Bagian 1
Angin malam berhembus melewati celah kaca mobil yang tak tertutup rapat. Hari ini Friska baru menyelesaikan kuliah malamnya, sebagai jam pengganti karena minggu lalu dosen yang mengajarnya baru melahirkan.
Baru pukul delapan malam, tapi jalanan sudah lengang. Mungkin akibat dari perbaikan jalan alternatif yang menyebabkan pengendara memutar balik dua kali lebih jauh demi menghindari macet karena bergantian dengan pengendara lain.
Sebagai pengendara mobil, cewek, sendirian, dan baru semester empat membuat Friska bergidik ngeri seraya menyusuri jalan yang remang-remang akibat redupnya lampu jalanan yang berwarna kuning.
Diputarnya radio dalam mobil keras-keras agar rasa takutnya terkalahkan. Kali ini kenangan pilu giliran menghampirinya, saat mobil yang ia tumpangi hari ini melewati persimpangan lampu merah yang menuju ke arah rumahnya.
Tepat disini. Posisi mobilnya saat itu dipunggungi mobil lain di depannya. Terlihat biasa awalnya, hanya sepasang kekasih yang sedang memadu kasih di dalam mobil. Sialnya lampu merah yang tak kunjung berubah warna membuatnya tak bisa mengalihkan pandangannya pada dua pasangan itu. Mau tak mau ia memperhatikannya baik-baik. Sekali lagi pandangannya terfokus pada lelaki yang ada di dalam. Bukan apa-apa, bukannya ia ingin berada disana. Tapi ia menangkap ada kemiripan dengan apa yang dikenakan lelaki itu. Sekitar dua bulan lalu sebuah kemeja bercorak abu-abu dengan warna dasar putih itu menjadi hadiah ulang tahun Bagas--pacarnya.
"Bagas?"
Diraihnya ponsel yang berada disampingnya. Menombol nomor Bagas yang berada di urutan paling atas karena satu jam lalu ia menghubungi Friska bahwa malam ini tak bisa menjemputnya.
"Tersambung. Angkat dong, masih ingat aku nggak?" Rutuk Friska dalam mobil sendirian.
Nahas pun menimpanya. Parahnya, dalam mobil itu bukan orang yang berbeda. Ia sempat melihatnya menoleh ke belakang dan benar Bagas mengabaikan panggilannya. Lebih menyayat lagi, Friska menyaksikan sendiri Bagas mencium puncak kepala perempuan disampingnya yang belum pernah dilakukan Bagas padanya. Air mata pun menyeruak tanpa diminta menyusuri sudut matanya. Friska yang terus menyambungkan teleponnya pada Bagas kini berharap di hadapannya hanya mimpi.
Benar ku mencintaimu, tapi tak begini, kau hianati hati ini , kau curangi aku.
Alunan lagu dari Anang Hermanyah mulai menambah kesenduan malam itu. Dua bulan lalu.
Suara klakson mobil dan motor di belakangnya mulai bersahutan. Menyadarkan Friska dari lamunanya. Melanjutkan lagi separuh perjalanan dengan senyum miris yang mengiringi.
Tiba di dekat pusat penjualan makanan dan jajanan di malam hari, mobil merah yang ia kendarai mendadak berhenti. Friska mencoba keluar untuk memeriksa apa yang sebenarnya terjadi, dengan pengetahuan otomotif mobil yang awam ia pun menutup kembali front bumper mobilnya. Ia beralih pada ban depan mobil, dengan sorot lampu yang redup itu masih bisa terlihat seberapa banyak udara yang hilang dari sana.
"Sshhhiiii..." Kata-kata itu hampir saja terlontar dari mulutnya. Seakan memaki benda mati yang sedang ia tumpangi. Seperti biasa, mobilnya yang sedikit unik dari mobil kebanyakan ini harus bertemu dengan tangan-tangan penuh kharisma para montir setiap tiga minggu sekali.
Cepat-cepat ia meraih ponsel yang semula berada di tasnya.
Menggulirkan sederet angka dan memanggil pemilik nomor diseberang sana. Yang ada dibenaknya kini hanya harus menghubungi Jeviska--sahabatnya.
"Je, mobil."
"Haeeewwhh, baru dua minggu sembuh mau masuk UGD lagi?"
"Iya bannya kempes, dan gue sekarang sendiran di jalan Je, nggak tahu ini mobil mau diapain dah."
"Apalagi gue, please cari pacar gih biar ada yang bantuin ngurusin mobil."
"Ya kali cari pacar lo samain kayak cari rumput dekat rumah Je."
Bukan tak mau mengganti mobil baru, tapi Friska tipe cewe yang sayang jika harus berpisah dengan barang-barang kesayangannya. Meski ia harus bolak balik ke bengkel, hal itu tak membuatnya gentar, bahkan ia rela tidak merawat dirinya ke salon demi perawatan sang mobil merah.
Sama mobil aja sayang dan sabar, apalagi kamu yang nggak datang-datang sampai sekarang.
"Ya udah Fris, lo sekarang ada dimana?"
"Uhm, di Jalan Menteng."
"Lo belok kiri sekitar 200 meter, disitu bengkel langganan adik gue. Tapi awas."
"Awas kenapa Je?"
"Awas jatuh cinta sama masnya."
Friska tergelak mendengar pernyataan Jeviska diseberang sana. Kalau saja dia ada disini Friska pasti tertawa sambil memukul-mukul bahunya.
"Apaan sih Je, ini masalah mobil bukan masalah hati gue."
"Dibilangin nggak percaya sih Neng, buktiin sendiri. Buruan gih keburu malam." Tawa Jeviska masih terdengar, seakan tak sabar melihat Friska sebagai korban.
Meski susah di starter pada awalnya, namun perlahan mobil merah itu melaju dengan sedikit tersendat. Nahas pun menimpanya lagi, saat mesin berhasil dinyalakan dengan sempurna kini beralih pada AC mobilnya yang tidak berfungsi.
Sesampainya di bengkel yang telah direkomendasikan Jeviska, Friska masih geli mengingat apa yang sudah dikatakan sahabatnya tadi.
"Mas, mau nambah angin." Sapa Friska sekenanya pada mas-mas yang sedang membereskan peralatan otomotif dan juga berbagai kunci yang sama sekali tak ia kenal. Hal yang menjadi perhatian pertamanya adalah seragam tugas yang sedang ia kenakan, terasa berbeda dengan seragam karyawan lain yang terlihat lebih rapi, lebih teratur dan lebih pantas dipakai seorang pemilik bengkel daripada karyawannya.
"Ini bukan kempes lagi mbak, udah kena ke lapisan ban paling dalam."
Tommy beraksi membetulkan ban depan mobil merah itu. Dengan lihainya ia mulai mengambil dongkrak dan beberapa kunci roda. Tangannya yang sedikit berotot menggenggam kunci dengan kuat, ditambah lagi garis dagu yag simetris itu mampu membuat hati Friska mencelos. Apalagi dipadu dengan aroma berbagai oli sepertinya menjadi aroma favorit Friska saat ini.
Friska yang saat itu masih tertegun memerhatikan Tommy dihadapannya, kini mengklaim dirinya tengah terpesona saat tiba-tiba Tommy menoleh sekilas kearahnya. Jarang-jarang dia bisa memerhatikan cowok bekerja se keren ini. Apalagi jika sedang fokus, uuh tingkat ketampanannya naik berkali lipat.
Ini mah Sehun dengan kearifan lokal. Gumam friska lirih.
"Masnya juga udah ngena dihati saya yang paling dalam kok." Tanpa sadar gombalan basi Friska menyeruak ke permukaan.
Tommy yang mendengar hal itu hanya bisa terbatuk dan tetap memasang muka sok coolnya.
"Sudah mbak."
"Cepet banget ya mas."
"Dicoba dulu mbak."
Ketika Friska menstarter mobilnya, ia pun baru ingat AC dalam mobil tak lagi berfungsi.
"Ada masalah lagi mbak?"
"Eung, AC mobilnya mati mas."
Gilaaa, cuma ngelihatin mesin aja masih ganteng. Duh mas mas, bisa nggak saya bawa pulang.
"Ini harus di ganti total mbak, susah cari jenis AC yang sama dengan mobil mbak. Terus nyala lampu mobilnya redup, kemungkinan aki nya rusak."
"Lama nggak mas gantinya?" Dengan perasaan cemas dan mengingat ia tak lagi punya pendamping yang bisa di andalkan membuat Friska mematung untuk beberapa saat.
"Kalau untuk AC nya bisa sampai berminggu-minggu mbak, apalagi kalau barangnya belum datang. Nggak mau ditinggal dulu?"
"Rumah saya masih agak jauh mas, jadi kalau nggak pakai mobil nggak bisa pulang." Kini wajah Friska mengusut. Namun dengan memandang sekilas kearah Sehun eh Tommy, membuatnya mampu menarik senyumannya, damai.
"Mau saya antar pulang?"
Bak petir menggelegar tanpa permisi, membuat Friska benar-benar tak bisa mendifinisikan keadaan ini.
"What?" Seketika Friska pingsan ditempat.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro