu saja dan Kala langsung mematikan panggilan.
Aida langsung menjadi patung, tangannya menggantung di udara, mulutnya megap-megap kayak ikan kurang air, otaknya langsung beku mendengar perkataan Kala.
"Bajing loncat, kan lo yang nelepon gue, Setan!"
Begitulah Aida menanggalkan segala sikap hormat pada Kala, percuma berusaha menyenangkan hati Kala nyatanya manusia itu tidak punya hati.
"Kamu itu jangan kebiasaan bengong, itu menghabiskan waktu dengan hal yang tidak berguna. Tahu-tahu lewat aja waktunya." Kala dan kalimat bijaknya yang kadang bikin Aida emosi tiba-tiba datang dengan plastik besar di tangan kanan dan kirinya.
"Ini. Katanya butuh kue dan aneka jajanan buat display kafe." Kala menyerahkan plastik jajanan yang ingin Aida lempar ke wajah pria itu.
"Mas!!!! Masa kita mau jual kue penyok gini?" Aida menunjuk kue berbentuk kepala Beruang yang sudah kehilangan mata dan setengah telinganya.
"Penting kan jualan. Ini masih enak," ujar Kala sambil mengambil kue beruang dan memasukkannya ke dalam mulut.
"Mas, bisa nggak kalau dapat info itu konfirmasi dulu? Tadi saya lagi ngasih arahan ke temen-temen kalau kita butuh kue kering tapi dapur belum bisa proses karena bahannya belum datang. Salah siapa bikin kafe modal nekat dua minggu harus jadi?" Aida mengeluarkan isi plastik tadi dengan hati-hati meski mulutnya terus mengomel.
"Lagian udah buru-buru buka padahal bahan dapur banyak yang belum datang. Terus kalau ada orang beli mau dijawab gimana? Besok datang lagi ya, besok coba lagi? Nggak sekalian bisnis togel atau jadi bandar slot aja kita." Aida mengoceh sementara Kala mengambil kue lain dan melahapnya.
Widya, karyawan baru hasil rekrutan Aida yang mendengar kericuhan segera mendekat dan membantu. Wanita itu menepuk-nepuk lengan Aida memberikan semangat, Aida langsung memasang wajah teraniaya pada teman kerjanya itu.
"Banyak yang udah nggak layak ini," keluh Aida setelah memeriksa seluruh isi plastik , ia mengambil plastik kecil dan memasukkan kue-kue hasil inisiatif Kala tadi ke dalamnya.
"Ada kue buat dimakan dan dibawa pulang, udah ada namanya masing-masing. Jangan lupa bilang makasih sama Pak Bos," ujar Aida dari pengeras suara.
Sedetik kemudian terdengar suara koor yang kompak.
"MAKASIH, BOS." Aida sengaja berbicara lewat speaker dengan nada manis yang dibuat-buat karena tahu Kala tidak suka dipanggil Bos.
Kala hanya melambaikan tangan lalu pergi menuju ruangannya di lantai dua.
"Bosmu ngeselin banget itu, Mbak. Aku capek udah kayak melihara anak kucing, pecicilan banget mana inisiatifnya banyakan bikin emosi, anak kucing mending masih ada lucu-lucunya." Aida melorot di lantai, mau dibilang menangis tapi tidak ada air mata yang keluar, disebut nggak nangis tapi mukanya Aida kini awut-awutan.
"Ini pekerjaan pertama kamu ya?" Widya bertanya dan Aida mengangguk sambil mengelap air mata yang tidak ada.
"Dunia kerja kadang emang sengawur itu, Da. Disyukuri aja Pak Kala masih baik ke karyawan, kadang ada yang lebih sadis sampai nggak berkeperikemanusiaan. Rejeki juga kan? Tuh, liat semuanya pada semangat tiap hari dapat oleh-oleh dari tempat kerja." Widya menunjuk dua karyawan lain yang datang mengeroyok isi plastik bening.
"Kenapa lagi?" Ridwan yang akhirnya kerja juga di kafe sebagai pegawai lepas bertanya melihat Aida yang ndelosor di lantai.
"Pasti peliharaannya bikin ulah lagi," ujar Jamal yang menurut Kala adalah ahli tukang bikin kopi, padahal ada sebutan keren seperti barista.
"Ai, bentar lagi ada tamu spesial. Nanti kamu sambut dan langsung anterin ke rumah VIP ya." Kala berteriak dari ruangannya.
"Ngapain disebut, sih. Muncul kan demitnya." Aida bangkit sambil manyun, ia merapikan celemek dan nametag-nya.
Widya dan Ridwan terkikik, Jamal menyerahkan kue putri salju.
"Kalau nggak kuat lambaikan kue putih ke kamera, ada di sebelah sana." Jamal menunjuk kamera CCTV yang berada di atas pintu masuk.
"Nih." Aida betulan melambaikan tangan, lalu disambung mengacungkan jari tengah. Widya langsung menarik turun tangan Aida sementara Ridwan bertepuk tangan sambil terus tertawa.
"Ai!! Nggak boleh kurang ajar sama tamu, masa tamu mau datang kamu kasih jari tengah?" Suara Kala kembali terdengar padahal wujudnya belum keliatan.
"Saya lagi ngasih tahu Mas Kala kalau saya punya jari tengah," jawab Aida menggunakan speaker kafe. Tidak ada jawaban tapi terdengar langkah kaki menuruni tangga.
"Saya juga tahu kamu punya jari tengah, Ai. Tuh, saya juga punya." Kala gantian mengacungkan jari tengah.
Aida mengerang lalu menghentakkan kaki menuju ruangan VIP, Ridwan makin terbahak-bahak, Widya tersenyum lebar sambil geleng-geleng kepala melihat rekan kerja dan bosnya yang sama-sama kurang warasnya. Cuma Jamal manusia yang sibuk makan kue, mungkin dikira lagi nonton drama.
Ruangan VIP memiliki pintu khusus yang membuatnya terpisah dengan area lainnya, di sini sudah ada beberapa karyawan yang Kala pilih sendiri. Berbeda dengan teman-teman lain yang bisa diajak bercanda, pekerja ruang VIP lebih seperti robot yang terus melakukan hal-hal sama.
Aida menghampiri meja yang diisi oleh seorang laki-laki berseragam SMA, tamu VIP yang disebutkan Kala itu menunduk. Seorang karyawan datang menyerahkan nampan yang berisi americano dan macaron.
"Ini minuman terpahit yang kami miliki, biasanya memang disajikan dengan kue manis supaya bisa dinikmati." Aida berbicara sambil mengambil gelas di hadapannya, ia meminum sedikit lalu mengigit macaron.
Pemuda tadi mengikuti gerakan Aida, matanya tampak kosong tapi raut sedih jelas terlihat di sana. Aida tersenyum menatap lawan bicaranya.
"Hidup nggak mungkin sesimple ini kan, Mbak? Terlalu banyak pahitnya sampai nggak bisa dinikmati. Kira-kira kenapa saya hidup?"
Kala duduk di meja lalu mengambil kopinya sendiri, kali ini pria itu tampak berwibawa hingga Aida pun lupa pada kekesalannya.
"Kalau kamu penasaran, kenapa nggak kita cari tahu jawabannya?"
Sebuah pintu terbuka, Kala bangkit diikuti Aida yang meletakkan celemek dan merapikan rambutnya.
"Kamu ikut kan?" Tanya Aida yang langsung dijawab dengan anggukan.
Ketiganya masuk ke pintu tadi, jam di ruang VIP berputar cepat ke arah kanan sementara pintu menutup dan bercahaya. Seorang pekerja mendekati meja dan mengambil tiga gelas kopi yang mengering dan macaron yang ditumbuhi jamur.
Jumlah kata 1342
8 Oktober 2023
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro