1
Kali pertama Nanami menemukan toko itu...
Adalah sebuah kebetulan.
Kebetulan yang melibatkan sebuah hari lambat di musim semi.
Dan sebungkus pretzel baru jadi.
***
Langkah kaki Nanami agak gontai setelah hari yang dia lalui. Dia tahu menjadi murid SMK Jujutsu membutuhkan komitmen dan determinasi. Akan tetapi, dia tidak menyangka akan mengerahkan seluruh tenaganya untuk satu misi saja.
Ditambah lagi, ini misi pertamanya. Dia bergidik membayangkan lebih banyak tugas lain di masa depan yang pasti jauh lebih berat.
Maka untuk menghibur diri. Dia memutuskan tidak langsung pulang. Ada toko roti baru di area pertokoan dekat sana. Orang bilang mereka memberikan satu kue gratis di setiap pembelian. Tidak mau menyiakan kesempatan, Nanami mempercepat langkahnya.
Setelah beberapa waktu mengantri, dia keluar dengan satu bungkusan penuh dengan pretzel yang masih berasap. Lengkap dengan saus keju dan satu plastik berisi kue kering sebagai bonus. Berwarna pink berhias motif sakura. Cocok untuk musim semi begini.
Namun, belum sempat dia mencari tempat duduk untuk melahap camilan itu, pandangannya menangkap sesuatu yang tidak familiar.
Sebuah toko, tepatnya.
Warnanya hijau pupus pastel yang enak dipandang. Tidak mencolok. Hal paling menarik dari toko itu hanya gerobak berisi bunga matahari yang terpajang manis di samping pintu. Sebuah papan nama terpasang di atasnya. Sudah tua. Hurufnya sudah kabur.
Nanami harus memicingkan mata agar dapat membacanya. Berpikir sejenak ketika menyadari tulisan itu menggunakan alfabet latin, bukan huruf jepang.
Floriography.
Namun, itu bukan yang paling aneh.
Letak toko tersebut terhimpit di antara restoran kecil yang menjual okonomiyaki. Dan sebuah parlor es krim langganannya di hari panas.
Minggu lalu, Nanami mampir untuk sorbet mangga. Dia yakin sekali toko hijau itu belum ada.
Entah karena penasaran atau curiga, kaki Nanami bergerak ke sana. Seperti ditarik oleh tangan tak kasat. Atau diatur sebuah perintah yang didesahkan angin.
Tanpa sadar, tangannya sudah menggenggam kenop pintu. Mendorongnya terbuka sedetik kemudian. Bel berdenting menandakan kehadirannya.
Alhasil, gadis yang duduk di belakang meja kasir tersentak.
"Selamat datang di Floriography!" sapanya spontan. Seakan sudah mengatakan itu ratusan kali.
Dalam kasus ini, mungkin iya.
Sedetik tidak ada yang terucap. Baik Nanami atau gadis itu. Si penyihir jujutsu mengedarkan pandangan ke ruangan.
Lampu kemuning menciptakan atmosfir hangat. Semerbak harum menyelimuti. Tampak banyak tanaman berwarna-warni dengan embun di kuncup dan daun.
Tempat itu toko bunga.
Tiba-tiba, gumaman lirih membuat Nanami menoleh.
"Rambut pirang?" bisiknya. "Apa aku di Eropa?"
Nanami tidak tau apa dia bercanda.
"Ini di Jepang," kata penyihir jujutsu muda itu dengan wajah datar. "Kalau soal rambut, ini dari Kakekku."
"Kakek?"
"Dia Danish."
"Seperti nama kue?"
Kening Nanami mengernyit. Melempar pandangan menghakimi ke si gadis yang hanya tertawa.
"Bercanda!" seru anak itu. Dia terkikik. Sebelum kembali berucap.
"Mit navn er Flora."
Namaku Flora.
Giliran Nanami yang tersentak. Dengan hati-hati, dia memasuki toko itu. Berdiri tepat di depan si gadis. Meja kasir memisah keduanya.
"Kau juga Danish?" tanyanya.
Si gadis-Flora-terkikik lagi. "Apa aku terlihat seperti orang Danish?"
Tidak.
Sejenak Nanami memperhatikan wajah gadis di depannya.
Setiap detik, rasanya ada satu fitur yang menjadi janggal. Bentuk mata yang aneh atau sudut senyum yang berganti. Hidung yang berubah atau alis yang meninggi.
Seperti melihat lukisan Van Gogh,
namun goresan cat di lukisan itu berpindah beberapa senti setiap kau berkedip.
Sama dan tidak sama.
Semua di saat bersamaan.
Yang tetap hanya iris hijau dan rambut hitam yang terkepang.
Jadi, tidak, si Flora ini tidak terlihat seperti orang Danish.
Dia tidak terlihat seperti orang manapun.
Begitu yang ada di pikiran Nanami. Belum sempat dia menyuarakannya, Flora kembali menyela.
"Hari buruk?"
Sekali lagi Nanami tersentak. Jika terus begini, bungkus pretzel di tangannya bisa jatuh.
"Bagaimana kau-?"
"Mata."
Telunjuk sang gadis menodong hidungnya. Masih tersenyum, dia berkata, "Itu jendela hati, kau tahu? Dan milikmu terbuka lebar sekali."
Nanami diam sejenak. Lalu mendesah.
"Tidak buruk juga, hanya... berat."
"Uh-huh," gumam Flora. Manik hijau sang gadis menelusurnya dari ujung kaki ke ujung kepala.
"Hari pertama kerja?"
Lagi-lagi tepat sasaran.
Siapa perempuan ini?
"Semacam itu-"
Kalimat Nanami terhenti. Matanya memicing.
"Aku yakin itu bukan urusanmu."
Flora tersenyum. "Memang bukan."
Dia berbalik memunggungi Nanami. Fokusnya terarah pada rak tinggi yang dibaut pada dinding. Penuh dengan pot-pot berisi potongan bunga segar.
"Kau bilang ini di Jepang?" tanyanya.
"Huh?"
"Jepang... ah, aku jarang 'terlempar' kemari. Jujur, aku sudah jarang sekali 'terlempar' kemanapun. Hmm..."
Selagi bibir mengoceh, tangan lentik bergerak diantara daun dan bunga. Menyisir satu persatu. Terkadang mengambil, sebelum meletakkannya kembali dan menggeleng.
Perlahan dia memilih dan mengumpulkan segenggam tangkai bunga. Setelah dirasa cukup, dia mengikatnya dengan tali serabut tipis. Lalu menyerahkannya pada Nanami.
"Terimalah! Ini buket bunga pertamamu dari Floriography! Gratis!"
Bagi si laki-laki, itu lebih mirip sekumpulan rumput liar daripada buket bunga. Memang satu dua bunga ada di sana. Namun, sangat kecil. Jelas tidak semewah mawar atau tulip.
"Terima kasih," gumamnya. Dia mengambil seikat dedaunan itu. Berusaha menjaga wajah agar tetap netral.
Seperti bisa membaca pikirannya, Flora tertawa.
"Tidak cantik, huh? Tapi aku memberimu itu bukan karena aku pelit, lho!"
"Aku tidak pernah bilang-"
"Laurel dan chamomile," sela Flora. "Jika digabung, maka bisa dimaknakan 'energy to overcome hardship'."
Mata Nanami melirik ke kumpulan tangkai di tangannya. Mulut berdehum.
"Hanakotoba?"
"Floriography," ralat si gadis. Dia meringis.
"Bahasa bunga dari Era Victoria. Aku jauh lebih familiar dengan yang satu itu. Yah, aku memang lebih sering 'terlempar' ke tempat yang... western-centric."
"Terlempar?"
"Tidak penting." Sang gadis mengibaskan tangan. "Apa kau masih butuh hal lain?"
Nanami diam.
Beribu pertanyaan berputar di kepalanya. Namun, dia tidak yakin apa yang harus ditanyakan. Jadi, dia hanya menggeleng. Menggenggam buket dan bungkusan rotinya lalu melangkah keluar. Lambaian tangan Flora mengiringi.
Ketika Nanami kembali menapaki trotoar yang tersiram sinar matahari, alisnya mengernyit.
Dia sudah cukup lama di dalam, tetapi-
Pretzel-nya masih hangat.
***
Keesokan harinya-
Toko itu hilang.
Lenyap bagai ditelan bumi.
Yang tersisa hanya sebuah lahan kosong berisi rumput liar. Ketika dia bertanya pada orang sekitar, mereka malah menatap Nanami seakan dia menumbuhkan kepala kedua.
"Apa kau baik, Nanami-kun?" tanya pemilik parlor es krim. "Tanah itu sudah kosong sejak belasan tahun!"
Sepertinya Nanami hampir gila karena terlalu banyak menghadapi kutukan.
Beberapa hari berlalu. Dia masih secara rutin mengecek tempat itu. Sesekali menggeret teman sekelasnya-Haibara Yu-untuk bermain detektif. Namun, hasilnya nihil.
Bangunan toko itu seakan buyar diterbangkan angin.
Pada akhirnya, dia menyerah. Entah karena ejekan Yu atau pasrah dan mengakui bahwa kewarasannya sudah hilang. Sepertinya lebih condong yang pertama.
Atau mungkin, toko bunga bernama Floriography memang tidak pernah ada di area pertokoan.
Akan tetapi, Nanami lupa soal satu hal.
Ketika Nanami pulang, dia akan meraih salah satu buku yang belum selesai dia baca.
Di dalamnya, terselip pembatas yang dia buat sendiri.
Dari laurel dan chamomile kering.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro