2
Kali kedua Nanami menemukan toko itu...
Masih kebetulan.
Bedanya...
Yang ini melibatkan seekor kucing.
***
Tahun demi tahun bergulir.
Musim panas berganti gugur dan meranggasnya daun. Lalu tertutup kristal salju pada musim dingin. Tak lama, kuncup mungil kembali menyembul dari selimut putih. Bagai bel yang menandakan musim semi datang lagi.
Nanami kembali menemukan dirinya ada di area pertokoan minggu ini. Kantor yang berada dekat sana membuat pria itu sering lewat ketika pulang.
Pertemuannya dengan toko bunga aneh sudah teredam. Tertimbun memori lain. Baik maupun buruk. Lebih banyak buruk, mengingat dia mantan penyihir jujutsu.
Itu sebabnya dia keluar. Bekerja kantoran memang membosankan setengah mati. Akan tetapi, setidaknya itu secara figuratif.
Nanami tidak yakin dia bisa melihat kawannya mati sungguhan.
Lagi.
Jadi dia memilih hidup yang monoton. Yang standar. Hidup dimana dia hanya harus memikirkan uang bulanan dan apa menu untuk makan malam. Walau terkadang ritme hidup itu disela oleh mantan kakak kelas berambut putih yang berusaha cari masalah.
Tidak akan berhasil. Nanami sudah membuat keputusan.
Sang pria mendesah panjang. Mempertimbangkan untuk mampir ke kedai okonomiyaki saja daripada memasak. Ketika dia menoleh, pandangan tertancap pada lahan kosong disamping tempat itu.
Seseorang membalas tatapannya.
Bukan, bukan orang.
Seekor kucing hitam mendongak menatapnya. Wajah hewan itu datar. Tetapi matanya seakan memberi pandangan tersinggung. Dia berjalan mendekati Nanami. Lalu menggelanyutkan tubuh berbulu ke kakinya.
Setelah terpaku beberapa detik, Nanami berjongkok di depan mamalia itu. Dia menggaruk telinga sang kucing yang mengeong manja.
"Kau bukan kucing liar, huh?"
Si kucing mengeong lagi. Kepalanya terangkat mengejar elusan tangan si pria. Cahaya matahari terpantul pada benda perak yang melingkari leher kucing. Sejenak menyilaukan mata Nanami.
"Oh, kalung?" bisik Nanami. Dia menarik pelan bandul yang tergantung di sana. Memastikan tidak membuat si kucing tercekik.
"Jadi kau punya nama, huh? Ayo kita lihat—"
Dan matanya terbelalak ketika membaca yang tertera di sana.
Buttercup.
Jika hilang, bawa kembali ke Floriography.
Jadi tempat itu benar-benar nyata!
Selagi Nanami sibuk terpaku, sang kucing menarik diri. Dia mengeong. Lalu melesat pergi.
"Tunggu!"
Nanami bangkit. Segera mengejar kelebat hitam yang berjalan di lautan manusia. Untung saja, tahun yang dia habiskan di SMK Jujutsu membuatnya cukup sigap dan lincah.
Tak lama, bayangan sang kucing berbelok tajam. Tepat di sebuah gang yang Nanami kenal.
Itu harusnya gang buntu.
Ternyata tidak.
Karena gang itu berakhir ke sebuah toko. Toko yang dia pikir tidak akan pernah dilihatnya lagi.
Papan nama di depannya masih sama kusam dengan yang bertahun-tahun lalu.
Floriography.
Dia pikir semua itu hanya sebuah mimpi. Sebuah momen yang diciptakan oleh otak lelahnya. Dia tidak menyangka akan kembali melihat tulisan itu di usianya kini.
Kucing tadi—Buttercup—sibuk mencakar pintu kayu toko. Sesekali mengeong. Akan tetapi, siapapun yang dia panggil tidak beranjak untuk membiarkannya masuk.
Karena kasihan, Nanami berjalan dan membukakan pintu tersebut. Buttercup langsung melenggang masuk bak dialah si pemilik toko.
Tentu itu tidak benar.
Karena pemilik toko yang asli sedang duduk di belakang kasir.
Flora tampak berkutat dengan telepon yang menempel di telinga. Nanami heran ketika melihat model benda tersebut. Rotary dial, dari bentuk dan estetikanya jelas sangat kuno. Dia tidak tahu telepon selawas itu masih ada yang dapat beroperasi.
Sayup-sayup, telinga Nanami menyimak percakapan si gadis.
"Ya, ya, Cher. Tenang, mawarnya akan sampai tepat waktu dan—apa maksudmu dengan itu? Ya, memang ada beberapa masalah teknis, tetapi bukan berarti aku akan terlambat mengirim mawarmu—"
Kocehan sang gadis tidak berhenti. Dia bahkan tidak sadar Nanami melangkah masuk. Derit lantai kayu juga tidak cukup untuk mengusiknya.
Pria itu memutuskan untuk melihat-lihat sejenak. Mengamati pot-pot dan keranjang anyam yang berisi berbagi tanaman dan bunga. Ada juga satu rak penuh rempah kering. Serta gulungan kertas, tali-temali, dan gunting. Semua hal yang diperlukan untuk membuat buket.
Semua hal tentang toko Floriography sudah buram dalam ingatan Nanami. Serasa seperti melangkah ke toko yang baru direnovasi. Namun, disisi lain, perasaan nostalgia seperti membasuhnya.
Jelas ada sesuatu tentang toko ini.
'Sesuatu' itu baik atau buruk, Nanami tidak tahu.
Yang jelas, apapun ini, tidak berhubungan dengan roh kutukan maupun energi negatif. Malah mungkin sebaliknya.
Semua hal di toko itu terasa hangat, nyaman, dan aman.
"Ya, sampai jumpa Rabu, Cher. Tidak, aku tidak akan memberikanmu diskon jika kau terus mengganti pesananmu. Dah! Sampai Jumpa!"
Klik.
Akhirnya telepon ditutup. Flora mendesah ke telapak tangan yang meraup muka. Sebelum menoleh dan melempar senyum lemah ke Nanami.
"Selamat datang di Floriography," ucapnya. "Apa ada yang bisa kubantu—oh!"
Menyadari siapa yang berdiri di depannya, senyuman gadis itu berubah lebar.
"Kau anak yang waktu itu!" Dia menepukkan tangan sekali. "Wah sudah berapa lama, ya?"
"Beberapa tahun," jawab Nanami datar.
Sang gadis berdehum. Lalu bergumam, "Yah, waktu itu relatif, kau memang tampak lebih tua, sih. Aku suka gaya rambut barumu."
"Uh, terima kasih. Kau juga—"
Nanami tertegun. Mata meneliti Flora dengan hati-hati.
"Kau—kau tidak berubah."
"Ohoho, apa aku tampak awet muda?"
Kedua tangan sang gadis menangkup pipinya sendiri. Berusaha bertingkah imut. Nanami hanya diam. Tidak menjawab.
'Awet muda' sepertinya tidak cukup untuk mendeskripsikan paras wanita itu.
Karena wajah orang di depannya memang sama sekali tak menua. Manik hijau yang sama. Rambut kepang yang sama. Bahkan hal aneh dimana semua fitur wajahnya seperti berubah masih sama.
Masih mirip lukisan yang dia lihat di masa lampau.
Seperti membeku dalam waktu.
"Tokomu tiba-tiba hilang beberapa tahun lalu." Nanami memutuskan membuka topik baru. "Kenapa itu?"
Alis Flora terangkat. "Kau yakin? Apa kau yakin tokoku hilang? Kita berdiri di dalamnya, 'kan?"
"Dari area pertokoan, maksudku. Bagaimana bisa berpindah kemari dalam semalam?"
"Eh, bisa saja. Toko ini kadang memiliki pilihannya sendiri."
Flora mengatakan itu sembari mengelus lembut meja kasir. Senyum merekah di wajahnya. Sebelum kembali pada Nanami.
"Jadi, ada yang bisa kubantu?"
Tidak ada jawaban.
Semua ini kelewat aneh.
Bahkan untuk Nanami yang merupakan mantan penyihir jujutsu.
Setelah keheningan menjadi terlalu berat, pekerja kantoran itu terbatuk. Lalu menggeleng pelan sebagai jawaban.
"Aku hanya mengantar kucingmu," tambahnya.
"Buttercup?"
Seperti terpanggil, sang kucing melompat ke atas meja kasir. Dia mengeong. Flora langsung menggaruk tengkuk bola bulu hitam itu dengan sayang. Sang gadis tertawa.
"Oh, jadi bukan karena 'terlempar', kali ini. Apa kau yang membawanya kemari, hm?"
Kalimat itu dijawab oleh dengkuran. Buttercup meregangkan keempat kaki bercakarnya. Sebelum meringkuk. Memutuskan tidur siang diatas konter itu.
"Dasar pemalas. Aku akan anggap itu sebagai 'iya'," bisik Flora gemas. Dia menepuk-nepuk kepala si kucing sebelum menoleh ke Nanami lagi.
"Apa kau habis dari pesta? Pakaianmu rapi sekali."
"Bukan aku kerja kantoran."
"Ah, aku turut berduka."
"Sebenarnya tidak terlalu buruk," protes Nanami. "Mungkin sama dengan menunggu seharian di kasir toko."
Flora tertawa renyah mendengar sindiran halus itu.
"Oh, mungkin toko lain, tidak dengan Floriography," ucap si gadis sembari memilin ujung kepangan rambutnya.
"Aku banyak terlibat hal menarik. Juga bertemu berbagai orang di banyak tempat, banyak waktu, dan banyak kemungkinan!"
Kening Nanami berkerut mendengar yang terakhir. Namun dia tidak mengorek lebih jauh. Dia malah melirik pada telepon tua yang ada di belakang kasir.
"Apa salah satunya adalah orang yang tadi?"
"Oh? Cheryl Silverton?" ucap Flora. Lalu mendesah. Dia menopang dagu dengan telapak tangannya. "Yah, dia ingin memesan mawar untuk pernikahan adiknya. Agak perfeksionis, yang satu itu."
Kening Nanami berkerut lebih dalam. "Kau bicara dengan orang bernama 'Cheryl Silverton' dengan bahasa Jepang?"
"Oh? Apa aku terdengar memakai bahasa Jepang bagimu?"
"Uh, ya."
"Apa sekarang masih? Apa kalimat yang kukatakan ini dengan bahasa Jepang?"
"Ya."
"Begitu." Flora terkekeh. "Seperti biasa, huh?"
Nanami tidak yakin harus menanggapi apa.
Dia melirik keluar. Melihat langit mulai berwarna jingga. Tanda matahari akan segera tenggelam di horizon sana. Percakapannya dengan Flora nampaknya lebih lama kali ini.
Pria itu menggosok tengkuknya. Merasakan lelah dari kerja tadi kembali merambati tulang.
"Aku sebaiknya pergi—"
"Tunggu!"
Interupsi dari Flora membuat Nanami tersentak. Dengan heran, dia melihat si gadis mengumpulkan seikat bunga ungu. Ada rumpun kecil memanjang di setiap tangkainya.
"Ini. Gratis, karena sudah mengantar Buttercup." Dia menyerahkan itu kepada Nanami. "Heather, keberuntungan—luck—dan perlindungan—protection."
"Itu arti bunganya?"
"Yep!" Flora mengangguk. "Kau tahu, heather dulu biasa dipakai prajurit Skotlandia ketika perang, karena maknanya. Kerja kantoran memang bukan perang, tetapi... ah! Kau paham, lah!"
Nanami diam. Lalu turut mengangguk. Dia melangkah keluar toko dengan bunga itu. Wajahnya datar, tetapi hatinya hangat seperti aura toko Floriography.
Dan langkahnya menuju rumah terasa lebih ringan.
***
Toko itu hilang lagi di esok hari.
Nanami sudah menduga, tetapi ada sedikit kecewa dalam hati.
Setangkai heather kering dalam resin kini menjadi hiasan kunci pintu apartemennya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro