Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

3

Kali ketiga Nanami menemukan toko itu...

Berarti sudah menjadi pola.

Akan tetapi, siapa yang tahu.

Bisa jadi itu hanya salah satu kebetulan lain. Sama seperti yang sudah-sudah.

Mungkin Floriography hanya bisa ditemukan melalui 'kebetulan'.

***

Nanami kembali bertemu Flora di musim semi. Tepatnya musim semi setahun setelah dia memilih kembali berkecimpung di dunia Jujutsu.

Hari itu dia harus kerja lembur. Roh kutukan yang sulit mati jelas bukan kesukaan Nanami. Ketika semuanya beres, langit sudah gelap. Mendung. Ditambah derum guntur nun jauh di atas kepala, dia tahu hujan sebentar lagi akan tiba.

Tidak ada toko yang masih buka untuk Nanami berteduh. Kebanyakan sudah gelap dan membalik gantungan tanda buka mereka.

Kecuali satu.

Cahaya lampu kuning menguar dari jendela sebuah toko berwarna hijau.

Tanpa melihat papan namanya pun Nanami sudah tahu apa yang tertulis di sana. Beda dari tahun-tahun lalu, dia tidak berhenti untuk terkejut. Langkah langsung diderapkan menuju bangunan itu.

Suara bel berdenting ketika pintu kayu didorong terbuka. Meongan pelan terdengar seakan menyambut. Sementara sebuah senyum familiar dihadapkan pada Nanami.

Juga mata hijau yang sama.

Dan rambut kepang yang sama.

"Selamat datang di Floriography!"

Nanami tidak akan bilang dia tidak merindukan sapaan itu.

"Selamat malam, Flora. Sudah cukup lama, ya?"

"Malam, Nanami!" Sudut bibir sang gadis melengkung ke atas. "Benar, seharusnya sudah beberapa tahun dalam hitunganmu."

Pria itu balas tersenyum. Sebelum sadar.

"Kau tahu namaku?"

"Huh? Tentu. Bukankah kau yang memberi tahu?"

"Kita baru bertemu tiga kali, aku tidak ingat kau pernah bertanya."

Benar.

Pertemuan mereka hanya tiga kali. Semuanya dibatasi tahun panjang. Akan tetapi, ada familiaritas yang menghantui Floriography.

Seakan toko itu selalu ada, bahkan saat Nanami tidak melihat.

Mungkin itu sebab Nanami tidak pernah melupakannya.

"Ah? Mungkin kau salah ingat," ucap Flora menjawab pertanyaan tadi. Tangan sibuk mengelus Buttercup yang menggulung santai di pelukannya. "Atau mungkin hanya di
yang ini saja. Di kemungkinan lain, kau memberitahuku."

"Kau mulai lagi."

"Eh?"

"Kata-katamu, semua tidak masuk akal."

"Tidak masuk akal untukmu," ralat si gadis sembari menunjuknya.

Nanami menggelengkan kepala. Pandangan dilempar keluar jendela.

Butir air sudah menempel di kaca. Hujan deras sudah turun. Sesuai perkiraan. Suaranya seakan menggetar udara di sekeliling mereka. Membawa dingin. Selagi bisik guntur terdengar di kejauhan.

"Boleh aku berteduh di sini sampai hujan reda?" tanya Nanami.

"Tentu boleh, ambil bangku kecil di sudut sana. Berdiri terus pasti melelahkan."

Dengan patuh, Nanami mengikuti perkataan wanita itu. Dia menempatkan bangku itu dekat meja kasir. Sehingga mereka cukup dekat untuk bercakap.

Buttercup melompat dari pangkuan Flora. Kepala berbulu digosokkan pada lengan Nanami. Akhirnya, si penyihir jujutsu menyerah dan mengelus kucing hitam itu. Dia mendapat dengkuran penuh apresiasi.

"Wah, wah, sepertinya aku digantikan," canda Flora.

Buttercup mendesis di sela taringnya.

"Bukan salahku 'pasak'-nya tidak kuat!" protes si gadis. Kepala menggeleng. "Kadang kau tidak masuk akal, Buttercup!"

Alis Nanami terangkat mendengar eksklamasi itu.

"Jangan bilang kau bisa bahasa kucing."

"Tidak semua kucing. Hanya yang satu ini, tepatnya."

Kucing hitam di bawah elusan tangan Nanami mendengkur lagi. Flora menjulurkan lidahnya ke arah kucing itu. Mau tidak mau, Nanami terkekeh kecil.

"Woah, kau bisa tertawa," celetuk si gadis. Lalu tersenyum lembut. "Tapi, kau memang kelihatan lebih baik, sih."

"Apa maksudmu?"

"Terakhir kita bertemu, kau tampak seperti boneka yang benangnya ditarik kencang."

Jemari sang gadis berderap di atas kayu meja kasir. Sementara tangan yang lain memangku pipi. Hujan diluar masih menderu.

"Sekarang kau jauh lebih baik."

"Begitu," jawab Nanami. "Darimana kau tahu?"

Senyum sang gadis terkembang lebih lebar. "Sudah kubilang, 'kan?"

Telunjuk Flora mengetuk pelipisnya sendiri.

"Mata tidak pernah bohong."

Nanami diam. Mulut bergumam mengiyakan. Setelah itu, hening hanya diisi suara hujan. Sesekali meongan Buttercup terdengar. Atau suara Flora yang merapikan ranting-ranting bunga dalam rak di belakang meja kasir.

Sekali lagi pandangan Nanami diedarkan ke interior toko. Warna-warni bunga memanjakan mata. Sementara aroma harum dari mawar dan lili menguar di udara. Dicampur hujan, suasana toko itu seperti sketsa sebuah film penuh estetika.

"Kenapa masih buka semalam ini?" tanya Nanami.

Flora berdehum. Tanda dia mendengarkan. Kepala gadis itu kini diistirahatkan di atas meja. Dengan tangan terlipat sebagai bantal.

"Mungkin sebagai tempatmu berteduh?"

"Mustahil."

"Diantara semesta dan posibilitas yang infinit, kau percaya kata 'mustahil'?"

Nanami melemparkan pandangan bingung kepada gadis itu. Flora hanya menyeringai.

"Jika bahkan 'ketidakadaan' itu 'ada', berarti tidak ada yang namanya 'ketidakadaan', kan?"

"Bicaramu berputar-putar."

"Sama seperti dunia, kalau begitu. Menari mengitari satu orbit. Dunia yang ini, setidaknya."

Kepala Flora bangkit. Meregangkan tangan di meja.

"Kau sendiri, kenapa pulang malam? Kerja lembur?"

"Bisa dibilang begitu."

"Wah, kantormu harus menaikkan pangkatmu jika kau rela pulang selarut ini."

"Ah, tidak." Nanami menggeleng. "Aku sudah tidak lagi bekerja kantoran."

"Oh?" Pandangan si gadis menelisik. Dia mencondongkan wajahnya sedikit. "Itu sebabnya kau lebih rileks? Apa kau suka pekerjaan barumu?"

"Suka itu terlalu berlebihan," kata Nanami. Dia berpikir sejenak.

"Tetapi, pekerjaan yang ini memberiku tujuan."

Flora terdiam. Mata hijau mengamati raut wajah Nanami yang datar. Seakan dapat membaca pikirannya seperti lembar buku. Jika sang gadis memang bisa, Nanami tidak tahu apa yang dilihatnya.

Karena setelah itu, Flora tertawa.

"Syukurlah..." ucap wanita itu. Menghela napa lega. "Aku turut senang."

Flora berdiri dari kursi tempatnya duduk. Kemudian bergerak menuju ranting-ranting bunganya. Punggung menghadap Nanami ketika dia mulai memilih.

Sudah dua kali, Nanami tahu apa yang akan terjadi.

Gadis itu berbalik lagi. Tangannya menggenggam sebuah bunga putih dengan sulur-sulur ungu pendek melingkar dalam mahkotanya. Diikat bersama bunga lain dengan tali serabut. Bunga yang sama putihnya. Namun lebih kecil. Bermahkota mirip bintang.

"Passionflower dan edelweiss," kata Flora. Dia mengulurkan buket sederhana itu pada Nanami. Diterima dengan hati-hati.

"Artinya?"

"Oh?" Flora terkikik. "Aku tidak tahu kau peduli."

"Hanya penasaran."

Senyum sang gadis merekah.

"Passionflower untuk kepercayaan—faith—dan edelweiss untuk keberanian—courage." Flora menjelaskan.

"Jika diikat bersama, artinya menjadi 'kepercayaan bahwa seseorang akan memilih pilihan yang benar, walau itu sulit'."

Nanami tidak bergeming.

"Itu floriography?"

"Tepat. Maaf sampai sekarang aku belum belajar hanakotoba," ucap Flora.

"Bukan masalah buatku." Nanami mengamati bunga di tangannya.

"Berapa semua?"

"Gratis."

"Ini ketiga kalinya. Kau punya prinsip bisnis yang buruk."

"Aku tidak akan bangkrut hanya karena memberimu bunga gratis."

Flora menunduk. Pandangan lalu terlempar keluar jendela.

"Hujan sudah reda," ucapnya. "Apa kau akan pulang?"

"Ah, benar."

Pria itu berjalan mendekati pintu. Sebelum tangan meraih kenop logam, dia berbalik menatap Flora. Bunga-bunga putih tergenggam disamping tubuhnya.

"Apa kita akan bertemu lagi?"

"Entahlah."

Flora menampilkan senyum getir.

"Aku bilang tadi, 'mustahil' itu sebuah konsep yang tidak kupercayai."

"Jadi, jawabanmu 'iya'?"

"Jawabanku bukan tidak."

Pria di depannya menatap balik ke wajah Flora. Seakan menskala apapun yang dia lihat dari wanita itu.

"Musim semi berikutnya, aku akan membayar untuk bungaku."

Nanami tidak menunggu jawaban Flora dan melangkah keluar. Udara dingin malam langsung mendekapnya. Sangat kontras dengan kehangatan Floriography.

Pria itu mendesah. Tidak berbalik.

Dan melangkah pulang.

***

Keesokan harinya, toko itu hilang. Seperti biasa.

Bagai gaung sebuah nada terakhir dari himne musim semi panjang. Dinyanyikan selama sedetik.

Sebelum senyap.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro