Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Sembilan

Aku baru terbangun dari tidurku saat jarum jam di dinding menunjuk angka tiga. Aku tidur hampir sehari penuh dan aku cukup terkejut karena tak menemui mimpi buruk. Pintu kamarku mengayun terbuka dan secara refleks aku menaikan selimut menutupi diruku.

"Kau sudah bangun? Aku baru saja akan membangunkanmu. Kau belum makan sejak pagi," ucap Cam. Dia melangkah masuk sambil membawa nampan makanan.

Hatiku seperti ditohok. Aku harus berhenti menyusahkannya. Setidaknya aku bisa mulai berpura-pura baik-baik saja. "Tanks Cam!"

Aku menurunkan selimutku dan duduk di tepi ranjang.

"Ayahku sudah mengurus semuanya. Sidang ayahmu hari ini." ucapnya. Dia meletakkan nampan itu di pangkuanku. Mataku langsung terbelalak ngeri.

"Apa aku perlu hadir?" tanyaku khawatir. Aku tidak yakin sudah siap untuk bertemu ayahku lagi.

Camrynn menggeleng dan aku mendesah lega. Aku sungguh merasa sangat lemah saat ini, aku belum pernah merasakan rasa takut yang seperti ini. Seakan terus menggerogotiku dan mengikis semua keberanianku.

"Ayahku akan mengurus semuanya. Setelah semua beres dia akan mengurus hak asuhmu," jawab Cam.

"Kau tidak meminta ayahmu untuk mengadopsikukan?" tanyaku.

Aku sudah cukup merepotkan mereka. Aku tak ingin menjadi beban tambahan lagi. Yah, apa yang mereka lakukan sudah lebih dari cukup.

"Tentu saja, aku meminta hal itu!" sambar Cam. Suaranya sedikit membentakku seakan dia tahu sebentar lagi aku akan mulai protes. Dan itu memang benar.

"Cam, aku tak bisa!" desisku. Aku meletakan buburku yang masih separuh penuh di atas nakas.

"Well, kenapa?"

"Aku tak mau jadi benalu atau parasit atau entah apalah yang akan merepotkan keluargamu."

"Well, kau tidak seperti itu!"

"Sudahlah! Aku ingin sendiri!" tukasku.

"Lihat! Kau mulai lagi!" gerutu Cam.

"Apa?" tanyaku dengan frustasi.

"Kau mengurung diri. Itu tidak membantu Ash. Kau perlu mengeluarkan racun dari dalam dirimu," bentak Cam.

"Lalu apa? Kau mau aku menceritakan tiap detail yang dilakukan ayahku malam itu? Sudah cukup buruk ingatan sialan ini tak mau keluar dari otakku! Aku tak mau membahasnya, Cam! Aku takut, marah, sedih, putus asa! Aku tak tahu apa yang harus kulakukan! Rasanya tak tertahankan, Cam!" teriakku kemudian aku menangis.

Cam memelukku dan ikut terisak bersamaku. "Itu yang kumaksud. Keluarkan! Agar semuanya terasa lebih ringan."

Aku tak tahu harus menjawab apa. Aku tak ingin melampiaskan semua emosiku pada Cam. Pada orang yang tidak tepat. Tapi rasanya sedikit melegakan saat akhirnya aku dapat menumpahkan emosiku dan tidak hanya menyalurkannya melalui tangisan.

Malam itu Cam tidur di kamarku. Aku menolak tapi entah bagaimana, dia akhirnya menyelinap masuk saat aku tertidur. Dan saat aku menjerit, karena pada akhirnya mimpi buruk berhasil menggapaiku, dia sudah berada di sambingku. Mengelus punggungku dan meyakinkanku kalau itu hanya mimpi. Hingga kami kembali tertidur dengan posisi saling berpelukan.

***

Pagi itu Cam pergi keluar dengan Ibunya, jadi di rumah hanya ada aku dan Mr. Baker.

Aku sudah berdiri di depan pintu ruang kerja Ayah Cam tapi aku masih ragu untuk mengetuknya.

Tidak apa-apa, Ash!

Dia tak akan melukaimu.

Dia hanya laki-laki.

Kau jauh lebih kuat dari ini!

Kau bisa Ash!

Kau tidak akan mengalami trauma bodoh, yang akan membuatmu takut pada pria seumur hidupmu!

Aku menarik napas dalam-dalam dan mengetuk tiga kali.

"Masuk!" ucap suara ayah Cam dari dalam.

Aku membuka pintu itu lebar-lebar tapi tak segera memasuki ruangan. Mr. Baker duduk di balik mejanya. Sedang membaca dokumen. Hingga beberapa waktu aku tak melakukan apapun, akhirnya Mr. Baker mendongak.

"Ash? Ada apa?" tanyanya. Membetulkan letak kacamatanya di hidungnya.

Aku masih belum masuk.

Aku tahu ini konyol. Tapi aku sungguh tak bisa berada di ruangan tertutup dengan pria sendirian. Belum bisa.

"Bisakah kita bicara?" tanyaku.

"Ya. Duduklah!" Mr. Baker menunjuk kursi di depan mejanya.

Aku menggigit bibirku gelisah dan masih belum bergerak. "Bisakah kita bicara di beranda?"

Mr. Baker kembali menatapku dan matanya menyiratkan pengertian. "Tentu. Aku juga akan membuat dua cangkir teh, agar kita lebih santai."

"Biar saya yang membuat teh, anda bisa menunggu di beranda," sahutku. Aku segera pergi sebelum Mr. Baker dapat mencegahku.

Mr. Baker sedang membaca surat kabar hari ini saat aku keluar dengan dua cangkir teh di tanganku. Aku meletakkannya di meja dan duduk di bangku yang satunya.

"Biar kutebak! Ini tentang hak asuhmu?" tanya Mr. Baker. Dia melipat surat kabarnya lalu mengambil cangkt tehnya.

"Ya. Tentang itu," jawabku. "Apa anda benar akan mengadopsi saya?"

Dia meletakkan cangkir tehnya setelah menyeruput sedikit lalu mengamatiku. "Hanya jika kau setuju, Ash. Ini hanya semacam formalitas, maksudku aku cukup yakin kau lebih dari mampu untuk bisa hidup sendiri."

Aku mengangguk. "Jika boleh saya ingin diadopsi oleh orangtua tunggal. Seorang ibu tunggal tepatnya."

"Apa kau sangat merasa tidak nyaman berada di dekat pria? Kalau ya, mungkin kau perlu bertemu Psikiater," balas Mr. Baker.

"Tidak. Saya tidak butuh Psikiater, kecuali jika Psikiater bisa memutar waktu atau membuat otak saya tidak terus-terusan memutar ingatan mengerikan ini. Saya hanya tidak ingin terlalu dekat dengan pria," Aku meraih cangkir tehku dan merasakan kehangatan yang merambat ke jari-jariku yang mulai dingin.

"Aku mengerti. Ruang dan waktu. Itu yang kau butuhkan bukan?" jawab Mr. Baker.

"Yah, mungkin," jawabku. Menyesap tehku dan merasakan sengatan panas di lidahku yang kelu.

Oh, Tuhan. Aku harus segera bisa mengendalikan diriku. Musim panas akan segera berakhir dan aku tak mau jadi orang yang phobia terhadap lawan jenis.

"Aku akan mencoba mencarikannya. Tapi Camrynn pasti akan sangat kecewa." Mr. Baker kembali meminum tehnya hingga tandas. "Hanya itu?"

"Tentu saja saya juga ingin berterimakasih. Saya tak tahu harus membalas kebaikan keluarga ini dengan cara apa," ucapku tulus. Dan aku sungguh bersyukur karena bibirku dapat membentuk lengkungan senyum.

"Kau berlebihan Ash. Kami tahu kau menjaga Camrynn dari pria-pria brengsek. Dia sudah bercerita tentang Gerald atau pria lain sejenisnya. Aku tak akan bilang kami yang berhutang padamu, karena kau pasti tidak menerimanya. Jadi anggap saja kita impas, oke?" sangkal Mr. Baker. Dia sudah beranjak dari duduknya.

"Tetap saja, terimakasih!" balasku.

"Sama-sama Ash."

Cam pulang beberapa saat kemudian dengan tangan penuh tas belanjaan.

"Apa saja yang kau beli Cam?" Aku membantunya membawa beberapa tas belanjanya.

"Beberapa baju untumu,kau akan terus tinggal di sinkan, dan perlengkapan sekolah baru. Musim panas akan segera berakhir," jawab Cam dengan antusias.

Aku meringis. Memberi tahunya tentang pembicaraan singkatku tadi dengan ayahnya pasti akan membuatnya gusar.

"Cam," mulaiku hati-hati.

"Hm?" jawabnya. Dia masih sibuk mengeluarkan belanjaanya.

"Ayahmu setuju untuk tidak mengadopsiku."

"What?" pekiknya. Dia memelototiku.

"Dengar! Aku yang memintanya. Aku tak bisa tinggal di sini," muka Cam langsung berubah terluka, "bukan karenamu. Aku hanya ingin seorang ibu tunggal, ayahmu akan mencoba mencarikannya untukku."

"Kau takut serumah dengan ayahku?"

"Tidak, Cam. Aku hanya kurang nyaman." Aku mengalihkan tatapanku dari pandangan menyelidik Camrynn.

"Tidak semua pria sama seperti ayahmu, Ash."

"Aku tahu. Aku hanya tidak ingin...." Aku tak menemukan kata yang tepat untuk melanjutkan ucapanku.

Aku hanya belum bisa menerima pria dalam hidupku. Sebagai apapun.

"Baiklah. Mungkin kau hanya butuh waktu," ucap Cam akhirnya.

"Yah, itu juga yang dikatakan ayahmu," balasku.

***

A/N:

Maaf lama gak update dan chapter ini juga pendek. Gak tau kenapa tiba-tiba gak bisa nulis. Ide ada di otak tapi gak bisa nuangin ke tulisan. Yah maah sekali lagi.

See you next part!!!

-Arum Sulistyani

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro