1. Naraya Kafe: Open
Aida menatap puas ruangan yang akhirnya berbentuk seperti kafe, meja bar yang kini rapi dengan gelas dan printilan membuat kopi, meja dan kursi pelanggan yang sudah ditata, terakhir dia menatap nametag di dada kirinya yang bertuliskan pegawai kafe Naraya. Dunia baru terlihat begitu indah sebelum kerusuhan lainnya datang, kalau tidak ingat ocehan bibi yang bawel karena ia tidak dapat kerjaan rasanya Aida mau pulang aja.
"Ini beli apa lagi, Mas?" Aida menghadang pria yang baru masuk ke dalam kafe diikuti seorang kurir.
"Banyak. Ada pajangan meja pelanggan, buat meja saya, meja kasir, kamu mau dibuatkan meja juga atau pakai meja kasir aja? Saya pesankan dulu satu meja untuk kamu." Kala, pria yang berstatus pemilik kafe itu segera mengambil ponsel dan hendak menghubungi kenalannya di bidang jual beli perabotan.
"Mas! Itu pajangan bahkan masih dua kardus belum disusun, lagian kemarin kita sudah sepakat mau pakai konsep minimalis aja. Kalau satu meja pelanggan isinya 5 pajangan nggak sekalian kita buka toko aksesoris?" Protes Aida sambil menunjuk meja pelanggan yang sudah penuh aneka printilan.
"Bagus juga ide kamu. Jadi selain ngopi mereka bisa belanja aksesoris, saya punya kenalan tukang kerajinan tangan khas daerah. Saya hubungi dulu, deh. Untuk awal kita ambil dari daerah Jakarta, Medan, sama Papua, nanti-"
"Terserah, Mas. Terserah. Nggak sekalian aja pindahin itu taman mini ke sini." Aida memotong ucapan bosnya, meski kesal ia tetap mengarahkan kurir untuk meletakkan paketnya di meja kasir.
"Kalau taman mini ke sini itu kita bikin tempat rekreasi, kan konsepnya ini kafe buka taman rekreasi. Kamu itu gimana?" Kala menyahut sambil geleng -geleng kepala.
"Saya memang santai dan terbuka dengan ide baru, terutama ide kamu sebagai pegawai dan anak muda yang memang sasaran tempat ngopi ini dibuat. Cuma kalau langsung semuanya gini kasian kamu repot juga." Kala berjalan ke meja kasir dan mulai membongkar paketnya yang baru tiba.
Aida memonyongkan bibir, menirukan ucapan bosnya itu dengan ekspresi dilebih-lebihkan. Padahal ia belum genap seminggu bekerja tapi rasanya ia hampir kena darah tinggi karena kelakuan bos-nya itu. Aida meninggalkan pak bos yang masih sibuk dengan aneka pajangan tadi menuju lantai dua, ia mengarahkan beberapa pekerja yang ia sewa untuk membantu menata kafe.
"Orang kaya kalau gabut emang gitu, Da." Ridwan, salah satu pekerja yang juga kenalan Aida mencoba menghibur remaja itu.
"Gabutnya buka kafe padahal nggak tahu sama sekali soal perkafean? Semuanya aja mau dibeli, pengen ini model ini pengen itu model itu. Tuh liat payung taman akhirnya ngangur, kita nggak ada konsep outdoor terus beli payung segede gaban buat apaan?" Aida masih terus misuh-misuh.
Aida sudah membayangkan ia akan bekerja di kafe, sibuk meracik aneka minuman sambil tebar pesona ke pelanggan, bonus bisa bikin konten kekinian buat sosial medianya. Sialnya itu semua buyar begitu hari pertama masuk kerja, kalau nggak keburu terima bayaran di muka, Aida pasti langsung kabur dan cari kerjaan lain.
"Ini mau ditata kayak gimana, Mas? Susunan meja dan yang lainnya." Aida bertanya dengan lemah lembut, baru pertama kerja langsung dikasih 500 rebu katanya buat ongkos. Tentu saja Aida langsung bermanis ria di hadapan Bos.
"Saya juga nggak ngerti, sih. Ini udah cari inspirasi dan beli beberapa barang tapi mau nyusunnya males. Gimana ya?" jawaban Pak Bos Kala yang membuat Aida bengong kayak kambing congek.
Akhirnya Aida juga yang harus nyari pekerja untuk membantu kafe ini lebih berbentuk, Aida juga yang menyortir barang yang butuh dan terlanjur dibeli Bos gabut, pokoknya semua jadi Aida yang ngerjain dan Kala terima gesek ATM aja. Belum juga reda emosi Aida, kini si biang kerok semua masalah tadi muncul di hadapannya.
"Kenapa, Mas?"
"Kamu butuh catokan nggak?" Kala tiba-tiba menunjukkan layar ponselnya yang menampilkan aplikasi jual beli berwarna oranye.
"Mas Kala mau catokan?" Aida menunjuk rambut bosnya yang panjang sepundak.
Sebagai wanita, Aida merasa kalah saing kalau melihat rambut dua warna milik Kala. Rambut bosnya itu keliatan rapi dan lembut, pokoknya mirip-mirip sama iklan sampo yang ada di televisi.
"Kamu. Katanya kenyamanan pegawai akan berdampak positif pada pekerjaan, kemarin kamu sempat telat karena lama nungguin mesin catok panas. Beli satu aja buat di sini ya? Jadi bisa nyatok di sela jam kerja. Kira-kira kebutuhan pegawai perempuan itu apa aja? Biar sekalian dibeli." Kala menunjukkan sebuah catokan yang harganya diawali angka 10 dan diikuti nol enam buah.
Ridwan terkikik, pria itu cepat menyingkir karena tidak sanggup menahan tawa dan Aida mengeplak lengan Ridwan sebagai balasan.
"Mas, fokus ke kebutuhan kafe dulu. Kita perlu cari pegawai yang berpengalaman, saya nggak bisa ngeracik kopi atau minuman lain. Mas Kala terlalu males kalau suruh bikin ini itu." Aida memijat keningnya yang nyut-nyutan.
"Kamu urus aja, deh. Saya nggak ngerti dan mager, ribet rekrut ini itu pakai syarat ini itu. Nanti saya terima laporan aja," ujar Kala lalu mengeluarkan sebuah kartu berwarna hitam dari dompetnya dan menyodorkannya ke Aida.
Aida melongo saat Kala meraih tangannya dan meletakkan kartu itu di sana.
"PINnya 123456. Pakai aja buat kebutuhan kafe, pokoknya nanti jadi kafe aja. Saya ada janji ketemu orang." Kali ini Kala mengeluarkan tiga lembar uang pecahan 100 ribu dari kantongnya.
"Buat ongkos pulang nanti, jangan malam-malam pulangnya bahaya. Masih banyak waktu untuk dinikmati, nggak harus semuanya kelar hari ini." Kala berlalu sementara Aida mengembuskan napas keras-keras.
"Kalalalalalilililikuali!" pekik Aida sambil meremas udara, seolah sedang meremas wajah menyebalkan pak bos.
"Aturan tadi bilang butuh tulang punggung gitu, Da." Ridwan menyahut sambil menaik turunkan alisnya.
Aida turun ke lantai satu sambil menghentak-hentakkan kaki, ia duduk di balik meja kasir mengamati para pekerja yang sibuk sambil menyedot es Boba yang tentu saja dibelikan Mas Kala.
Remaja itu mulai berpikir kalau ia terlalu sensitif, rasanya ia sudah bersikap tidak sopan pada Kala yang merupakan bosnya. Terlepas dari panick buying yang bikin barang numpuk, Kala merupakan bos yang perhatian dan loyalnya kebangetan.
Aida menatap kartu berwarna hitam yang Kala serahkan, seumur hidup baru kali ini ia memengang kartu dengan tahta tertinggi yang biasanya hanya dimiliki kelas atas itu. Aida mengambil tasnya dan mengeluarkan pecahan 100 ribu yang totalnya ada 15 lembar, uang ongkos pulang yang diberikan Kala seminggu ini. Aida ingat teman-temannya yang sudah bekerja, kebanyakan hidup mereka jadi banyak keluhan soal bos, teman kerja, atau aturan lain yang bikin tertekan lalu membandingkan dengan kondisinya saat ini.
"Ini gue salah nggak sih kerja di sini? Nggak kerja capek banget diocehin mulu, kerja di kafe tapi berasa jadi sugar baby. Itu manusia ngeluarin duit gampang banget kayak napas," ujar Aida pada bayangan di kaca.
"Ini gue beneran kerja di kafe kan, ya?" tanya Aida meragukan pekerjaannya lagi.
Jumlah kata 1048
4 Oktober 2023
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro